Rabu, 05 Juni 2013

Cak Nun: Menangis


Menangis

Oleh: Emha Ainun Nadjib

 

Sehabis sesiangan bekerja di sawah-sawah serta disegala macam yang diperlukan oleh desa rintisan yang mereka dirikan jauh di pedalaman, Abah Latif mengajak para santri untuk sesering mungkin bershalat malam.

 

Senantiasa lama waktu yang diperlukan, karena setiap kali memasuki kalimat “iyyaka na’budu….”. Abah Latif biasanya lantas menangis tersedu-sedu bagai tak berpenghabisan.

 

Sesudah melalui perjuangan batin yang amat berat untuk melampaui kata itu, Abah Latif akan berlama-lama lagi macet lidahnya mengucapkan “wa iyyaka nasta’in….”

 

Banyak di antara jamaah yang bahkan terkadang ada satu dua yang lantas ambruk ke lantai atau meraung-raung.

 

“Hidup manusia harus berpijak, sebagaimana setiap pohon harus berakar”, berkata Abah Latif seusai wirid bersama, “Mengucapkan kata-kata itu dalam Al-Fatihah pun harus ada akar dan pijakannya yang nyata dalam kehidupan. Harus di situ titik beratnya bukan sebagai aturan, melainkan memang demikianlah hakekat alam, di mana manusia tak bisa berada dan berlaku selain di dalam hakekat itu”.

 

“Astaghfimllah, astaghfirullah”, geremang turut menangis mulut parasantri.

 

“Jadi, anak-anakku”, beliau melanjutkan, “apa akar dan pijakan kita dalam rnengucapkan kepada Allah iyyaka na’budu?”

 

“Bukankah tak ada salahnya mengucapkan sesuatu yang toh baik dan merupakan bimbingan Allah itu sendiri, Abah?” bertanya seorang santri.

 

“Kita tidak boleh mengucapkan kata, Nak, kita hanya boleh mengucapkan kehidupan”.

 

“Belum jelas benar bagiku, Abah”.

 

“Kita dilarang mengucapkan kekosongan, kita hanya diperkenankan mengucapkan kenyataan”. “Astaghfirullah, astaghfirullah”, geremang mulut para santri terhenti ucapannya. Dan Abah Latif meneruskan, “Sekarang ini kita mungkin sudah pantas mengucapkan iyyaka na’budu. Kepada-Mu aku menyembah. Tetapi Kaum Muslimin masih belum memiliki suatu kondisi keumatan untuk layak berkata kepada-Mu kami menyembah, na’budu”.

 

“Al-Fatihah haruslah mencerminkan proses dan tahapan pencapaian sejarah kita sebagai diri pribadi serta kita sebagai umatan wahidah. Ketika sampai di kalimat na’budu, tingkat yang harus kita capai telah lebih dari ‘abdullah, yakni khalifatullah. Suatu maqam yang dipersyarati oleh kebersamaan Kaum Muslimin dalam menyembah Allah di mana penyembahan itu diterjemahkan ke dalam setiap bidang kehidupan. Mengucapkan iyyaka na’budu dalam shalat mustilah memiliki akar dan pijakan di mana kita Kaum Muslimin telah membawa urusan rumah tangga, urusan perniagaan, urusan sosial dan politik serta segala urusan lain untuk menyembah hanya kepada Allah. Maka, anak-anakku, betapa mungkin dalam keadaan kita dewasa ini lidah kita tidak kelu dan airmata tak bercucuran tatkala harus mengucapkan kata-kata itu?”

 

“Astaghfirullah, astaghfirullah”, geremang mulut para santri.

 

“Al-Fatihah hanya pantas diucapkan apabila kita telah saling menjadi khalifatullah di dalam berbagai hubungan kehidupan. Tangis kita akan sungguh-sungguh tak berpenghabisan karena dengan mengucapkan wa iyyaka nasta’in, kita telah secara terang-terangan menipu Tuhan. Kita berbohong kepada-Nya berpuluh-puluh kali dalam sehari. Kita nyatakan bahwa kita meminta pertolongan hanya kepada Allah, padahal dalam sangat banyak hal kita lebih banyak bergantung kepada kekuatan, kekuasaan dan mekanisme yang pada hakekatnya melawan Allah”.

 

“Astaghfirullah, astaghfirullah”, gemeremang para santri.

 

“Anak-anakku, pergilah masuk ke dalam dirimu sendiri, telusurilah perbuatan-perbuatanmu sendiri, masuklah ke urusan-urusan manusia di sekitarmu, pergilah ke pasar, ke kantor-kantor, ke panggung-panggung dunia yang luas: tekunilah, temukanlah salah benarnya ucapan-ucapanku kepadamu. Kemudian peliharalah kepekaan dan kesanggupan untuk tetap bisa menangis. Karena alhamdulillah seandainya sampai akhir hidup kita hanya diperkenankan untuk menangis karena keadaan-keadaan itu: airmata saja pun sanggup mengantarkan kita kepada-Nya!” []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar