Penegakan Keadilan di Pengadilan
Masyarakat yang awam hukum perlu
memahami soal hukum yang sederhana ini. Hakim di pengadilan boleh melepaskan
diri dari belenggu undang-undang untuk membuat putusan berdasar keyakinannya
guna menegakkan keadilan subtantif.
Hal ini bukan hanya ada dalam teori atau tradisi hukum negara tertentu, tetapi juga dalam sistem hukum Indonesia.
Penegak
atau tunduk
Sebenarnya
perdebatan tentang tugas hakim sebagai penegak hukum dengan tunduk pada bunyi
undang-undang dan tugasnya sebagai penegak keadilan meski harus keluar dari
ketentuan undang-undang, merupakan isu klasik. Kini, sudah tidak ada lagi garis
antara tradisi civil law yang menjadikan hakim hanya sebagai corong
undang-undang dan tradisi common law yang menjadikan hakim sebagai pembuat
keadilan hukum meski harus melanggar undang-undang. Keduanya dianggap sebagai
kebutuhan yang saling melengkapi.
Berdasar
UUD 1945 hasil amandemen, di Indonesia kedua hal itu diletakkan pada posisi
sama kuat. Pasal 24 Ayat 1 menyebutkan, kekuasaan kehakiman merupakan kekuasaan
yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan "hukum"
dan "keadilan". Pasal 28D Ayat 1 juga menegaskan, setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan "kepastian hukum yang
adil". Jadi. tekanannya bukan pada kepastian hukum saja, tetapi kepastian
hukum yang adil.
Saat
konstitusi diamandemen, prinsip itu ditekankan dalam UUD 1945 karena di masa
lalu, upaya menegakkan kepastian hukum sering dijadikan alat untuk mengalahkan
pencari keadilan. Atas nama kepastian hukum, pencari keadilan sering dikalahkan
dengan dalil yang ada dalam undang-undang; Padahal saat itu, banyak
undang-undang yang berwatak konservatif, elitis, dan
positivistik-instrumentalistik atau sebagai alat membenarkan kehendak penguasa.
Itu
sebabnya, saat melakukan amandemen UUD 1945 dengan amat sadar kita menegaskan
prinsip penegakan keadilan ke dalam konstitusi dalam proses peradilan. Para
hakim didorong untuk menggali rasa keadilan substantif (substantive justice) di
masyarakat daripada terbelenggu ketentuan undang-undang (procedural justice).
Bagi
Mahkamah Konstitusi yang berfungsi sebagai pengawal konstitusi, demokrasi, dan
hukum, keharusan mencari keadilan substansial ini selain dibenarkan UUD 1945
juga dimuat dalam UU No 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi. Pasal 45
Ayat 1 berbunyi, "Mahkamah Konstitusi memutus perkara berdasar Undang UUD
Republik Indonesia Tahun 1945 sesuai dengan alat bukti dan keyakinan
hakim."
Pasal itu
menyebutkan, bukti dan keyakinan hakim harus menjadi dasar putusan untuk
menegakkan keadilan substantif, apalagi jika pihak yang beperkara jelas-jelas
meminta ex aequo et bono (putusan adil).
Keluar
undang-undang
Pada
irah-irah tiap putusan juga selalu ditegaskan, putusan dibuat "Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa," dan bukan "Demi
Kepastian Hukum Berdasarkan Undang-Undang." Ini semua menjadi dasar yang
membolehkan hakim membuat putusan untuk menegakkan keadilan meski-jika
terpaksa- melanggar ketentuan formal undang-undang yang menghambat tegaknya
keadilan.
Ada yang
mempersoalkan, hal itu sulit dilakukan karena tiadanya kriteria pasti untuk
menentukan keadilan itu. Berbeda dengan bunyi undang-undang yang isinya pasti.
Atas masalah itu perlu ditegaskan, keadilan tidak selalu dapat dipastikan lebih
dulu karena dalam banyak kasus justru harus disikapi sesuai karakter
masing-masing. Keadilan akan terasa dan terlihat dari konstruksi hukum yang
dibangun hakim dengan menilai satu per satu bukti yang diajukan di persidangan
untuk akhirnya sampai pada keyakinan dalam membuat vonis.
Meski
demikian, tidaklah dapat diartikan, hakim boleh seenaknya melanggar atau
menerobos ketentuan undang-undang. Dalam hal undang-undang sudah mengatur
secara pasti dan dirasa adil, maka hakim tetap perlu berpegang pada
undang-undang.
Yang
ingin ditekankan di sini hanyalah prinsip bahwa berdasarkan sistem hukum dan
konstitusi di Indonesia, hakim diperbolehkan membuat putusan yang keluar dari
udang-undang jika undang-undang itu membelenggunya dari keyakinan untuk
menegakkan keadilan. Bukankah pengadilan itu tempat mencari dan menegakkan
keadilan? []
Moh.
Mahfud MD, Akademisi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar