Demokrasi dan Nomokrasi Kita
TAK dapat disangkal, keadaan
politik dan ketatanegaraan kita saat ini mendapatkan banyak kritik dari kita
sendiri. Pemilu yang berlangsung 9 April lalu mendapatkan sorotan dan hardikan
ketidakpuasan karena penyelenggaraannya tidak beres. Sudah hampir tiga pekan
pemilu berlangsung, tetapi penghitungan suara oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU),
baik manual maupun yang elektronik, tak beres-beres. Protes dan penolakan atas
rekapitulasi hasil pemungutan suara terjadi di berbagai daerah.
Tetapi,
kalau kita mau melihat dari segi positif, perkembangan sekarang ini dapat
dilihat sebagai kemajuan dalam kehidupan demokrasi kita. Saat ini rakyat sudah
bisa memilih dengan bebas, termasuk bebas menerima uang dengan janji memilih
calon atau parpol tertentu tetapi kemudian tidak benar-benar memilih sang
pemberi uang.
Banyak
yang telanjur memberikan uang, tetapi diri atau partainya tidak dipilih juga.
Sudah banyak rakyat yang berpandangan bahwa menerima uang sekaligus memilih
pemberinya bisa dosa dua kali, yakni dosa karena menerima uang (suap) dan dosa
karena memilih berdasar suap. Jadi, kalau menerima uang tetapi tidak memilih
yang memberikan uang, dosanya hanya satu, malah bisa berpahala karena mendorong
orang untuk kapok berpolitik uang kepada pemilih.
Kemajuan
lainnya, KPU sebagai penyelenggara pemilu sekarang ini adalah lembaga yang
mandiri, tidak menjadi bagian struktural dari pemerintah dan dibentuk oleh
peserta pemilu sendiri (parpol-parpol) melalui DPR.
Tuduhan
kecurangan pemilu tidak bisa lagi dialamatkan kepada pemerintah dan parpol
tertentu karena pemerintah terdiri atas berbagai partai. Di tingkat pusat
pemerintah merupakan koalisi, sedangkan di tingkat daerah pemerintahan dikuasai
oleh parpol yang berbeda-beda.
Jadi,
kalau pemerintah dituduh curang, hampir semua parpol menjadi tertuduh karena
hampir semua parpol turut memerintah; kalau tidak di pusat, ya di daerah.
Di
tingkat masyarakat pun kecurangan dalam pemilu memang terjadi di sana-sini,
tetapi bukan lagi kecurangan yang dihegemoni oleh negara untuk satu parpol
tertentu. Menurut media massa, kecurangan-kecurangan pemilu seperti money
politics serta isu penggelembungan suara melalui kolusi dan penyuapan terhadap
petugas rekapitulasi dilakukan oleh oknum atau caleg berbagai parpol di
berbagai daerah. Kecurangan-kecurangan yang terjadi sekarang tidak lagi
didominasi oleh dan untuk satu parpol tertentu.
Keadaan
tersebut berbeda dengan era Orde Baru yang mengesankan kecurangan dilakukan
oleh dan untuk satu parpol pendukung rezim yang berkuasa. Dulu penyelenggara
pemilu bukan KPU, melainkan Lembaga Pemilihan Umum (LPU) yang diketuai oleh
menteri dalam negeri dan menjadi tertuduh utama atas kecurangan yang masif.
Pelaksanaan
pemilu sekarang memang buruk, terjadi kesemrawutan dan isu kecurangan di
berbagai lini. Tetapi, keadaan itu dapat dilihat sebagai kemajuan dalam
demokrasi kita karena kesemrawutan tersebut menjadi tanggung jawab bersama.
Tegasnya,
kesemrawutan yang sebenarnya merupakan kemunduran pemilu ini merupakan kemajuan
demokrasi karena ia menjadi tanggung jawab bersama, tidak lagi karena hegemoni
negara.
Kemajuan
lain dalam perkembangan demokrasi kita dewasa ini ialah adanya kebebasan bagi
siapa pun untuk melancarkan kritik bahkan mengajukan diri untuk menjadi
presiden. Setiap hari kita dapat mendengar kritik tajam dan menonton
demonstrasi tentang kehebatan orang yang merasa hebat, meski kemudian ternyata
tidak punya kehebatan apa pun.
Kita juga
dapat menonton berbagai trik politik dalam pencalonan presiden yang sekarang
bisa dilakukan oleh siapa pun secara sangat bebas dan demokratis.
Ini dapat
kita catat sebagai kemajuan dalam demokrasi. Sebelum reformasi, tak mungkinlah
kita bisa menyaksikan itu karena (dulu) tak ada yang berani melakukannya
kecuali mau ditangkap atau diisolasi. Itulah yang mungkin dapat disebut sebagai
kemajuan dalam kemerosotan demokrasi.
Tetapi,
kemajuan yang tampaknya tidak paradoks dalam perkembangan ketatanegaraan kita
adalah menguatnya nomokrasi (kedaulatan hukum) sebagai pengimbang atas
demokrasi (kedaulatan rakyat). Jika dulu keputusan-keputusan politik yang
hegemonik selalu bisa dipaksakan atas nama demokrasi, sekarang keputusan
lembaga demokrasi dapat dibatalkan oleh lembaga nomokrasi.
Lihat
saja betapa banyaknya UU yang ditetapkan secara demokratis di DPR tetapi
dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi karena bertentangan dengan nomokrasi. Ini
kemajuan yang signifikan, tidak paradoks, dan perlu dikuatkan. []
Moh. Mahfud MD, Akademisi
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar