Buah yang Tidak Hanya Berputar di Wacana
Senin, 17 Juni 2013
Minggu pagi kemarin seluruh direksi dan
komisaris PT Perkebunan Nusantara VIII berkumpul di Kebun Jalupang, Subang,
Jawa Barat. Bersama mereka saya ingin menyaksikan sendiri bagaimana realisasi
program kebun buah tropik yang dicanangkan tahun lalu.
Ternyata saya diminta
memanen pisang baranang. “Lho, sudah panen?” tanya saya. Ternyata memang sudah
panen. Tahun ini nanti sudah menghasilkan 700 ton. Begitu cepatnya. Saya
sungguh senang karena ide bikin kebun buah tropik tidak hanya berhenti di
wacana. Benar-benar sudah dilaksanakan. PTPN VIII sudah menanam 1.200 ha. Dan
masih terus bertambah luasnya. Maka, di Subang itu kita melihat pohon pisang
berjajar di sela-sela pohon karet yang masih kecil.
Jarak antartanaman
karet itu enam meter. Sejak dulu tanah sela selebar enam meter itu dibiarkan
mubazir ditumbuhi rumput. Tanah kosong itulah yang kini ditanami pisang.
Setelah panen lima kali kebun pisangnya berakhir. Pada saat itu pohon karetnya
sudah tinggi. Kebetulan, pisang yang sudah panen lima kali sudah tidak baik
diteruskan. Kualitas anak pisang yang ke-6 sudah tidak baik.
Tiap tahun PTPN VIII
menanam pohon karet ribuan hektare. Berarti selalu ada lahan ribuan hektare
yang bisa ditanami pisang setiap tahun. Jenis pisang yang ditanam ini adalah
cavendis dan baranang, hasil penemuan Prof Dr Ir Sobir dari Institut Pertanian
Bogor (IPB).
Dr Sobir juga
bergabung dengan kami di Subang kemarin. Dialah yang memprovokasi saya untuk
menanam pisang baranang besar-besaran. “Kalau Indonesia impor buah apel atau
anggur saya masih bisa maklum,” ujar Dr Sobir. “Tapi, kalau sudah impor pisang,
benar-benar keterlaluan,” katanya.
“Sebentar lagi impor
pisang harus diharamkan,” tambah Dr Sobir.
Tidak hanya pisang.
PTPN VIII juga menanam pepaya calina besar-besaran. Dan ternyata juga sudah
panen. PTPN VIII memang memiliki 114 ribu hektare lahan di seluruh Jabar.
Pepaya calina itu juga penemuan Dr Sobir dan tim IPB. Di samping panen pisang,
Minggu pagi itu saya diminta menanam pepaya calina di sela-sela tanaman karet
yang baru berumur satu bulan.
Pokoknya, tidak ada
hari yang tidak menanam pisang, pepaya, manggis, durian, dan alpukat. “Kita
juga malu, durian saja impor,” kata Dr Sobir.
Berbeda dengan
program sapi-sawit, kebijakan baru BUMN ini sama sekali tidak menjadi beban
bagi PTPN VIII. “Ini momentum yang sangat menguntungkan kami,” ujar Ir Dadi
Sunardi, direktur utama PTPN VIII. “Dulu kebun karet baru menghasilkan setelah
enam tahun. Sekarang sudah ada uang masuk pada bulan ke-8,” tambahnya. “Dulu
sela-sela pohon karet itu memakan biaya untuk pengaturan rumputnya. Kini
sela-sela karet itu menghasilkan,” katanya lagi.
Meski saya hanya
mengharuskan menanam buah tropik di Jabar, Dirut PTPN XII Jawa Timur Ir Irwan
Basri punya inisiatif sendiri. Irwan ingin menjemput bola. Irwan juga sudah
menanam buah tropik di Banyuwangi. Pisangnya yang sudah 700 ha juga sudah
panen. Bahkan, PTPN XII juga menanam buah macadamia yang enak itu.
Saya memang sempat
terkesan dengan macadamia di Thailand. Kini saya bisa tidak hanya memuji
Thailand. Kita juga mulai menghasilkan macadamia sendiri seluas 170 ha.
Tentu saya memuji
langkah proaktif PTPN XII di Banyuwangi itu. Sebenarnya PTPN XII hanya diwajibkan
mengembangkan dua hal: menanam sorgum besar-besaran dan membangun pabrik gula
baru yang serbamodern dan seratus persen made in Indonesia. Ternyata PTPN XII
sudah menanam sorgum seluas 1.500 hektare dan siap panen. Info ini sekaligus
untuk menjawab pertanyaan penulis artikel di sebuah harian di Jakarta yang
mengira soal sorgum baru muter-muter sebagai wacana.
Yang juga siap panen
adalah sorgum di Atambua, NTT. Luasnya 200 hektare. Ini merupakan uji coba
untuk tanaman sorgum milik rakyat dengan tujuan multiguna. Tepung atau biji
sorgumnya untuk makanan pokok rakyat. Batangnya untuk menghasilkan etanol.
Ampasnya untuk makanan ternak. Etanol akan dipakai sebagai pengganti minyak
tanah untuk masak. Penduduk di pedalaman NTT selalu kesulitan minyak tanah sehingga
pilihan lain adalah sama buruknya: menebang pohon.
PT Batan Teknologi
(yang akan berganti nama menjadi PT Industri Nuklir Indonesia) adalah
penanggung jawab proyek sorgum di NTT ini. Benih unggulnya memang dilahirkan
melalui proses nuklir. Untuk memproses hasil panen sorgum itu Batantekno segera
mendidik puluhan anak SMK Atambua untuk membuat mesin sederhana pembuat etanol.
Mereka akan dididik di Jakarta mulai akhir bulan ini. Begitu masa pendidikan
itu selesai, sorgumnya siap dipanen.
“Anak-anak SMK itu
mampu membuat dan mengoperasikan mesin pembuat etanol,” ujar Dr Yudiutomo
Imardjoko, Dirut PT Batantekno. “Anak-anak SMK itu juga akan membuat kompor
etanol dan membuat mesin pengolah biji sorgum,” ujar Dr Yudiutomo, ahli nuklir
lulusan UGM dan Amerika itu.
Kalau proyek sorgum
200 hektare ini berhasil, segera dimulai proyek-proyek “sorgum 200 ha” lainnya
di seluruh Atambua dan kabupaten sekitarnya. Paket 200 hektaran sudah
disesuaikan dengan skala ekonomi yang tepat untuk kepentingan kehidupan satu
desa di sana. Pertamina dan Askes sudah siap mengucurkan dana CSR untuk
membantu daerah yang sangat miskin itu.
Tentu saya juga ke
Wonogiri. Belajar dari Bupati Wonogiri Danar Rahmanto untuk programnya yang
unik: singkong. Hampir seluruh penduduk Wonogiri menanam singkong di tegalan
atau pekarangan rumah mereka. Tapi, singkongnya ya itu-itu saja. Sejak zaman
baheula sampai zaman Jokowi ini. Dua minggu lalu saya ke Wonogiri untuk melihat
yang lain: singkong gajah. Inilah singkong yang akan dimasalkan di seluruh
Wonogiri.
Saya diizinkan
mencabut batang singkong di pekarangan rumah penduduk. Beratnya hanya 1,5 kg.
Pohonnya kecil dan tangkai daunnya hanya tujuh buah. Tiap daun juga hanya
berjari lima.
Tahun ini bupati akan membagikan lima juta bibit singkong gajah. Kebun percontohan seluas lima hektare sudah membuktikan hasilnya.
Tahun ini bupati akan membagikan lima juta bibit singkong gajah. Kebun percontohan seluas lima hektare sudah membuktikan hasilnya.
Saya masuk ke kebun
singkong gajah itu: tingginya melebihi tubuh saya. Satu batang singkong
memiliki 20 tangkat. Tiap tangkai daunnya berjari sembilan. Mestinya ini juga
bisa disebut singkong NU yang berbintang sembilan.
Saya tidak kuat
mencabutnya. Beberapa petani membantu menyingkapkan tanah. Setelah dicabut tiga
orang, terlihatlah singkongnya memang besar-besar dan panjang-panjang. Beratnya
12 kg! Kandungan tapiokanya pun mencapai 30 persen. Ini sangat berbeda dengan
singkong tradisional Wonogiri yang rendemennya hanya 16 persen.
Pembudidayaan bibit
baru ini sama artinya dengan meningkatkan pendapatan warga Wonogiri empat kali
lipat. Wonogiri memang akan tetap dikenal sebagai Kabupaten Singkong, namun
bukan lagi singkong yang kurus dengan hasil yang hanya 1,5 kg per batang.
Saya mengajak para
Dirut pabrik pupuk BUMN, termasuk Dirut Holding Company PT Pupuk Indonesia
Arifin Tasrif. Saya minta program itu didukung dengan penyediaan pupuk yang
cocok untuk singkong. Tahun lalu saya juga minta pabrik pupuk BUMN membantu
kesulitan petani tembakau di Jember. Mereka harus membeli pupuk dari Eropa yang
mahal. Kini BUMN sudah memproduksi pupuk untuk tembakau.
Tentu menemukan pupuk
untuk singkong lebih mendesak. Setidaknya bisa ikut meringankan program bupati
Wonogiri yang kini lagi pusing dengan urusan politik. Bupati lagi diinterpelasi
DPRD-nya. Penyebabnya: jumlah penduduk Wonogiri turun 200.000 jiwa, menjadi
tinggal kira-kira 800.000 jiwa. Lantaran jumlah penduduknya tidak lagi mencapai
satu juta jiwa, harus ada pengurangan jumlah anggota DPRD.
Menurut UU, kabupaten
yang penduduknya lebih dari satu juta anggota DPRD-nya 50 orang. Kurang satu
juta hanya 45 orang. Nah, Bupati Wonogiri dianggap sebagai penyebab
berkurangnya jumlah anggota DPRD di sana. Berkurangnya jumlah anggota DPRD
rupanya tidak memuaskan, meski jumlah produksi singkongnya akan bertambah. (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar