Pekerjaan Besar setelah Kenaikan Harga BBM
Senin, 24 Juni 2013
Sehari setelah pengumuman kenaikan harga
bahan bakar minyak (BBM), saya berkunjung ke Universitas Riau (Unri). Itu untuk
memenuhi undangan Ketua BEM Unri Zulfa Henri yang gigihnya luar biasa. Sehari
bisa kirim SMS ke saya seperti minum obat saja, tiga kali.
Waktu saya mendarat
di Pekanbaru, Zul berteriak histeris. Kekhawatirannya bahwa saya tidak bisa
datang sangat beralasan: Pekanbaru lagi dilanda asap tebal akibat pembakaran
lahan untuk perkebunan sawit. Pagi itu jarak pandang tinggal kurang dari 2 km.
Tiba di kampus seluas
300 hektare itu, mahasiswa sudah memadati aula. Bahkan, mereka meluber sampai
ke halaman. Saat dialog tiba, mahasiswa berebut naik pentas. Lebih dari 30
mahasiswa yang maju. Masih lebih banyak lagi yang mengangkat tangan, minta
diberi kesempatan bicara. Moderator sampai kesulitan memilih siapa yang
diprioritaskan.
Tentu pertanyaan
terbanyak adalah soal BBM yang baru saja dinaikkan. Saya tidak basa-basi dalam
hal ini. Tidak ada pemerintah yang senang menaikkan harga BBM. Pemerintahan siapa
pun pernah dicaci-maki karena menaikkan harga BBM. Semua presiden sudah
merasakan penderitaan karena harus menaikkan harga BBM. Presiden yang lalu
maupun presiden yang sekarang. Bahkan, juga presiden yang akan datang.
Tapi, memang ada satu
suara yang harus didengarkan baik-baik: kebijakan energi. Meski tidak akan
membuat harga BBM tidak naik, kebijakan energi yang baik akan memuaskan banyak
orang. Inilah yang sekarang lagi menjadi pusat perhatian pemerintah.
Misalnya, soal
perizinan usaha eksplorasi minyak dan gas. Saya mencoba memanggil dua mahasiwa
yang berani naik panggung untuk menjawab pertanyaan ini: berapakah izin yang
diperlukan untuk usaha eksplorasi minyak? “Sepuluh izin,” jawab seorang
mahasiswa fakultas ekonomi. “Perkiraan saya 17 izin,” kata yang satu lagi.
Di mata mahasiswa, 17
atau 10 izin itu ternyata sudah dianggap terlalu banyak. Itulah pandangan
generasi masa kini. Yang membayangkan hidup itu tidak boleh ruwet. Itulah
gambaran generasi digital yang menganggap semua persoalan harus bisa
diselesaikan dengan cepat dan mudah. Seperti mereka menggunakan gadget atau
iPad.
Bayangkan, generasi
baru itu beranggapan 10 jenis izin pun sudah ruwet. Padahal, untuk bisa
memproduksi minyak dan gas, izin yang harus didapat sebanyak ini: 280 izin!
Mengurus izinnya pun
tidak hanya di satu atau dua kementerian, tapi di 15 kementerian. Meskipun ini
usaha perminyakan, izin terbanyak justru dari Kementerian Perhubungan: 28 buah!
Saya baru tahu semua
itu ketika menagih Pertamina: kapan program Brigade 200K yang dibentuk tahun
lalu itu mulai membawa hasil. Brigade 200K adalah satu tim khusus di Pertamina
yang semua anggotanya generasi muda di perusahaan itu. Umur mereka paling
tinggi 29 tahun. Tim khusus ini sengaja harus anak-anak muda agar bisa
habis-habisan bekerja meningkatkan produksi minyak Pertamina.
Dalam waktu dua tahun
Brigade 200K harus bisa menambah produksi minyak Pertamina 200.000 barel per
hari. Satu pekerjaan yang berat, namun harus berhasil. Caranya: mendayagunakan
sumur-sumur lama Pertamina yang sudah kurang produktif. Sumur-sumur itu memang
sudah tua, tapi bukan tidak bisa ditingkatkan produksinya.
Teknologi yang
dipergunakan di situ adalah teknologi lama-lama sekali. Teknologi zaman Belanda.
Kini teknologi di bidang itu sudah luar biasa majunya. Modernisasi itulah yang
akan dilakukan Brigade 200K.
Ternyata persoalannya
tidak hanya di teknologi. Teknologinya sudah siap. Brigade 200K-nya juga sudah
bergerak. Namun, ada tembok-tembok tebal yang harus dijebol: peraturan dan
perizinan!
Untungnya, Presiden
SBY segera mengetahui hal ini. Kepala SKK Migas Prof Dr Rudi Rubiandini
memaparkan kepada presiden mengenai ruwetnya perizinan itu. Presiden lantas
membeberkannya di sidang kabinet. Lalu, dibentuk tim untuk melakukan, apa yang
beliau sebut “revolusi” perizinan migas.
Kini setelah hiruk
pikuk kenaikan harga BBM berlalu, agenda yang lebih mendesak adalah revolusi
perizinan migas. Tanpa revolusi itu, usaha migas akan seperti siput. Hari ini
bergerak, baru dua tahun kemudian bisa mulai action di lapangan.
Prof Rudi dan Dirut
Pertamina Karen Agustiawan juga sudah bertemu untuk menyepakati banyak hal agar
Pertamina bisa lebih lincah. Saya menyaksikan jalannya mencapai kesepakatan
itu. Dengan harap-harap cemas. (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar