Belajar Tafsir Tanpa
Mengerti Tajwid
Seringkali kita mendengar pengajian dan
ta’lim baik di masjid perkantoran, masjid komplek, maupun di mushalla-mushalla
yang membahana, menyerukan Islam dengan lantang tanpa basa-basi.
Pengajaran-pengajaran itu membahas berbagai ajaran Islam. Mulai dari fiqih,
tauhid, hadits hingga tafsir.
Sebenarnya hal ini harus diapresiasi oleh
kaum muslim, karena dapat dikatakan sebagai kemajuan dakwah Islam. Begitu
hebatnya para da’i itu hingga mampu menjadikan para jama’ah betah mengikuti
pengajian, baik dengan humor maupun dengan retorika yang mengagumkan.
Sayangnya, seringkali kelihaian retorika dan
gaya penampilan tidak diimbangi oleh pemahaman. Ini dikarenakan keterbatasan
penguasaan para da’i terhadap materi berbahasa Arab. Kebanyakan dari mereka
mengambil pemahaman dari buku-buku terjemahan. Oleh karena itu menjadi agak
janggal ketika para da’i dan ustadz itu dengan fasih menyampaikan berbagai
materi, tetapi terkesan kurang percaya diri ketika mengutip ayat-ayat al-qur’an
dan hadits. Imbasnya, telinga jama’ah malahan terbiasa mendengarkan potongan
terjemah dari ayat al-Qur’an atau terjemahan sebuah hadits bukan lantunan ayat
al-Qur’an. Padahal pahala yang ada dalam al-Qur’an itu ketika dibaca
(al-mutaabad ditilawatihi), bukan ditulis apalagi diterjemahkan.
Tidak hanya itu, yang lebih aneh lagi adalah
ketika materi pengajian itu ternyata adalah tafsir al-Qur’an. Bagaimana pantas
seseorang mengajarkan tafsir al-Qur’an padahal ia tidak mampu membaca al-Qur’an
dengan tartil sesuai aturan ilmu tajwid? Walaupun pada zaman sekarang ini
banyak materi tafsir al-Qur’an yang tersebar dalam versi terjemahan. Hal ini
mengingatkan kita pada sejarah lama kaum oreintalis yang mempelajari kandungan
dan isi al-Qur’an tanpa membaca teksnya, mereka mempelajari al-Qur’an dengan
tujuan menghinakan Islam. Naudzubillah min dzalik.
Maka pertanyaan yang muncul kemudian adalah
bolehkah membaca al-Qur’an tanpa tajwid? dan bagaimana hukumnya mengajarkan
tafsir al-Qur’an tanpa berbekal ilmu tajwid?
Sebelum membicarakan tentang hukum membaca al-Qur’an
tanpa tajwid, terlebih dahulu perlu dijabarkan apakah tajwid itu? Pada dasarnya
isitilah attajwid yang dikenal sebagai ilmu membaca al-Qur’an adalah:
إعطاء
كل حرف حقه ومستحقه
Artinya Memberikan hak dan mustahaq tiap-tiap
huruf (dalam al-Qur’an). Yang dimaksud hak-hak huruf adalah sifatnya yang
dzatiyah yang lazim baginya. Seperti Jahr, Syiddah dan istila. Sedangkan
mustahaknya adalah sifat-sifat yang timbul dari dzat tersebut, seperti tafkhim
dan tarqiq.
Adapun hukum membaca al-Qur’an dengan tajwid
adalah fardhu ain. Dengan kata lain siapapun yang membaca al-Qur’an maka wajib
baginya membaca sesuai aturan tajwid. Baik laki-laki maupun perempuan, baik
ustadz, ahli tafsir, ahli hadits, ilmuwan maupun fisikawan, selama dia muslim
maka membaca al-Qur’an harus dengan tajwid.
Sebagaimana difirmankan Allah swt
ورتل
القرأن ترتيلا
dan bacalah al-Qur’an dengan tartil. Dalam
tafsir baidhowy diterangkan bahwa yang dimaksud tartil adalah:
أى
جوده تجويدا
Tajwidkanlah bacaan (al-Qur’an)mu dengan
tajwid yang benar
Begitu juga yang diterangkan dalam
Al-Mandzumatul Jazariyyah:
والأخذ
بالتجويد حتم لازم * من لم يجود
القرأن أثم
لأنه
به الإلــــــه أنـــــزلا *
وهكذا
منه إلينا وصلا
Menggunakan tajwid adalag wajib/lazim. Dan
barang siapa tidak mentajwidkan al-Qur’an adalah berdosa. Karena dengan
tajwidlah Allah turunkan dia (al-Qur’an) dan begitulah hingga ampai ke kita.
Pendapat ini senada dengan ancaman sebuah
hadits yang berbunyi:
رب
قارئ للقرأن والقرأن يلعنه
Terkadang kejadian orang membaca al-Qur’an
dan al-Qur’an itu malah melaknatnya
Demikianlah dosa seorang pembaca al-Qur’an
tanpa mempedulikan tajwidnya. Lantas bagimana dengan seseorang yang membahas
tafsir tetapi tidak mengerti tajwid? boleh-boleh saja selama dia membahas
tafsir tanpa membaca al-Qur’an, tetapi mana mungkin membahas tafsir al-Qur’an
tanpa membacanya. Andaikan ada, itu sungguh tidak sopan. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar