Bambang Soesatyo
Anggota DPR RI/
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia
(Tulisan ini merupakan pendapat pribadi)
Terhitung mulai Kamis (6/6) kemarin, kartu perlindungan sosial sebagai identitas penerima paket kompensasi kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) bersubsidi mulai didistribusikan.
Menurut Menteri Koordinator Kesejahteraan Rakyat (menkokesra) Agung Laksono, untuk sementara kartu itu hanya penanda bagi penerima beras miskin (raskin). Namun tak menutup kemungkinan kemudian akan digunakan juga untuk program lain seperti beasiswa siswa miskin (BSM), program keluarga harapan (PKH) dan bantuan langsung sementara masyarakat (BLSM).
Menurut pemerintah, raskin ini merupakan program yang sudah berkelanjutan dan bukan sebagai kompensasi kenaikan BBM. Karena itu tidak menunggu pengesahan di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR).
Raskin merupakan program perlindungan sosial yang sudah disiapkan untuk 12 kali dalam setahun namun dinaikkan menjadi 15 kali setahun dengan adanya kenaikan BBM. Selain itu jatah raskin yang awalnya hanya Rp 15 kilogram menjadi 20 kilogram untuk 15,5 juta rumah tangga. Untuk itu pemerintah mengalokasikan dana Rp 4 hingga Rp 5 triliun.
Ada sekitar 1,5 juta kartu perlindungan sosial yang akan didistribusikan ke rumah-rumah tangga di seluruh Tanah Air. Kartu tersebut dikirimkan langsung ke alamat penerima oleh PT Pos Indonesia.
Dari peristiwa di atas jelas sudah, bahwa pemerintah tetap bersikukuh untuk tetap menggelindingkan program BLSM sebagai konpensasi kenaikan harga BBM. Padahal proposal Dana Kompensasi Kenaikan Harga BBM bersubsidi tidak layak untuk disetujui DPR karena sejumlah alasan yang relevan. Selain karena sejumlah program dalam proposal itu sudah terakomodasi dalam APBN 2013, ada potensi penyalahgunaan kompensasi itu untuk kepentingan politik menuju tahun Pemilu 2014.
Alasan lainnya, pemerintah belum becus mengelola BBM bersubsidi, karena jumlah yang diselundupkan terbilang sangat besar. Karena itu, proposal dana kompensasi yang akan diusulkan pemerintah dalam APBN-P 2013 tidak memenuhi persyaratan untuk diterima.
Dalam proposal Dana Kompensasi itu, ada program yang sama dan serupa dengan Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada warga miskin. Sebutannya diubah menjadi Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM). Kekuatan-kekuatan politik di DPR tentu saja akan belajar dari pengalaman menjelang Pemilu 2009. Saat itu, BLT dijadikan kuda tunggangan partai penguasa untuk meraih simpati pemilih. Hal serupa tidak boleh berulang di Pemilu 2014.
Kompensasi lain seperti beras untuk warga miskin (Raskin), serta bantuan bagi siswa miskin (BSM) dan Program Keluarga Harapan (PKH) sudah terakomodasi dalam APBN tahun berjalan.
Alasan lain untuk menolak proposal itu adalah fakta bahwa pemerintah belum efektif mengelola BBM bersubsidi, karena persentase yang dicuri atau diselundupkan masih terbilang tinggi. Kelanggkaan BBM saat ini lebih disebabkan pencurian dan penyelundupan oleh oknum aparat negara. Artinya, Pemerintah belum all out memerangi penyelundupan BBM bersubsidi.
Perkiraan bahwa 30 persen BBM bersubsidi diselundupkan atau tidak tepat sasaran sudah dibenarkan oleh pemerintah sendiri. Namun, respons pemerintah atas masalah ini sangat minimalis. Dengan demikian, terpenuhilah syarat untuk menolak proposal Dana Kompensasi Kenaikan Harga BBM bersubsidi itu.
Pemerintah memperkirakan bahwa kenaikan harga BBM bersubsidi tahun ini akan menyebabkan empat (4) juta warga berstatus nyaris miskin menjadi benar-benar miskin. Inilah salah satu alasan bagi pemerintah menggagas Dana Kompensasi dalam APBN-P 2013. Pertanyaannya, apakah dana kompensasi itu akan menyelesaikan masalah kemiskinan?
Jelas tidak, karena kekuatan kompensasi itu temporer alias sementara, sedangkan dampak kenaikan harga BBM cenderung permanen, terutama terhadap harga barang dan tarif jasa. Lebih khusus lagi, terhadap harga kebutuhan pokok. Dampak yang cenderung permanen itu disebabkan pemerintah tidak berdaya dalam hal pengendalian harga.
Lagi pula, dana kompensasi atau kebiasaan member bantuan langsung tunai (BLT) maupun Bantuan Langsung Sementara Masyarakat (BLSM) hingga Raskin adalah cerminan dari rasa tidak percaya diri pemerintah atas program memerangi kemiskinan di negara ini. Bahkan, boleh jadi bahwa pemerintah sesungguhnya sudah merasa gagal memperbaiki kualitas kehidupan warga miskin. Sehingga, untuk mengobati kekecewaan warga miskin sekaligus memperbaiki citra dan kinerja pemerintah di mata rakyat, digagaslah BLSM dan program sejenis lainnya.
Apakah program-program seperti itu efektif? Kalau yakin efektif, pemerintah seharusnya berani membeberkan hasil dari program BLT yang diakhiri selepas Pemilihan Presiden 2009 itu. Berapa banyak warga miskin yang bisa atau sudah keluar dari selimut kemikinan berkat BLT itu?
Pada akhirnya, harus dikatakan bahwa Dana Kompensasi atau BLSM itu merupakan tindakan tambal sulam dari program memerangi kemiskinan. Juga mencerminkan adanya inkonsistensi program pengentasan kemiskinan. Bahkan, boleh jadi pemerintah tidak mempunyai program yang sistemik dalam memerangi kemiskinan. Akibatnya, BLSM dan program sejenis lainnya selalu dipilih sebagai jalan keluar, manakala warga miskin diperhitungkan akan menerima dampak sangat serius dari sebuah kebijakan pemerintah, seperti halnya dengan kebijakan menaikkan harga BBM itu.
Tidak Transparan
Total anggaran Dana Kompensasi kenaikan harga BBM yang diajukan pemerintah ke DPR dalam RAPBN-P 2013 mencapai Rp 66,8 triliun. Anggaran Raskin menjadi Rp21,9 triliun, PKH Rp3,6 triliun, BSM Rp12 triliun, BLSM Rp11,6 triliun, dan infrastruktur dasar Rp17,7 triliun. Untuk itu, pemerintah akan mencetak 15,5 juta kartu yang akan dibagikan kepada masyarakat miskin penerima kompensasi. Masyarakat yang berhak mendapatkan kompensasi akan menggunakan kartu ini untuk mendapatkan bantuan dalam program Raskin, BSM, PKH dan BLSM.
Menarik untuk dipertanyakan adalah data-data tentang masyarakat penerima kompensasi itu bersumber dari mana? Pemerintah daerah/kabupaten, atau semata-mata skenario pemerintah pusat? Dari pertanyaan inilah banyak kalangan merasakan tidak adanya transparansi dalam mengidentifikasi warga yang berhak menerima kompensasi. Apalagi, selama ini, publik tidak pernah mendengar pemerintah daerah berinisiatif atau all out meminta dana kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi. Masyarakat hanya tahu bahwa pihak yang paling antusias memperjuangkan dana kompensasi itu hanya pemerintah pusat.
Sejatinya, hanya pemerintah daerah, utamanya pemerintahan kabupaten, yang paling tahu apakah daerahnya butuh dana kompensasi atau tidak? Dengan demikian, permintaan seharusnya datang dari pemerintah daerah, bukan disodorkan oleh Jakarta. Maka, data tentang warga yang berhak menerima kompensasi pun seharusnya bersumber dari pemerintah kabupaten.
Ada paradoks yang menjadi alasan untuk mengatakan pemerintah di Jakarta tidak transparan. Dengan alasan otonomi daerah, Pemerintah pusat seringkali lepas tangan ketika daerah sedang diselimuti masalah. Bahkan ketika sebuah daerah sedang terperangkap konflik horizontal, pemerintah pusat terang-terangan tidak mau hadir sebagai penengah dengan alasan otonomi daerah.
Lalu, mengapa Jakarta begitu pro aktif, bahkan menjadi penggagas Dana Kompensasi kenaikan harga BBM bersubsidi, bahkan langsung menetapkan jumlah penerima kompensasi untuk warga miskin di seantero negeri? Kalau konsisten dengan prinsip otonomi, pemerintah pusat seharusnya menunggu dulu aspirasi daerah.
Barangkali, karena sejumlah alasan itulah proses pembahasan dana kompensasi di DPR tidak berjalan mulus.
Apalagi, berbagai elemen masyarakat terang-terangan menuding pemerintah sebagai sumber masalah dari gelembung BBM bersubsidi. Beberapa tahun belakangan ini, pemerintah selalu mengeluh karena konsumsi BBM bersubsidi selalu melampaui kouta APBN. Padahal, kuota terlampaui bukan karena meningkatnya konsumsi masyarakat, melainkan karena oknum-oknum pemerintah membuka akses bagi pencurian dan penyelundupan BBM bersubsidi.
Beberapa penelitian independen mengindikasikan bahwa pencurian BBM bersubsidi bisa mencapai 30 persen dari kuota APBN. Bahkan, pemerintah sendiri sangat yakin bahwa minimal 20 persen dari kuota BBM bersubsidi tidak tepat sasaran alias diselundupkan. Masalah ini mendapatkan pembenaran dari dokumentasi Badan Pengatur Hilir Minyak dan Gas Bumi (BPH Migas).
Menurut BPH Migas, dalam periode Januari - Oktober 2012, tercatat 551 kasus pencurian BBM bersubsidi. Saat menerapkan teknologi khusus bagi Sistem monitoring dan pengendalian (SMP) BBM bersubsidi, Pertamina berharap bisa menyelamatkan BBM Bersubsidi 1,5 juta kilo liter per tahun ekivalen Rp 7,5 triliun. Artinya, sebelum menghadirkan teknologi khusus itu, Pertamina mengindikasikan pencurian BBM bersubsidi sebanyak 1,5 juta kilo liter per tahun.
Di lapangan, penyalur resmi BBM bersubsidi bahkan bisa mendapatkan bensin premium dengan harga Rp 4.300 per liter. Karena harga resmi Pertamina Rp 4.500, si penyalur sudah untung Rp 200 per liter. Padahal, menurut aturan mainnya, penyalur resmi harus membayar Rp 9.000 per liter di depot Pertamina dan akan mendapatkan subsidi pemerintah sebesar Rp 4.500 per liter.
Nilai BBM bersubsidi yang diselundupkan setiap tahunnya hampir sama besar dengan anggaran dana kompensasi Rp 66,8 triliun yang diminta pemerintah melalui APBN-P 2013. Kalau pemerintah rajin dan jujur memerangi penyelundupan BBM bersubsidi, APBN akan selalu aman terkendali. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar