Transformasi Kelembagaan
Pendidikan Pondok Pesantren
Oleh: Hasan Baharun*
Tujuan pondok pesantren sebagai lembaga
pendidikan Islam tidak semata-mata memperkaya pikiran santri dengan teks-teks
dan penjelasan-penjelasan agama, tetapi juga untuk meningkatkan moral,
menghargai nilai-nilai spiritual dan kemanusiaan, mengajarkan sikap jujur dan
menyiapkan murid untuk hidup sederhana dan bersih hati.
Santri dididik untuk menjadi orang alim dalam ilmu agama serta mampu mengamalkannya di dalam masyarakat.
Tujuan pendidikan pesantren bukanlah untuk mengerjakan kepentingan kekuasaan, uang dan keagungan duniawi, tetapi ditanamkan kepada mereka bahwa belajar adalah semata-mata kewajiban dan pengabdian kepada Tuhan. Diantara cita-cita pendidikan pesantren adalah latihan untuk dapat berdiri sendiri dan membina diri agar tidak menggantungkan sesuatu kepada orang lain kecuali kepada Allah SWT.
Dari rumusan tujuan tersebut, tampak jelas
bahwa pendidikan pesantren sangat menekankan pentingnya tegaknya Islam di
tengah-tengah kehidupan sebagai sumber utama moral yang merupakan kunci
keberhasilan hidup bermasyarakat. Agama menurut WM Dixon (1996) diyakini
sebagai dasar yang paling kuat bagi pembentukan moral, dan apabila penghargaan
kepada ajaran agama merosot, maka sulit mencari penggantinya.
Pesantren sebagai Lembaga Keagamaan
Pesantren berfungsi sebagai tempat penyebaran
dan penyiaran agama Islam. Hal ini dapat kita ketahui pada sejarah berdirinya
pesantren-pesantren pada generasi awal dengan tujuannya yang tinggi dan mulia.
Pesantren dalam hal ini, akhirnya berperan ganda,
yakni pesantren terlibat dalam proses penciptaan tata nilai yang memiliki dua
unsur usaha, yaitu usaha yang dilakukan terus menerus secara sadar untuk
memindahkan pola kehidupan ala Rasulullah SAW dan pewaris Nabi ke dalam
kehidupan pesantren. Unsur selanjutnya adalah, disiplin sosial yang ketat di
pesantren, yaitu kesetiaan tunggal kepada pesantren untuk mendapatkan topangan
moril dari kyai untuk kehidupan pribadinya.
Dalam proses perkembangannya, pesantren masih
tetap disebut sebagai suatu lembaga keagamaan yang mengajarkan, mengembangkan
ilmu agama Islam. Dengan segala dinamikanya, pesantren dipandang sebagai
lembaga yang merupakan pusat dari perubahan-perubahan masyarakat lewat kegiatan
dakwah Islam, seperti tercermin dari berbagai pengaruh pesantren terhadap
perubahan dan pengembangan individu, sampai pada pengaruhnya terhadap politik
diantara para pengasuhnya dan pemerintah.
Hal tersebut bisa dilihat tidak saja
pesantren pada posisi dewasa ini, tetapi bisa dilihat posisi pesantren pada
zaman dahulu sebelum Belanda datang di Indonesia. Secara pedagogis, pesantren
lebih dikenal sebagai lembaga pendidikan Islam, lembaga yang di dalamnya
terdapat proses belajar mengajar ilmu agama Islam dan lembaga yang dipergunakan
untuk penyebaran agama Islam. Dalam proses belajar mengajar dalam pesantren
diajarkan bahwa Islam adalah agama yang mengatur bukan saja amalan-amalan
peribadatan, apalagi sekedar hubungan orang dengan Tuhannya, melainkan juga
perilakunya dalam hubungan dengan manusia di dunia.
Pesantren dan Tantangan Modernisasi
Modernisasi yang dalam bentuk umum Indonesia
lebih dikenal dengan istilah "pembangunan" (development) adalah
proses multi dimensional yang komplek. Modernisasi paling awal dari sistem
pendidikan di Indonesia harus diakui tidak bersumber dari kalangan kaum muslim
sendiri. Kemunculan modernisasi pendidikan Islam di Indonesia berkaitan erat dengan
pertumbuhan gagasan modernisme Islam di kawasan ini. Dalam lapangan pendidikan,
modernisasi setidaknya dapat dilihat dengan direalisasikannya pembentukan
lembaga-lembaga pendidikan modern yang mengadopsi dari system dan kelembagaan
kolonial Belanda, bukan dari system pendidikan Islam tradisional.
Diskripsi di atas setidaknya sedikit
menjelaskan bagaimana respon pesantren dalam menghadapi berbagai perubahan di
sekelilingnya, khususnya yang berkaitan dengan tuntutan masyarakat
sekelilingnya seiring perkembangan zaman. Dalam menghadapi berbagai perubahan
itu, eksponen pesantren terlihat tidak tergesa-gesa mentransformasikan
kelembagaan pesantren menjadi lembaga pendidikan modern Islam sepenuhnya,
tetapi sebaliknya, cenderung mempertahankan kebijaksanaan sehari-hari (cautious
policy) mereka menerima pembaharuan (modernisasi) pendidikan Islam hanya dalam
skala sangat terbatas, sebatas mampu menjamin pesantren tetap survive.
Sedikitnya terdapat dua cara yang dilakukan
pesantren dalam merespon perubahan ini : Pertama, merevisi kurikulumnya dengan
memasukkan sebagian mata pelajaran dan keterampilan umum. Kedua, membuka
kelembagan dan fasilitas pendidikannya bagi kepentingan pendidikan umum.
Kalau kita cermati lebih mendalam, kemunculan
modernisasi pendidikan bukan tanpa dampak. Untuk itu, pesantren yang menerima
modernisasi harus benar-benar selektif dalam menerima dan mengadopsi pola-pola
dari luar. Namun demikian, pesantren tidak harus menutup diri, ia harus terbuka
dalam mengikuti tuntutan perkembangan zaman. Materi pendidikan pesantren,
metode yang dikembangkan serta manajemen yang diterapkan harus senantiasa
mengacu pada relevansi kemasyarakatan dan trend perubahan.
Oleh karena itu, agar posisi pesantren tidak
menjadi stagnan, dengan kata lain "la yahya wa la yamuut", maka yang
harus dilakukan oleh lembaga pesantren sebagai lembaga pendidikan adalah dengan
menumbuhkan rasa kesadaran dalam mengantisipasi ke depan dengan melakukan
inovasi dan pengembangan pesantren. Langkah yang dapat ditempuh adalah dengan
memposisikan pesantren sebagai "penjawab" atas tuntutan masyarakat,
tuntutan lingkungan, tuntutan zaman dan lain sebagainya, atau dengan kata lain
perlu adanya hubungan simbiotik antara pesantren, masyarakat dan lingkungannya
sebagai bagian terpenting dari dunia pesantren. Dengan demikian pesantren akan
semakin eksis dalam mengantisipasi perubahan sosial dan bahkan berperan
mengarahkan perubahan yang terjadi seiring dengan menggelindingnya era
modernisasi dan globalisasi.
Ada beberapa alasan mendasar mengapa inovasi
pendidikan pesantren dalam memenuhi tuntutan masyarakat dan lingkungannya serta
perubahan zaman perlu dilakukan secara cepat dan terarah. Dalam kaitannya
dengan hal tersebut, Sudirman Taba, seorang peneliti pesantren mengemukakan
bahwa; Pertama, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan, dakwah dan sosial
dirasakan oleh banyak pihak memiliki potensi yang besar untuk memberikan
sumbangan pemikiran dalam bidang pendidikan dan pengembangan masyarakat. Kedua,
jumlah pesantren potensial, terbukti telah melaksanakan usaha kreatif yang
bersifat rintisan. Ketiga, Usaha ini perlu dikembangkan sambil terus melakukan
upaya pembenahan terhadap masalah utama yang dihadapi pesantren, baik yang
bersifat internal maupun eksternal.
* Penulis adalah Dosen IAI Nurul Jadid Paiton
Probolinggo
Tidak ada komentar:
Posting Komentar