Persoalan Konstitusi Makin
Menjamur
Tahun 2008 ditandai maraknya
wacana dan kasus konstitusi. Amandemen lanjutan atas konstitusi memang tidak
lagi menjadi kontroversi terbuka, tetapi dorongan dan upaya ke arah itu terus
berlangsung.
Dewan
Perwakilan Daerah (DPD) yang pada 2007 gagal mengajukan usul perubahan lanjutan
karena dianggap terlalu parsial dan mementingkan diri sendiri, berhasil
menyiapkan naskah komprehensif tentang perubahan lanjutan atas-UUD 1945 lengkap
dengan naskah akademiknya.
Di pihak
pemerintah Komisi Hukum Nasional (KHN) menyerahkan buku khusus kepadapresideD
yang berisi pemi-kiran dan rekomendasi tentang araii dan substansi perubahan
UUD 1945.
Langkah
serupa dilakukan Lembaga Ketahanan Nasional (Lemhanas) yang kini giat
menghimpun berbagai sikap dan pandangan mengenai perubahan konstitusi. Menurut
Gubemur Lemhanas Muladi, hasil kajian mendalam itu akan diserahkan kepada
presiden untuk diramu secara komprehensif dengan bahan-bahan lain dalam rangka
peru¬bahan lanjutan atas UUD 1945.
Langkah
KHN dan Lemhanas itu merupakan respons atas gagasan presiden bahwa pihaknya
akan menyiapkan naskah perubahan lanjutan atas UUD 1945 sebagai akomodasi atas
aspirasi rakyat tentang perubahan konstitusi yang terus marak.
Semula,
lontaran presiden tentang rencananya menyiapkan naskah amandemen lanjutan atas
UUD 1945 itu mendapat serangan dari sementara kalangan di MPR. Menurut mereka,
bukanlah kewenangan presiden untuk memikirkan perubahan UUD. Sebab, menurut
pasal 37 UUD 1945, yang berwenang melakukan perubahan UUD adalah MPR.
Proporsionalitas
Reran MPR
Bagi
banyak kalangan, respons orang-orang MPR atas gagasan presiden merupakan reaksi
yang tidak proporsional. Mereka dinilai cenderung ingin memonopoli secara
negatif proses pembenahan konstitusi.
Memang
secara formal prosedural, perubahan UUD hanya dapat dilakukan MPR. Tetapi,
karena konstitusi merupakan kontrak sosial dan politik bangsa yang paling
tinggi, secara substansial bahan-bahannya bisa disiapkan siapa pun, lebih-lebih
oleh presiden yang mempunyai perangkat dan ahli yang jauh lebih banyak dan
permanen. Lagi pula presiden dipilih langsung oleh rakyat.
Tidaklah
salah, bahkan akan lebih objektif, jika MPR tidak mengerjakan sendiri secara
langsung perubahan UUD itu. Bahan bisa disiapkan satu lembaga yang terdiri atas
orang - orang yang ahli dan politik, sedangkan MPR tinggal mengesahkan atau
menolaknya sesuai dengan ketentuan pasal 37 UUD 1945 itu sendiri.
Cara ini
dianggap lebih baik. Sebab, jika dikerjakan oleh MPR sendiri, akan sulit
dihindari masuknya kepentingan-kepentingan politik jangka pendek dan sempit
Apalagi jika diingat bahwa MPR itu berisi para politisi yang sebagian besar
tidak memahami betul persoalan-persoalan politik, hukum, dan konstitusi.
Persoalan seperti ini memang terjadi pada proses amandemen UUD 1945 periode
1999-2002.
Pembahasan
dan penyiapan naskah perubahan UUD yang tidak perlu langsung dilakukan sendiri
oleh MPR ini dapat menyinergikan secara baik dengan kenyataan bahwa pada saat
ini sudah bermunculan berbagai pusat kajian konstitusi secara sangat marak,
baik di perguruan tinggi maupun di lembaga swadaya masyarakat.
CC dan Kompetensi
MK
Selain
perubahan lanjutan atas UUD 1945 yang sifetnya konseptual pada 2D08, banyak
juga'muncul kasus kohkret yang tfeikait konstitusi Ketika mencuat ribut-ribut
soal Ahmadiyah, banyak orang yang menganggapnya sebagai persoalan hak dasar
atau konstitusional warga negara yang harus diselesaikan Mahkamah Konstitusi
(MK). Padahal, meskipun benar merupakan persoalan hak konstitusional, masalah
itu bukan menjadi kewenangan MK untuk menanganinya.
Dalam
kenyataan sehari-hari banyak juga kasus pengaduan ke MK yang memang merupakan
masalah hak konstitusional, tetapi tidak menjadi kewenangan MK untuk
menyelesaikannya.
Misalnya,
adanya vonis-vonis yang sudah berkekuatan hukum tetap melalui upaya peninjauan
kembali (PK) di Mahkamah Agung, tetapi ternyata vonis itu salah, baik substansi
maupun prosedumya, Banyak yang kemudian membawa kasus ini ke MK. Banyak. juga
laporan ke MK tentang adanya vonis-vonis pengadilan yang sudah bericekualan
hukum tetap, tetapi tidak dapat dieksekusi dengan berbagai problemnya. Ada yang
karena politik, ada yang karena administratif, dan ada yang karena objek-nya
sudah berpindah tangan berkali-kali sehingga mengalami tumpang tindih hukum.
Para pelapor meminta agar masalah tersebut diselesaikan oleh MK, padahal
masalahnya bukan kewenangan MK.
Karena
banyaknya kasus seperti ini, muncul gagasan agar kewenangan MK ditambahdengan
kewenangan menangani "pengaduan konstiftisional" atau constitutional
complaint (CC). Gagasan pemberian kewenangan CC itu diinspirasi Mahkamah
Konstitusi Jerman yang memang mempunyai kewenangan untuk itu.
Melalui
CC setiap warga negara yang hak konstitutionalnya dilanggar, tetapi tidak
adalagi jalur pengadilan yang dapat menyelesaikannya karena semua upaya hukum
sudah ditempuh dan sudah final, yang bersangkutan dapat mengajukan perkara ke
MK melalui CC. []
Moh. Mahfud MD, Akademisi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar