Politik Lemah Syahwat
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Kebanyakan orang yang pergi berobat ke dukun
penyembuhan lemah syahwat, sekeluarnya dari sana biasanya punya kecenderungan
psikologis untuk memberi kesan kepada orang lain bahwa ia telah sukses
menegakkan kembali syahwatnya — meskipun pada kenyataannya tak ada yang berubah
pada syahwatnya.
Pertimbangannya
minimal ada dua. Pertama, ia merasa akan turun martabatnya kalau di pandangan
orang lain ia masih lemah syahwat. Watak kelekakiannya mendorong terciptanya
citra bahwa ia gagah perkasa. Kedua, kalau ternyata pengobatan yang ia alami
tidak mengubah apa-apa, maka ia tidak mau sendirian tertipu. Ia mau setiap
orang menjadi korban yang sama seperti dia.
Manusia hidup dalam
“citra”, tidak harus dalam kenyataan. Orang memilih bertempat tinggal dalam
“kesan”, bukan realitas. Yang penting orang lain terkesan bahwa ia hebat, tidak
penting apakah ia hebat betul atau tidak. Yang penting Anda menampilkan indikator-indikator
kasat mata yang membuat orang lain menyangka Anda orang baik, dermawan, jujur,
atau citra baik apa saja.
Toh kebanyakan
masyarakat juga memiliki kemalasan yang sangat serius untuk menelusuri atau
menyelami realitas, mereka umumnya pasrah pada kesan tentang seseorang. Yang
penting Pak Itu menyumbang sangat banyak untuk pembangunan Masjid: bahwa
uangnya dari diperoleh dari korupsi atau hasil “mbekingi” perjudian, semua
jamaah sepakat diam-diam untuk pura-pura tidak tahu.
Yang penting Megawati
itu putrinya Bung Karno dan sejak awal hidupnya sudah nyantol dengan sejarah
kebangsaan. Tidak penting apakah Megawati mengerti persoalan negara dan rakyat
atau tidak, apakah memiliki kapabilitas managemen untuk menjadi kepala Negara
atau tidak. Tidak penting apakah kalau menjawab wawancara wartawan selalu
menggelikan dan selalu juga berikutnya Laksamana Sukardi menambahinya dengan
substansi yang sering berbalikan dengan apa yang terlanjur dikemukakan oleh
Megawati.
Kalau Bu Mega
terlanjur bilang “A”, padahal yang benar adalah “B”, maka pendamping beliau
kemudian mengatakan: “Maksud Bu Mega itu ‘B’ sebenarnya”, dan kita kaum
wartawan harus menulis “B”, sebagai penjelasan dari “A”. Padahal jelas “A” dan
“B” bertentangan satu sama lain. Kalau saya bilang “Setan”, pendamping saya
bilang “Maksudnya Cak Nun itu Malaikat” – maka seluruh Indonesia dan dunia akan
diberi informasi tentang malaikat, padahal sesungguhnya yang nyata adalah
setan.
Kenyataan “setan”
bisa ditutupi dengan citra atau kesan “malaikat”. Atau sebaliknya. Itulah
atmosfir wacana yang sampai ke masyarakat selama ini, sehingga sesungguhnya
rakyat Indonesia tidak pernah mengerti apa-apa. Saya menampung anak yatim sejak
kecil dan saya posisikan sebagai anak saya sendiri sampai selesai saya sekolahkan.
Sesudah tamat, ia dibisiki seseorang yang mengatakan bahwa sebenarnya Cak Nun
itu orang yang culas dan kejam – si yatim itu langsung percaya dan mengambil
keputusan untuk meninggalkan dan memusuhi saya.
Seorang teman saya
membantu seorang Kiai buta mencari biaya untuk membangun gedung demi gedung
pesantren, selalu memberikan pembiayaan untuk operasional pesantren, serta
membantu si Kiai dalam berbagai bentuk. Nanti ketika santri dan ummat berkumpul
bersama Kiai dalam suatu acara khol, mereka ditanya siapa idola mereka, siapa
pemimpin yang mereka anut?
Mereka menjawab: “Gus
Dur!”
“Berapa kali Gus Dur
nyambangi pesantren Panjenengan?”
Mereka menjawab:
“Belum pernah”.
“Apakah Gus Dur
pernah memberi bantuan kepada pesantren Penjenengan?”
“Belum pernah”.
“Apakah ada di antara
Panjenengan yang kenal Gus Dur?”
“Tidak ada”.
“Apakah Gus Dur kenal
Panjenengan?”
“Tidak”.
Tetapi Gus Dur adalah
idola mereka, panutan mereka, pemimpin mereka, pilihan presiden mereka.
Orang hidup dalam
“citra”, tidak dalam kenyataan. Kenyataan senyata apapun kalah oleh citra. Saya
tidak pernah masuk Parpol, tidak pernah menjadi anggota DPR, tidak pernah
menjadi pejabat serendah apapun, tidak pernah punya perusahaan, tidak pernah
berususan dengan proyek-proyek dan konglomerat, dan sampai hari ini saya
menunggu orang membuktikan dan mengumumkan besar-besaran bahwa saya pernah
dikasih uang oleh Suharto atau siapapun kroninya — dan tak kunjung datang
pengumuman itu — tetapi sebagian orang tetap mencitrakan saya sebagai “orangnya
Suharto”. Sementara mereka mengangkat Akbar Tanjung yang dulu Menterinya
Suharto menjadi calon presiden reformasi. Juga menjunjung Nurkhalis Madjid yang
dulu anggota MPR di jaman Suharto.
Manusia hidup dalam
citra.
Citra itulah yang dipertahankan
mati-matian oleh Amrozi. Amrozi marah besar dan serius kalau dikatakan bukan
dia yang melakukan pengeboman di Bali 12 Oktober itu. TNI bikin demo bom di
Bogor untuk membuktikan bahwa TNI tidak punya kemampuan untuk melakukan
pemboman jenis “Dimona Micro Nuclear” yang aksesnya hanya dimiliki oleh 5
negara besar di luar Indonesia, yang menghasilkan lubang besar di tanag dan
jamur raksasa di angkasa, yang dalam radius 20 meter sekelilingnya tak ada
benda yang tersisa kecuali jadi abu. Jadi kemampan Amrozi jauh di atas TNI.
Kalau Anda
membuktikan bahwa bom yang dipasang oleh Amrozi di Bali — namun tidak meledak
karena dirancang untuk didahului beberapa menit oleh meledaknya “Dimona Micro
Nuclear” — hanyalah bom ringan dan sekedar di atas molotov atau “Sinso” (Bensin
Rinso) dan di bawah TNT atau C4: Amrozi akan menjawab: “Hasil ledakan itu jauh
melebihi kapasitas bom aslinya berkat kekuasaan Allah, sebagaimana lemparan
pasir Mujahidin di Afganistan bisa menghancurkan tank-tank”.
Amrozi tidak terima
kalau dia dituduh bukan dia pelaku bom Bali. Dia ingin hidup dalam citra, bukan
dalam kenyataan tentang dirinya. Maka jangan heran dia bergembira ria dihukum
mati, karena vonnis itu mengukuhkan citranya. Maka ia juga selalu bertanya
kepada setiap Polisi yang mengawalnya: “Pak, kapan sih saya ditembak?” Amrozi
sangat merindukan mati, dalam konsep yang dia pahami sebagai syahid.
Amrozi tidak mau
dituduh “lemah syahwat”. Dia butuh citra kejantanan tentang dirinya. Itulah
sebabnya seorang pakar psikiatri dari Unair meminta Amrozi diperiksa secara
psikiatris, dan bukan diperiksa oleh psikolog seperti yang dilakukan oleh
Polri. Sebab kalau pemeriksaan klinis-psikiatris dilakukan pada Amrozi, secara
yuridis ia akan bebas — itu itu merugikan Polri maupun Amrozi sendiri.
6 Oktober 2003
Tidak ada komentar:
Posting Komentar