Mengembalikan Keseimbangan Tradisi dan
Pemikiran Pesantren
Judul Buku
: Kiai Mengaji Santri Acungkan Jari
Penulis
: Ali Usman
Penerbit
: Pustaka
Pesantren
Tahun terbit :
2013
Tebal Buku
: 222 halaman : 12 x18 cm
ISBN
: 602-8995-34-7
Harga Buku :
Rp. 40.000
Peresensi
: Nursodik El Hadee, pengelola
Rumah Baca PesMa Al Firdaus, anggota CSS MoRA IAIN Walisongo Semarang
Pesantren merupakan warisan sekaligus
kekayaan kebudayaan intelektual bangsa Indonesia. Dalam proses perkembangan
sistem pendidikan, peranan pesantren sangatlah besar di samping eksistensinya
dalam mempertahankan serta melestarikan ajaran-ajaran agama Islam. Dimana
didalamnya hadir sosok Kiai yang menjadi sentral tokoh keilmuan di pesantren
dan sosok santri sebagai pengkaji keilmuan islam, mereka yang pernah belajar
dan mengabdi kepada kiai di pesantren. Hubungan antara kiai dan santri menjadi
salah satu topik yang diceritakan Ali Usman dalam buku yang berjudul Kiai Mengaji Santri
Acungkan Jari.
Buku ini merupakan jejak pengalaman pribadi yang dirasakan selama bergelut dalam dunia kepesantrenan. Kerinduan Ali Usman terhadap gairah santri dalam berinteraksi dan belajar (nyantri) di pesantren. Tentang bagaimana santri tidak hanya menerima informasi dari kiai, tapi bagaimana seorang santri bisa mengkritisi dan menanyakan sesuatu pada kiai di kupas secara apik oleh Ali Usman.
Uraian demi uraian inilah yang akan disajikan sebagai bahan refleksi atas tradisi dan pemikiran pesantren. bahwa dikatakan pesantren telah berkembang secara keilmuan namun secara tradisi dan pemikiran masih statis.
Ali Usman berupaya memberikan rasa cinta dan keprihatinannya terhadap pesantren dengan menghadirkan kehidupan di pesantren yang inklusif dengan perkembangan zaman. Apalagi melihat belakangan ini, pesantren kerap dituding sebagai “sarang teroris”. Tindakan teror yang mengatasnamakan agama membuat ikon pesantren sebagai lembaga pembelajaran agama tercoreng.
Dari sinilah Ali Usman dalam bukunya melakukan kritik kepada peranan dan metode pembelajaran pesantren. Menurutnya, sepintas memang tak ada persoalan dengan metode pesantren, yang pada umumnya menggunakan cara tradisional seperti bandongan atau sorogan dengan kata lain kiai mengaji, santri menyimak (hal 40).
Bandongan atau sorogan adalah sebuah pembelajaran yang difungsikan agar bisa membaca “kitab kuning” (kitab teks arab yang tidak berharakat) yang efektif, namun tidak pada tingkatan pemahaman tentang isi kitab.
Sehingga yang dirasakan selama ini, pola
pendidikan pesantren tradisional terlalu monoton dan indoktrinatif. Santri
tidak diberi kesempatan bertanya oleh kiai. Terkadang santri hanya disuruh
membaca teks saja tanpa dibarengi dengan memahami makna yang terkandung dalam
teks tersebut.
Pembelajaran di pesantren bisa dikatakan telah mengikuti pembelajaran dengan model “gaya bank”. Contohnya Kiai hanya mengajar mengaji, santri belajar; Kiai berbicara, santri mendengarkan; kiai mengatakan “A”, murid menurutinya.
Praktik pembelajaran demikian jika selalu diterapkan, sedikit banyak akan membuat kejumudan para santri, kebisuan para santri dalam memproyeksikan daya kemampuannya menjadi tidak bebas. Santri merasa barada dalam himpitan labirin kehidupan kiai (hal 173).
Asumsi ini yang dibangun Ali Usman untuk mengetahui bagaimana dinamika kehidupan pesantren yang dialami santri. Bagi seorang santri, menjalani kehidupan di pesantren yang terkesan membosankan dan monoton bak “Napi” yang terkurung sel tahanan. (hal 176)
Kemudian pada titik ini penulis buku melihat bahwa suatu pendidikan diharapkan menemukan apa yang seharusnya menjadi esensi pendidikan itu sendiri.
Dimana pendidikan di pesantren seharusnya lebih bernuansa act of cognition, dengan sikap dialogis antara seorang santri dan kiai. Pola pembelajaran dan pengajaran terhadap santri tidak lagi diperlakukan hanya sebagai objek, layaknya gelas kosong yang mana bila diisi air sebanyak mungkin. Santri punya hak untuk berkata cukup bila air yang diisi meluap atau meluber.
Sepintas memang bisa dikatakan pola hubungan kiai dan santri melahirkan dua sisi mata pedang berbeda. Di satu sisi, atas ketokohan kiai yang meliputi penguasaan ilmu agama yang memadai, pancaran kharismanya begitu memukau, dan teladan moralnya yang layak dicontoh, merupakan harga mati bagi setiap insan untuk menjunjung serta menghormatinya. Tapi di sisi lain penghormatan berlebih pengkultusan terhadap kiai. Di samping itu pola hubungan yang tidak seimbang antara santri dengan kiai akan berdampak pada proses pentransferan ilmu. Yang terjadi nantinya akan muncul semacam “doktrinisasi” oleh kiai terhadap santri-santrinya. (hal 207).
Buku setebal 222 halaman dikemas dengan apik dengan berusaha menyampaikan ide dan gagasan atas pelbagai persoalan yang menyangkut dalam dunia kependidikan pesantren. Dengan penuh rasa cinta, penulis buku mencoba mengkritisi hal-hal fundamental yang selama ini berjalan di pesantren. Poin-poin yang ditawarkan buku ini memantik nalar kita untuk merenungkan akan tradisi pesantren, hubungan santri-kiai, terorisme agama, hingga bagaimana santri memahami tuhan. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar