Membela Warisan Salaf di Madura
Judul
Buku : NU Versus Wahabi: Menghadang
Misi Salafi di Pulau Madura (Jawaban Atas Buku-buku KH Shinwani)
Penulis
: Muhammad Syafiq Alydrus dan A. Qusyairi Ismail
Penerbit
: Bina Aswaja
Tahun
Terbit : 2013
ISBN
:978-602-17207-2-1
Halaman
: XV dan 111 Halaman
Peresensi
: Syarif Hidayat Santoso, pengurus LTN MWC NU Kota Sumenep. Alumni Hubungan
Internasional FISIP Universitas Jember
Serangan Wahabi bukan cuma terjadi di
kota-kota besar bahkan telah menyebar secara sporadis di basis rural kaum
nahdliyyin. Di pulau Madura, kaum Wahabi yang kini menyebut dirinya Salafi giat
menggempur keyakinan mapan kaum ahlusunnah wal jamaah.
Fakta 5 tahun terakhir menunjukkan bahwa pola gerakan Wahabi dipusatkan pada dua titik konsentrasi. Pertama di kota-kota, untuk wilayah Madura sendiri gerakan Salafi memijakkan diri pada konsentrasi perumahan dan basis warga muslim modern. Sasarannya adalah kalangan profesional yang minim ilmu agama. Pola gerakan ini dijumpai di kota Sumenep, Pragaan Sumenep, Pamekasan juga Bangkalan. Kalangan urban yang cair dan tak terikat sistem kekerabatan ala Madura pedesaan serta tak memiliki loyalitas homogen adalah sasaran utama mereka. Keragaman masyarakat perumahan juga menjadi faktor plus bagi gerakan salafi.
Pola kedua gerakan Salafi dipusatkan di desa-desa terpencil yang minim terhadap akses ilmu agama. Pola ini dijumpai sejak pelosok Kangean sampai pedalaman Sumenep. Pada pola kedua, terlihat jelas taktik kaum Salafi dalam mengelabui masyarakat awam Madura pedalaman utamanya di kepulauan yang minim ilmu agama. Pada dasarnya masyarakat Nahdliyyin pedalaman di kepulauan merupakan massa NU mengambang yang bisa disasar kaum salafi karena akses terhadap kiai dan pesantren yang minim.
Padahal ajaran Aswaja telah menyatu dalam alam pikir Madura. Prinsip Almuhafadzatu ala qadimis Shaleh wa akhdzu bil jadidil ashlah telah diterapkan oleh muslim Madura. Salah satunya dalam konsep bhuppa’, babbhu’, guru, rato yang berasal dari konsep triguru Hindu Majapahit (Agus Sunyoto:2012). Madura juga teguh dalam memegang warisan ulama salaf sejak akidah, fikih dan tasawuf baik melalui para raja seperti Joko Tole, Bindhara Saod sampai Sultan Abdurrahman maupun melalui para ulama sejak Syaikhona Kholil Bangkalan, Kiai Syamsul Arifin Kembang Koneng, para ulama Prajan Sampang, para ulama Bata-bata dan Banyuanyar Pamekasan, Kiai Abi Suja’ dan Zainal Arifin Sumenep, juga kalangan habaib sunni di seluruh Madura. Makam auliya Madura sejak Asta Sayyid Yusuf Talango sampai Asta Rato Ebu menjadi saksi teguhnya tradisi Aswaja di Madura.
Kini, tradisi dan ajaran Aswaja diserang ironisnya oleh orang Madura sendiri yang terpengaruh pemikiran Salafi. Buku ini merupakan jawaban terhadap buku-buku karya Kiai Shinwani yang menyerang pondasi Aswaja di Madura. Namun, patut menjadi catatan tentang sosok Kiai Shinwani pengarang buku Panduan Islam Dalam Logika yang kemudian dibantah oleh buku NU Versus Wahabi ini. Menurut sumber-sumber terpercaya, Kiai Shinwani merupakan tokoh sebuah pesantren di Modung, Bangkalan. Uniknya, sampai hari ini Kiai Shinwani tak terlihat sebagai tokoh Salafi. Di pesantrennya, jamak dilakukan tradisi tahlilan dan tradisi aswaja lain yang dianggap bid’ah oleh kaum Salafi. Istrinyapun aktif dalam kegiatan Muslimatan di Modung. Tak ada indikasi bahwa Kiai Shinwani menganut paham Wahabi. Karenanya, Kiai Shinwani sendiri yang harus turun gunung menjelaskan kepada masyarakat Madura utamanya Bangkalan tentang pemikiran yang dituangkan dalam buku Panduan Islam Dalam Logika, agar tidak terjadi kontroversi di masyarakat. Mungkinkah buku karangan Kiai Shinwani hanyalah kesalahan editor ataukah kalangan Salafi sengaja memanipulasinya, wallahu a’lam.
Terlepas dari kontroversi Kiai Shinwani, buku ini tetap layak dibaca di tengah derasnya arus pemikiran Salafi-Wahabi. Titik tolak pada buku ini dipusatkan pada lima pembahasan. Pertama tentang konsep bermazhab ala Ahlusunnah wal Jamaah yang dilahirkan sebagai antitesis terhadap pola pikir anti mazhab kalangan Salafi. Bagian kedua menitikberatkan pada pembahasan tentang hadits dhaif, bagian ketiga tentang pembelaan tentang mukminnya kedua orang tua nabi, bagian keempat tentang pemahaman bid’ah serta bagian kelima tentang tradisi dan hubungannya dengan bid’ah. Pada titik poin pertama, buku karangan A. Qusyairi Ismail dan M. Syafiq Alydrus ini menitikberatkan pada representasi para ulama sunni yang semuanya bermazhab empat termasuk pendapat Ibnu Taimiyah dan Ibnu Qayyim Al Jauziyah yang memberi isyarat bahwa bermazhab merupakan perilaku beragama yang benar, mulia dan menjaga keselarasan dengan sunnah. Perbedaan pendapat dalam furu’iyah juga menjadi suatu keniscayaan karena hal itu telah dipraktekkan generasi terbaik, kaum salaf.
Pembahasan hadits dhaif dibahas secara ringkas namun secara umum mengena. Selain mengutip pendapat ulama salaf seperti Sufyan Tsauri, Imam Ahmad Bin Hanbal, Sufyan Bin Uyainah, buku ini juga menyebutkan bahwa hadits dhaif pada dasarnya telah diamalkan dan disepakati semua ulama pada bidang fadha’il al a’mal. Buku ini juga menyebut bahwa hadits dhaif terdapat dalam kitab-kitab karangan Imam Ghazali, Imam Nawawi, Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah dan Muhammad Bin Abdul Wahab. Kalau hadits dhaif dalam Ihya’ Ulumuddin karangan Imam Ghazali para ulama Salafi telah banyak tahu bahkan menggunakannya sebagai amunisi serangan terhadap tasawuf. Namun sayangnya, buku ini tak menyebutkan contoh hadits dhaif dan maudhu’ yang berada dalam kitab-kitab ulama rujukan Salafi seperti Ibnu Taimiyah, Ibnu Qayyim Al Jauziyah dan Muhammad Abdul Wahab sehingga serangan balik terhadap Salafi menjadi kurang mematikan.
Tentang mukminnya kedua orang tua nabi juga dibahas secara singkat, ringkas dan padat. Tapi pembahasan ini masih kurang mendalam karena kalangan Salafi di beberapa kitab memiliki bantahan berliku untuk mebuktikan bahwa kedua orang tua nabi musyrik. Namun secara umum, buku ini telah memberikan hujjah bantahan tentang keimanan kedua orang tua nabi secara mengena baik melalui analisa tafsir secara singkat, dalil dari hadits serta pendapat para ulama termasuk Ibnu Taimiyah.
Secara umum buku ini layak dibaca namun menurut hemat kami masih sebatas pendahuluan dari sebuah dialog panjang dengan Salafi. Bagi kalangan awam, buku ini sudah cukup sebagai benteng pertahanan yang multiguna. Namun, bagi kalangan intelektual, buku ini masih perlu untuk menyajikan pembahasan secara lebih dalam, detil dan hujjah ilmiah yang lebih banyak lagi. Makin bervariasinya taktik kaum Salafi dalam bergerak dan makin rumitnya mereka dalam menyajikan dalil harus dihadapi dengan sebuah buku yang kajiannya lebih mendalam lagi. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar