Gelar untuk Menaklukan Kiai Hasyim Asy’ari
Belanda sangat risau dengan bangkitnya
kelompok agama yang terus-menerus mengusik ketenangan penjajah. Langkah
preventif segera diambil dengan mengutus berbagai intelektual ke pesantren,
persis ketika Belanda mengirim Gericke untuk menyelidiki kehidupan pesantren
Tegalsari yang diduga sebagai sumber spiritual perang Diponegoro. Sehingga
mampu menggerakkan seluruh kekuatan bangsa. Kali ini Belanda mengirim van der
Plaas yang tujuannya untuk modernisasi pesantren, tetapi KH Hasyim Asy’ari
waspada terhadap muslihat untuk merongrong pendidikan pesantren dan
menggantinya dengan pendidikan sekolah model Belanda itu.
Kiai Hasyim dengan gigih melawan agenda
kolonial itu justru semakin memperkuat jaringan pendidikan pesantren. Melihat
keteguhan pendirian ulama kharismatik itu, maka sekitar tahun 1935, Belanda
mengambil siasat lain, bukan melawan, tetapi menjinakkan dengan tipu muslihat
melalui pemberian gelar Bintang Perak, atas jasanya dalam mengembangkan
pendidikan Islam. Tetapi gelar itu ditolak oleh Kiai Hasyim, sebab ia tahu
bahwa pemberian gelar itu hanya tipu muslihat untuk menjinakkannya.
Melihat rencananya gagal, maka Belanda tidak
kehilangan akal, dengan meningkatkan pemberian gelar yang lebih tinggi lagi
yaitu memberikan Bintang Emas. Penghargaan tinggi itu pun ditampiknya pula,
maka Belanda semakin kehilangan akal untuk menaklukkan pemimpin para ulama itu.
Bahkan setelah itu Kai Hasyim juga semakin keras menetang segala kebijakan
Belanda antara lain soal waris yang oleh Belanda hendak diintegrasikan ke dalam
Nationaale Raad (hukum positif). Oleh Kiai Hasyim hal itu dianggap sebagai cara
untuk mengintervensi kedaulatan hukum Islam, karena itu ditolak.
Ulama dahulu percaya bahwa pesantren dengan
spirit pendidikan Islam mampu menangani pendidikannya sendiri tanpa dibantu
oleh penjajah. Mereka sadar betul sebaik apapun bantuan kolonial itu bertujuan
menjajah. Sayang, sikap kiai Hasyim yang nota bene dihormati sebagai pendiri NU
itu tidak ada yang mau meneladani, baik para santrinya termasuk anak cucunya.
Bagaimana mereka sangat gigih menjalankan agenda kolonial di pesantren. Dan
bagaimana mereka dengan terbuka dan senang hati menerima berbagai penghargaan
kolonial. Padahal kiai yang beramal berdasarkan keikhlasan tidak memerlukan
berbagai gemerlapnya gelar, baik yang bersakala nasional maupun internasional.
Tetapi karena keilmuan dan integritas ulama semakin menurun mereka membutuhkan
berbagai gelar sebagai legitimasi keulamaan mereka. Padahal tidak sedikit gelar
yang menjebak, seperti yang pernah dilakukan kolonial pada Kiai Hasyim. Sikap
itu yang perlu diteladani. (Mun’im Dz)
Disadur dari buku Kebangkitan Ulama dan
sumber lainnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar