Peran NU dalam Pembangunan Monas
Ketika sedang menyelesaikan pembangunan
Monumen Nasional (Monas) itu pemberontakan Pemerintahan Revolusioner Republik
Indonesia (PRRI)-Permesta yang berkecamuk bisa ditaklukkan. Kelompok NU yang
sejak awal mengkritik pemberontakan itu, dengan gigih membantu Tentara Nasional
Indonesia (TNI) dalam menangani persoalan tersebut pada beberapa wilayah di
Sumatera. Hal itu dilakukan untuk menjaga keutuhan negara dan sekaligus
kerukunan bangsa.
Ketika posisi militer PRRI terus terdesak
maka pimpinannya memerintahkan beberapa orang untuk menyelamatkan harta
kekayaan PRRI sebagai bekal meneruskan pemberontakan, agar tidak jatuh ke
tangan Angkatan Perang Republik Indonesia (APRI) yang kemudian menjadi TNI.
Setelah mendapat perintah itu dua kader NU Sumatera Barat (Sumbar) yang dipaksa
mengikuti petualangan itu antara lain Saridin Syarif dan Djamalaudin Tarigan,
Saridin Syarif mengambil sekarung emas, karena kekuatannya hanya seperti itu.
Sementara, temannya Djamaluddin Tarigan
(Ketua PWNU Sumbar) membawa sekarung makanan. Tetapi mereka berdua tidak
melanjutkan masuk hutan mengikuti pemberontak, melainkan mengambil jalan lain
secara sembunyi-sembunyi untuk turun gunung dan keluar dari hutan. Pembelotan
mereka berhasil dengan baik tanpa ketahuan pimpinan pasukan.
Setibanya di tempat yang dirasa aman dan
hendak memakan perbekalan, mereka terkejut, barang yang dibawa selain berisi
bahan makanan ternyata berupa emas lantakan dengan cap BI, sebagai jaminan Bank
Indonesia, yang dibobol oleh Presiden Bank Indonesia (BI) sendiri Syafruddin
Prawiranegara, aktivis Masyumi yang saat itu menjadi Perdana Menteri PRRI di
hutan.
Sekarung emas yang dipanggul oleh Saridin itu
berat juga karena setelah ditimbang bobotnya mencapai 18 kilogram, lalu
diserahkan semuanya pada Panglima Operasi 17 Agustus, yaitu Kolonel Ahmad Yani.
Sekarung emas yang diangkut Saridin Syarif itu hanya sisa, berapa kuintal emas
dan uang yang dibobol dari BI tidak diketahui keberadaannya, sebab setelah itu
juga tidak ada penghitungan di BI.
Sebagai bukti kemenangan perang maka barang
itu diserahkan oleh Kolonel Ahmad Yani pada Soekarno. Karena Soekarno merasa
bahwa barang itu tidak hanya memiliki nilai ekonomis, tetapi juga memiliki
nilai historis dan politis yang sangat tinggi. Barang yang direbut dari medan perang,
dengan pengerahan ribuan pasukan darat dan udara untuk menaklukkan musuh negara
yang bersenjata canggih yang di-drop dari Amerika Serikat.
Oleh karenanya, emas tersebut tidak
dikembalikan ke BI sebagai jaminan bank, melainkan sebagai simbol monumen perjuangan.
Maka simbol kemenangan perjuangan itu diabadikan sebagai lidah api berlapis
emas membara di puncak Monas yang berbentuk kobaran api revolusi perjuangan
bangsa. Saridin yang menyerahkan emas rampasan perang pada Soekarno itu
kemudian menjadi pengurus wilayah NU Sumbar.
Itulah kontribusi NU, tidak hanya pada
pembangunan Monas, tetapi pada pembentukan bangsa ini, sebab keteguhan hati
Soekarno untuk memberantas berbagai pemberontakan yang muncul baik DI-TII,
PRRI-Permesta semuanya muncul setelah NU memposisikan Soekarno sebagai waliyul
amri al dloruri bisyaukah, status itu akhirnya juga mengubah peran Soekarno,
kalau selama ini ia hanya berfungsi sebagai simbol belaka.
Dengan gelar dan posisi dari NU itu sekarang
Soekarno memiliki kekuatan politik untuk mengambil tindakan terhadap gerakan
separatis. Awal mula spiritnya dari NU, dengan ma’unah Tuhan pula dipuncaki
dengan kemenangan yang diperoleh oleh kader NU juga ketika berhasil merebut
batangan emas dari tangan PRRI, yang hasilnya diabadikan di atas Monas. []
Disarikan dari berbagai sumber.
(Munim DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar