Beasiswa: Memungut Emas
dari Gerobak Sampah
Oleh: Ahmad Dairobi
Pada dasarnya menuntut ilmu adalah suatu yang
mulia. Kepada siapapun, ilmu apapun, di manapun, dan kapanpun. Kalaupun ada
beberapa ilmu yang tercela, tapi menurut Imam al-Ghazali, dia tercela bukan
karena posisinya sebagai ilmu, tapi karena efek dari ilmu tersebut yang bisa
mengakibatkan terjadinya keburukan-keburukan jika dipegang oleh orang yang
salah.
Bagi orang mukmin, pengetahuan tak ubahnya barang miliknya yang hilang. Maka, di manapun, dia menemukan barang hilang itu, sudah seharusnya dia memungutnya. Begitulah wejangan Rasulullah SAW dalam sebuah Hadis. Jadi, dalam masalah ilmu pengetahuan, pada dasarnya, seseorang tidak dilarang mengambilnya dari manapun dan dari siapapun, asalkan hal itu tidak melahirkan akibat-akibat negatif, khususnya bagi agama dan moral.
Asumsi adanya akibat negatif inilah yang menyebabkan adanya fatwa dari kalangan ulama modern yang mengharamkan studi ke negeri-negeri non Muslim, kecuali karena ada kepentingan yang mendesak.
Menurut Syekh Zakariya al-Anshari, hukum orang Islam yang tinggal di negeri non Muslim, tergantung kondisinya. Kondisi pertama, di negeri tersebut ia tidak bisa menampakkan keislamannya atau melaksanakan ajaran Islam secara bebas. Dalam kondisi ini, ia harus pergi dari sana, berhijrah ke negeri kaum Muslimin, apabila mampu dan memungkinkan. Kondisi kedua, ia bisa menampakkan keislamannya, bisa menjaga keselamatan atau membela diri dari gangguan orang-orang kafir, dan bisa mendirikan komunitas yang terpisah dari mereka. Dalam kondisi ini, ia harus menetap di sana, tidak boleh pergi, sebab jika pergi sama saja dengan memberikan hadiah tanah kepada mereka. Ketiga, ia bisa menampakkan keislamannya, tapi tidak bisa menjaga keselamatan diri, dan tidak bisa mendirikan komunitas yang terpisah dari mereka. Dalam kondisi ini, ada tiga pemilahan. Jika keberadaannya di sana kira-kira bisa menyebabkan Islam tumbuh berkembang, maka ia dianjurkan menetap. Jika hijrahnya ke negeri kaum Muslimin bisa membantu kekuatan mereka, maka dianjurkan hijrah. Jika dua keuntungan itu sama-sama mungkin terjadi, maka ia bisa memilih salah satunya.
Yang jelas oleh Syekh Zakariyah al-Anshari di atas adalah mengenai orang Islam yang aslinya memang tinggal di negeri non Muslim. Lalu, bagaimana dengan orang Islam yang hendak melakukan studi ke negeri-negeri non Muslim? Kira-kira hukumnya tidak jauh beda, atau bahkan lebih berat. Sebab, menurut beberapa ulama Hanafiyah, datang dan menetap di negeri non Muslim, memiliki pontensi bahaya yang sangat besar terhadap akidah. Oleh karena itu, mengenai hukuman yanfau minal-ardhi (diasingkan) untuk para penyamun seperti ditegaskan oleh al-Qur’an, tidak sedikit ulama yang menafsirkannya dengan penjara. Sebab, jika maksud diasingkan di situ, adalah diasingkan dari negeri Muslim (ke negeri non Muslim), maka hal itu sangat berbahaya bagi akidahnya.
Rasulullah SAW pernah bersabda,
إِنِّي بَرِيْءٌ مِنْ كُلِّ مُسْلِمٍ يُقِيْمُ بَيْنَ ظَهْرَانِي الْمُشْرِكِيْنَ. قَالُوا: يَارَسُوْلَ اللهِ, وَلِمَ ؟
قَالَ: لَاتَرَاءى نَارَهُمَا.
“Aku bebas (tanggungan) dari orang Islam yang
tinggal di tengah-tengah masyarakat musyrik.” Para Sahabat bertanya, “Wahai
Rasulullah, karena apa?” Beliau menjawab, “Di antara mereka tidak boleh saling
melihat api masing-masing.” (HR. at-Thabrani dan an-Nasa’i).
Mengomentari Hadis ini, Imam as-Suyuthi menyatakan bahwa orang Islam berkewajiban untuk menjauh dari tempat tinggal orang-orang musyrik. Dia semestinya tinggal di tengah-tengah kaum Muslimin.
Melihat berbagai pendangan ulama ini, setidaknya ada beberapa hal yang mesti diperhatikan oleh orang Islam yang hendak studi ke negeri-negeri non Muslim. Yang pertama, adanya kepentingan yang mendesak, khususnya yang terkait dengan kepentingan umum umat Islam. Misalnya, menyangkut pengetahuan-pengetahuan teknologi dan sain yang harus dikembangkan oleh masyarakat Muslim. Dalam beberapa Hadis sahih diceritakan bahwa Rasulullah SAW memerintahkan Zaid bin Tsabit untuk mempelajari bahasa Suryani dan bahasa orang-orang Yahudi. Penguasaan terhadap bahasa internasional sangat diperlukan pada saat itu, karena beliau sedang gencar melakukan dakwah melalui korespondensi dengan berbagai bangsa, seperti bangsa Koptik, Yahudi, Romawi, Persia, dan lain sebagainya.
Ketika menjadi khalifah, Sayidina Umar bin al-Khatthab juga sempat memberikan dispensasi untuk mendatangkan Abu Lu’luah ke Madinah, sebab dia memiliki kemampuan yang mumpuni dalam teknologi pembuatan senjata dan kincir angin yang sangat diperlukan oleh umat Islam saat itu. Padahal, pada waktu itu, Sayidina Umar menetapkan larangan masuknya non Muslim dari luar ke Madinah, untuk menjaga kemurnian ajaran Islam dan stabilitas politik.
Kedua, orang yang hendak belajar ke negeri non Muslim atau negeri-negeri yang menjadi pusat aliran menyimpang, harus memiliki kemantapan iman dan kemantapan ilmu agama. Berkumpul dengan orang non Muslim, orang-orang fasik, atau penganut aliran yang menyimpang, bisa menyebabkan tipisnya ghirah (kepedulian dan kefanatikan terhadap kebaikan dan kebenaran). Bahkan, jika tidak memiliki landasan ilmu dan prinsip yang kuat, sangat besar kemungkinan dia akan terpengaruh dan akan menjadi pengikut mereka. Munculnya aliran menyimpang dalam Islam, seperti Qadariyah, adalah buah dari pengaruh orang-orang non Muslim terhadap Ma’bad al-Juhani, seorang tokoh intelektual Muslim yang sering berkumpul dengan mereka.
Oleh karena itu, Rasulullah SAW bersabda,
مَنْ جَامَعَ الْمُشْرِكَ وَسَكَنَ مَعَهَ فَإِنَّهُ مِثْلُهُ
“Orang yang berkumpul dan tinggal dengan
orang musyrik, maka dia sama dengannya.”(HR. Abu Dawud dan al-Hakim dari
Samurah bin Jundab).
Ketiga, di tempat tersebut dia bisa menampakkan keislaman, dengan arti bisa melaksanakan ajaran Islam dengan bebas. Orang Islam pribumi sekalipun, jika tidak bisa melaksanakan ajaran Islam dengan bebas, dia harus hijrah dari negeri non Muslim dan tidak boleh tinggal di sana. Apalagi, orang Islam dari negeri lain yang hendak datang ke sana, maka secara otomatis larangannya jauh lebih tegas.
Selain tiga pertimbangan pokok di atas, juga terdapat pertimbangan-pertimbangan lain yang bersifat kondisional, disesuaikan dengan berbagai prinsip-kaidah yang telah ditetapkan oleh ulama ketika terjadi ta’arudh (pertentangan) antara sisi maslahat dan sisi mudarat.
Sudut pandang yang kurang lebih sama, juga bisa diterapkan dalam konteks studi ke negeri Muslim yang menjadi pusat aliran menyimpang atau perbuatan maksiat, semisal Syiah, Liberalisme, dan semacamnya—meskipun bobot larangannya tentu saja lebih ringan daripada studi ke negeri non Muslim. Imam ar-Ramli menyatakan bahwa, berhijrah yang menjadi tempat kemaksiatan adalah berhukum sunat, jika ia tidak bisa memberantas kemaksiatan tersebut. Hukumnya tidak sampai pada hukum wajib seperti berhijrah dari negeri non Muslim. Hukum inipun bisa berubah menjadi lebih ringan atau lebih berat, apabila terdapat kondisi-kondisi tertentu yang tidak wajar.
Walhasil, tawaran studi ke negeri lain yang tidak seakidah, harus disikapi dengan pertimbangan matang dan esktra waspada. Bukan malah diterima dengan sikap bangga hanya karena melihat kemajuan yang telah mereka capai. Setinggi apapun sebuah kemajuan duniawi, jika tidak disertai dengan keyakinan yang benar dan moral yang baik, hanya akan menambah kejahiliahan sebuah bangsa dari waktu ke waktu. “Islam itu tinggi, dan tidak ada yang melebihi ketinggiannya,” sabda Rasulullah Muhammad SAW. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur, Edisi 75, Halaman 14 – 17.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar