Sunan Kalijaga dan Karyanya
Oleh: Abdullah Hamid*
Hampir semua orang di Indonesia, apalagi umat
Islam mengenal nama Sunan Kalijaga yang masa kecilnya bernama Raden Mas Syahid.
Beliau adalah putera Raden Sahur yang beragama Islam atau Tumenggung Wilatikta,
pernah menjadi Adipati Tuban.
Haul Akbar Ke-428 Sunan Kalijaga tahun 2013 diperingati tanggal 10 Muharram 1434 H nanti di kompleks makam dan Masjid Kadilangu, Demak. Biasanya diisi lantunan khataman Qur’an, tahlil dan shalawat Nabi.
Silsilah Raden Sahur atau Ario Wilotikto ke
atas adalah putera Ario Tejo (Islam) atau Syekh Ngabdurahman, menantu Ario
Dikara, putera Ario Lena, putera Ario Sirowenang, putera Raden Sirolawe, putera
Ronggolawe, putera Ario Wiraraja (Adipati Tuban I), putera Adipati Ponorogo.
Itulah asal usul Sunan Kalijaga yang banyak ditulis dan diyakini orang.
Dalam Babad Lasem ditambahkan, masa muda
Sunan Kalijaga dihabiskan lama di Lasem untuk berguru dengan Sunan Bonang di
Desa Bonang. Nama lainnya adalah Santi Kusuma, memiliki saudara Santi Puspa dan
Santiyogo atau Sayid Abubakar atau Sunan Kajoran, sedangkan makam keduanya di
Taman Sitoresmi Caruban dekat makam Nyi Ageng Maloka, wafat tahun 1490 M yang
membuka pesantren putri yang tidak hanya diperuntukkan bagi masyarakat Lasem
tetapi juga santriwati yang berasal dari luar daerah seperti putri Sunan Muria
(Komariah), putri Sunan Kudus (Sundariah) yang makamnya juga di Caruban. Bahkan
santriwatinya ada dari Minangkabau. Seperti diketahui bahwa Sultan Mahmud dari
Minangkabau adalah murid dari Sunan Bonang. Ketika ia pulang ke Minangkabau ia
mengajak wanita-wanita Minangkabau untuk belajar di pesantren Maloko, sehingga
pesantren ini bertambah ramai.
Sumber lain yang orisinil tentang kisah Wali
Songo juga tersedia. Prof MC Ricklefs, sejarawan Inggris yang banyak meneliti
sejarah Jawa, juga menerbitkan karya ilmiah dengan subyek sejarah Mataram,
Kartasura, dan Yogyakarta, menyebutkan bahwa sebelum ada catatan bangsa Belanda
memang tidak tersedia data tentang sejarah Jawa. Sejarah Jawa sebelumnya banyak
bersumber dari cerita rakyat yang versinya banyak sekali. Mungkin cerita rakyat
itu bersumber dari catatan atau cerita orang-orang yang pernah menjabat sebagai
Juru Pamekas Kadipaten, lalu sedikit demi sedikit mengalami kontroversi setelah
melewati para pengagum atau penentangnya, yang masih harus ditelaah
keakuratannya.
Sunan Kalijaga meninggalkan dua buah karya
tulis, yang satu sudah lama beredar sehingga dikenal luas oleh masyarakat,
yaitu Serat Dewa Ruci, sedang yang satu lagi belum dikenal luas, yaitu Suluk
Linglung. Serat Dewa Ruci telah terkenal sebagai salah satu lakon wayang.
Sebagian pengagumnya menganut ajaran Syekh Siti Jenar.
Di dalam Suluk Linglung Sunan Kalijaga telah
menyinggung pentingnya orang untuk melakukan shalat dan puasa, sedang hal itu
tidak ada sama sekali di dalam Serat Dewa Ruci. Tidak ditulis bukan berarti
tidak wajibkan, karena isinya memang lebih banyak cerita hikmah pewayangan.
Menceritakan Bima yang mawas diri dengan tujuan menyucikan diri agar bisa
menyatu dengan khaliqnya dengan langkah-langkah dalam dunia tasawwuf, yaitu
takhalli, tahalli dan tajalli yang tidak bertentangan dengan agama tauhid.
monotheisme.
Kalau Serat Dewa Ruci telah lama beredar,
Suluk Linglung baru mulai dikenal akhir-akhir ini saja. Naskah Suluk Linglung
disimpan dalam bungkusan rapi oleh keturunan Sunan Kalijaga. Seorang pegawai
Departemen Agama Kudus, Drs.H.M. Khafid Kasri, sekarang Pengasuh Pondok
Pesantren Subulus Salam Demak, mendapat petunjuk untuk mencari buku tersebut,
dan ternyata disimpan oleh RA Supartini Mursidi, keturunan Sunan Kalijogo
ke-14. Buku tersebut ditulis tangan di atas kulit kambing yang terdapat
prasasti penulisan tahun 1806 Caka yang berarti 1884 masehi, menggunakan huruf
Arab pegon berbahasa Jawa.
Pada tahun 1992 buku itu diterjemahkan ke
dalam bahasa Indonesia, dengan penerbit Balai Pustaka. Pada waktu Sunan
Kalijaga masih berjatidiri seperti tertulis di dalam Serat Dewa Ruci,
murid-murid kinasih-nya masih berfaham manunggaling kawulo Gusti (seperti
Sultan Hadiwidjojo, Ki Ageng Pemanahan dan sebagainya), sedang setelah kaffah
murid dengan tauhid murni, yaitu seperti Joko Katong ditugaskan untuk
mengislamkan Ponorogo, tempat leluhur Sunan Kalijaga berasal. Joko Katong
sendiri menurunkan tokoh-tokoh Islam daerah tersebut yang pengaruhnya amat luas
sampai sekarang, termasuk Kyai Kasan Besari (guru R Ng Ronggowarsito) atau Ki
Ageng Basyariyah, situsnya di Komplek Pemakaman Kuno Desa Sewulan Madiun.
Menurut penulis, Serat Dewa Ruci ditulis pada
fase awal Sunan Kalijaga memulai dakwahnya, mencontoh metode dakwah Nabi
Muhammad pada periode Makkah. Setelah Sunan Kalijaga melakukan pembinaan iman
dan Islamnya, sama seperti periode Madinah oleh Nabi Muhammad SAW, barulah
mengajak secara kaffah dengan menulis Suluk Linglung. Di dalamnya mengajarkan
puasa dan kewajiban menunaikan shalat sebagaimana shalat yang dicontohkan
Rasulullah.
Sebelumnya sebagian orang Jawa memahami bahwa
yang dilakukan bukan shalat lima waktu melainkan shalat da'im, tidak shalat
lima waktu melainkan shalat da'im dengan membaca Laa illaha ilallah kapan saja
dan dimana saja tanpa harus wudhu dan rukuk-sujud.
Ajaran Sunan Kalijaga dalam kitab Suluk
Linglung memiliki relevansinya dengan perintah shalat dalam Isra’ Mi’raj yang
kita peringati sekarang. Bagi orang Jawa, terutama yang abangan, intrepretasi
Sunan Kalijaga tentang Islam selalu menjadi rujukan atau panutan. Maka pesan
tersebut patut disosialisasikan. Menjadi tuntunan penting ketika menjelaskan
tatacara shalat yang benar.
Sayangnya sepeninggal Sunan Kalijaga, yang
tersebar luas di masyarakat Jawa hanya Serat Dewa Ruci. melalui media wayang
selama ratusan tahun. Baru tahun belakangan ini Suluk Linglung dipublkasikan ke
masyarakat. Untungnya ada ahli warisnya yang masih menyimpan kitabnya. Bisa
jadi keterangan kitab tersebut selama itu langka karena ada unsur kesengajaan
atau semata-mata kurangnya perhatian kita.
Serat Dewa Ruci terkenal, karena disampaikan dengan pendekatan budaya, melalui medium lakon wayang. Terutama sampai tahun 90-an kesenian wayang masih sangat populer ditonton banyak orang, terutama generasi itu masih sering melihatnya di TVRI. Sekarang generasi sesudahnya tampaknya menganggap ketinggalan zaman, mereka lebih senang menonton hiburan modern seperti film, sinetron dan konser musik Meski di sejumlah daerah dan komunitas masih ditemukan kelompok penggemar wayang.
Serat Dewa Ruci terkenal, karena disampaikan dengan pendekatan budaya, melalui medium lakon wayang. Terutama sampai tahun 90-an kesenian wayang masih sangat populer ditonton banyak orang, terutama generasi itu masih sering melihatnya di TVRI. Sekarang generasi sesudahnya tampaknya menganggap ketinggalan zaman, mereka lebih senang menonton hiburan modern seperti film, sinetron dan konser musik Meski di sejumlah daerah dan komunitas masih ditemukan kelompok penggemar wayang.
Kedua buku tersebut benar, tidak ada yang
salah. Saling mengisi kekurangan atau kelebihanya. Tentunya sebagai penentu
nilai atau rujukan utama adalah karya terakhir atau pamungkas. Semacam wasiat,
ditulis di usia puncak kearifannya, setelah mengalami laku dan manis asamnya
garam kehidupan.
Suluk Linglung menerangkan pentingnya
bersyari’ah serta didasari itu menjalankan ibadah secara suntuk yang
mendekatkan diri seorang hamba kepada Tuhannya. Dalam ensiklopedia Wikipedia,
suluk berarti melalui penempaan diri seumur hidup dengan melakukan syariat
lahiriah sekaligus syariat batiniah demi mencapai kesucian hati untuk mengenal
diri dan Tuhan.
Ditegaskan lagi dalam Suluk Sajatining Salat
karya Pangeran Sastrawijaya yang wafat tahun 1818 M, seorang pujangga istana
yang diangkat oleh Pakubuwono III dan masih keturunan Raden Kajoran Ambalik
atau Panembahan Rama, diterangkan untuk menunaikan shalat dengan sempurna harus
melalui beberapa tingkatan, antara lain shalat jumungah, yaitu shalat yang
dikerjakan dengan seluruh anggota badan sesuai aturan-aturan syari’at yang
disebut juga sembah raga.
* Pengasuh Pesantren Budaya Asmaulhusna (SAMBUA) Lasem
Tidak ada komentar:
Posting Komentar