Pahlawan Suara Terbanyak
Ketika pada 2 Desember 2008
Mahkamah Konstitusi (MK) me-imitus pemberlakuan sistem suara terbanyak untuk
pemilu legislatif, ada yang berkomentar sinis, "MK mengabulkan gugatan
orang frustasi karena dijadikan caleg di nomer buntut." Maklum, media
massa lanya menyebut Sholeh sebagai pemohon judicial review yang kemudian
dikabulkan oleh MK itu.
Sholeh
adalah calon anggota legislatif (caleg) DPRD Surabaya dari PDI Perjuangan yang
diletakkan pada nomer urut 7. Dia menggugat sistem proporsional setengah
terbuka yang menekankan pada sistem nomer urut sebagai sistem yang tidak adil,
tidak mencerminkan kedaulatan rakyat, dan melanggar prinsip-prinsip konstitusi.
Ketika MK
mengabulkan permohonan pemberlakuan sistem suara terbanyak itu, Sholeh dianggap
sebagai pahlawan oleh para pendukung sistem suara terbanyak, tapi oleh
pendukung sistem nomer urut dianggap sebagai orang stres yang merusak. Padahal,
bukan hanya Sholeh yang mengajukan gugatan ke MK. Ada juga Sutjipto dan Jose
Dima Satria.
Sutjipto
adalah caleg DPR-RI nomer unit 1 dari Partai Demokrat untuk daerah pemilihan
Jawa Timur VIII. Dia menyatakan, posisinya pada nomer urut 1 diuntungkan oleh
sistem nomer unit, tapi demi sehatnya kedaulatan rakyat dan tegaknya keadilan
dia meminta pemberlakuan sistem suara terbanyak. Sedangkan Jose Dima Satria
adalah warga masyarakat biasa yang merasa pilihannya dan pilihan rakyat bisa
mubazir (sia-sia) dan tak sesuai dengan kedaulatan rakyat jika anggota
legislatif ditetapkan dengan sistem nomer urut. "Tidaklah adil jika caleg
nomer urut 3 yang mendapat 50.000 suara disingkirkan oleh caleg nomer urut 1
yang hanya mendapat 500 suara," kata Jose.
Tampak
jelas, pemberlakuan sistem suara terbanyak bukan hanya keinginan mereka yang
merasa frustasi, stres, atau akan tergusur oleh pemberlakuan sistem nomer urut
seperti yang disangkakan oleh beberapa orang, melainkan keinginan banyak orang
yang menghendaki keadilan dan menghormati suara rakyat.
Pro dan
kontra yang mucul atas putusan MK adalah wajar. Tak pernah ada putusan MK yang
didukung oleh semua orang. Yang kalah pasti mengkritik bahkan melakuknn counter
attack, sedangkan yang menang pasti memuji - muji. Karena itulah, MK tak perlu
terpengaruh dan takut pada cacian atau bangga akan pujian jika pujian atau
cacian itu datang dari pihak yang beperkara atau punya kepentingan langsung,
sebab sikap mereka lebih dipengaruhi oleh kependngan subjektif.
Namun,
terlepas dari sikap mereka yang beperkara dan berkepentingan langsung, dukungan
atas putusan MK oleh masyarakat itu tampak lebih dominan. Penempatan vonis
pemberlakuan suara terbanyak sebagai berita utama dengan judul-judul yang
mendukung, seperti "Suara Rakyat Dihargai" dan "Kemenangan Akal
Sehat", serta apresiasi yang dituangkan di dalam tajuk atau editorial
berbagai media massa menunjukkan bahwa nurani dan akal sehat masyarakat
mendukung penerapan suara terbanyak itu.
Memang,
dalam pelaksanaannya, sistem suara terbanyak menimbulkan banyak masalah,
seperti persaingan membabi buta, money politics, stres berat, bahkan tindakan
bunuh diri. Namun hal-hal itu harus dipandang sebagai risiko perubahan yang
untuk tahap awal tak bisa dihindari. Kalau ke depan kita terus maju dengan
sistem suara terbanyak, apalagi mengikuti sistem distrik seperti yang pernah
direkomendasikan oleh LIPI, pemilu yang akan datang akan jauh lebih baik.Kelak,
orang takkan lagi berani berlaga dalam pemilu kalau tidak punya kapabilitas dan
ketokohan yang relevan. Nyatanya, berdasarkan pengalaman tahun 2009, rakyat
mutlak menentukan pilihannya sendiri. Yang menghamburkan uang untuk merayu
rakyat tetap tak terpilih kalau tak layak, sebab rakyat sudah fasih mengatakan,
"Terima uangnya jangan pilih orangnya." Artis yang populer pun kalau
tak punya kapasitas yang meyakinkan untuk menjadi wakil rakyat juga tak dipilih
tokoh politik ataupun pengusaha banyak yang berguguran.
Boleh saja Sholeh, Sutjipto, dan Jose
dianggap sebagai pahlawan suara terbanyak karena inisiatifnya mengajukan
judicial review ke MK.Tapi apreasiasi dapat juga diberikan kepada para caleg
yang telah bertarung untuk mendapat suara terbanyak sebagai caleg, termasuk
mereka yang kemudian stres berat karena tak terpilih setelah melakukan
segalanya dan menggelontorkan uang. Mereka itu patut juga diapresiasi karena
telalh memberi pelajaran kepada kita bahwa suara rakyat tak mudah dibeli, dan
bahwa rakyat tak bisa dikibuli dengan atribtu ketokohan dan keartisan kalau,
nyatanya tak bermutu. []
Moh. Mahfud MD, Akademisi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar