Selasa, 18 Juni 2013

Dahlan: Buah yang Tidak Hanya Berputar di Wacana


Buah yang Tidak Hanya Berputar di Wacana

Senin, 17 Juni 2013

 

Minggu pagi kemarin seluruh direksi dan komisaris PT Perkebunan Nusantara VIII berkumpul di Kebun Jalupang, Subang, Jawa Barat. Bersama mereka saya ingin menyaksikan sendiri bagaimana realisasi program kebun buah tropik yang dicanangkan tahun lalu.

 

Ternyata saya diminta memanen pisang baranang. “Lho, sudah panen?” tanya saya. Ternyata memang sudah panen. Tahun ini nanti sudah menghasilkan 700 ton. Begitu cepatnya. Saya sungguh senang karena ide bikin kebun buah tropik tidak hanya berhenti di wacana. Benar-benar sudah dilaksanakan. PTPN VIII sudah menanam 1.200 ha. Dan masih terus bertambah luasnya. Maka, di Subang itu kita melihat pohon pisang berjajar di sela-sela pohon karet yang masih kecil.

 

Jarak antartanaman karet itu enam meter. Sejak dulu tanah sela selebar enam meter itu dibiarkan mubazir ditumbuhi rumput. Tanah kosong itulah yang kini ditanami pisang. Setelah panen lima kali kebun pisangnya berakhir. Pada saat itu pohon karetnya sudah tinggi. Kebetulan, pisang yang sudah panen lima kali sudah tidak baik diteruskan. Kualitas anak pisang yang ke-6 sudah tidak baik.

 

Tiap tahun PTPN VIII menanam pohon karet ribuan hektare. Berarti selalu ada lahan ribuan hektare yang bisa ditanami pisang setiap tahun. Jenis pisang yang ditanam ini adalah cavendis dan baranang, hasil penemuan Prof Dr Ir Sobir dari Institut Pertanian Bogor (IPB).

 

Dr Sobir juga bergabung dengan kami di Subang kemarin. Dialah yang memprovokasi saya untuk menanam pisang baranang besar-besaran. “Kalau Indonesia impor buah apel atau anggur saya masih bisa maklum,” ujar Dr Sobir. “Tapi, kalau sudah impor pisang, benar-benar keterlaluan,” katanya.

 

“Sebentar lagi impor pisang harus diharamkan,” tambah Dr Sobir.

 

Tidak hanya pisang. PTPN VIII juga menanam pepaya calina besar-besaran. Dan ternyata juga sudah panen. PTPN VIII memang memiliki 114 ribu hektare lahan di seluruh Jabar. Pepaya calina itu juga penemuan Dr Sobir dan tim IPB. Di samping panen pisang, Minggu pagi itu saya diminta menanam pepaya calina di sela-sela tanaman karet yang baru berumur satu bulan.

 

Pokoknya, tidak ada hari yang tidak menanam pisang, pepaya, manggis, durian, dan alpukat. “Kita juga malu, durian saja impor,” kata Dr Sobir.

 

Berbeda dengan program sapi-sawit, kebijakan baru BUMN ini sama sekali tidak menjadi beban bagi PTPN VIII. “Ini momentum yang sangat menguntungkan kami,” ujar Ir Dadi Sunardi, direktur utama PTPN VIII. “Dulu kebun karet baru menghasilkan setelah enam tahun. Sekarang sudah ada uang masuk pada bulan ke-8,” tambahnya. “Dulu sela-sela pohon karet itu memakan biaya untuk pengaturan rumputnya. Kini sela-sela karet itu menghasilkan,” katanya lagi.

 

Meski saya hanya mengharuskan menanam buah tropik di Jabar, Dirut PTPN XII Jawa Timur Ir Irwan Basri punya inisiatif sendiri. Irwan ingin menjemput bola. Irwan juga sudah menanam buah tropik di Banyuwangi. Pisangnya yang sudah 700 ha juga sudah panen. Bahkan, PTPN XII juga menanam buah macadamia yang enak itu.

 

Saya memang sempat terkesan dengan macadamia di Thailand. Kini saya bisa tidak hanya memuji Thailand. Kita juga mulai menghasilkan macadamia sendiri seluas 170 ha.

 

Tentu saya memuji langkah proaktif PTPN XII di Banyuwangi itu. Sebenarnya PTPN XII hanya diwajibkan mengembangkan dua hal: menanam sorgum besar-besaran dan membangun pabrik gula baru yang serbamodern dan seratus persen made in Indonesia. Ternyata PTPN XII sudah menanam sorgum seluas 1.500 hektare dan siap panen. Info ini sekaligus untuk menjawab pertanyaan penulis artikel di sebuah harian di Jakarta yang mengira soal sorgum baru muter-muter sebagai wacana.

 

Yang juga siap panen adalah sorgum di Atambua, NTT. Luasnya 200 hektare. Ini merupakan uji coba untuk tanaman sorgum milik rakyat dengan tujuan multiguna. Tepung atau biji sorgumnya untuk makanan pokok rakyat. Batangnya untuk menghasilkan etanol. Ampasnya untuk makanan ternak. Etanol akan dipakai sebagai pengganti minyak tanah untuk masak. Penduduk di pedalaman NTT selalu kesulitan minyak tanah sehingga pilihan lain adalah sama buruknya: menebang pohon.

 

PT Batan Teknologi (yang akan berganti nama menjadi PT Industri Nuklir Indonesia) adalah penanggung jawab proyek sorgum di NTT ini. Benih unggulnya memang dilahirkan melalui proses nuklir. Untuk memproses hasil panen sorgum itu Batantekno segera mendidik puluhan anak SMK Atambua untuk membuat mesin sederhana pembuat etanol. Mereka akan dididik di Jakarta mulai akhir bulan ini. Begitu masa pendidikan itu selesai, sorgumnya siap dipanen.

 

“Anak-anak SMK itu mampu membuat dan mengoperasikan mesin pembuat etanol,” ujar Dr Yudiutomo Imardjoko, Dirut PT Batantekno. “Anak-anak SMK itu juga akan membuat kompor etanol dan membuat mesin pengolah biji sorgum,” ujar Dr Yudiutomo, ahli nuklir lulusan UGM dan Amerika itu.

 

Kalau proyek sorgum 200 hektare ini berhasil, segera dimulai proyek-proyek “sorgum 200 ha” lainnya di seluruh Atambua dan kabupaten sekitarnya. Paket 200 hektaran sudah disesuaikan dengan skala ekonomi yang tepat untuk kepentingan kehidupan satu desa di sana. Pertamina dan Askes sudah siap mengucurkan dana CSR untuk membantu daerah yang sangat miskin itu.

 

Tentu saya juga ke Wonogiri. Belajar dari Bupati Wonogiri Danar Rahmanto untuk programnya yang unik: singkong. Hampir seluruh penduduk Wonogiri menanam singkong di tegalan atau pekarangan rumah mereka. Tapi, singkongnya ya itu-itu saja. Sejak zaman baheula sampai zaman Jokowi ini. Dua minggu lalu saya ke Wonogiri untuk melihat yang lain: singkong gajah. Inilah singkong yang akan dimasalkan di seluruh Wonogiri.

 

Saya diizinkan mencabut batang singkong di pekarangan rumah penduduk. Beratnya hanya 1,5 kg. Pohonnya kecil dan tangkai daunnya hanya tujuh buah. Tiap daun juga hanya berjari lima.
Tahun ini bupati akan membagikan lima juta bibit singkong gajah. Kebun percontohan seluas lima hektare sudah membuktikan hasilnya.

 

Saya masuk ke kebun singkong gajah itu: tingginya melebihi tubuh saya. Satu batang singkong memiliki 20 tangkat. Tiap tangkai daunnya berjari sembilan. Mestinya ini juga bisa disebut singkong NU yang berbintang sembilan.

 

Saya tidak kuat mencabutnya. Beberapa petani membantu menyingkapkan tanah. Setelah dicabut tiga orang, terlihatlah singkongnya memang besar-besar dan panjang-panjang. Beratnya 12 kg! Kandungan tapiokanya pun mencapai 30 persen. Ini sangat berbeda dengan singkong tradisional Wonogiri yang rendemennya hanya 16 persen.

 

Pembudidayaan bibit baru ini sama artinya dengan meningkatkan pendapatan warga Wonogiri empat kali lipat. Wonogiri memang akan tetap dikenal sebagai Kabupaten Singkong, namun bukan lagi singkong yang kurus dengan hasil yang hanya 1,5 kg per batang.

 

Saya mengajak para Dirut pabrik pupuk BUMN, termasuk Dirut Holding Company PT Pupuk Indonesia Arifin Tasrif. Saya minta program itu didukung dengan penyediaan pupuk yang cocok untuk singkong. Tahun lalu saya juga minta pabrik pupuk BUMN membantu kesulitan petani tembakau di Jember. Mereka harus membeli pupuk dari Eropa yang mahal. Kini BUMN sudah memproduksi pupuk untuk tembakau.

 

Tentu menemukan pupuk untuk singkong lebih mendesak. Setidaknya bisa ikut meringankan program bupati Wonogiri yang kini lagi pusing dengan urusan politik. Bupati lagi diinterpelasi DPRD-nya. Penyebabnya: jumlah penduduk Wonogiri turun 200.000 jiwa, menjadi tinggal kira-kira 800.000 jiwa. Lantaran jumlah penduduknya tidak lagi mencapai satu juta jiwa, harus ada pengurangan jumlah anggota DPRD.

 

Menurut UU, kabupaten yang penduduknya lebih dari satu juta anggota DPRD-nya 50 orang. Kurang satu juta hanya 45 orang. Nah, Bupati Wonogiri dianggap sebagai penyebab berkurangnya jumlah anggota DPRD di sana. Berkurangnya jumlah anggota DPRD rupanya tidak memuaskan, meski jumlah produksi singkongnya akan bertambah. (*)

 

Dahlan Iskan, Menteri BUMN

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar