Wahabi: Merangkul Musuh,
Menendang Saudara
Oleh : Ahmad Dairobi
Saat Amerika Serikat menginvasi Irak beberapa
tahun yang lalu, sempat terjadi polemik yang cukup ramai di antara sesama
ulama-ulama Wahabi sendiri. Pemicunya adalah Syekh Abdul Muhsin bin Nashir
al-Ubaikan, ulama yang diangkat sebagai penasehat kerajaan oleh Pemerintah Arab
Saudi.
Dengan memoles sekian banyak dalil nash dan argumentasi sejarah, al-Ubaikan menyatakan bahwa kaum Muslimin di Irak wajib mematuhi pemerintah yang dibentuk oleh Amerika. Al-Ubaikan menganggap pemerintah “Amerika” di Irak sebagai imamah bit-taghallub atau dharuri bis-syaukah (pemerintha darurat yang harus dipatuhi karena sudah berkuasa). Al-Ubaikan menyamakannya dengan Pemerintahan Nabi Yusuf yang berkuasa di Mesir atas pengangkatan dari Firaun.
Dengan mengutip berbagai dalil dari al-Qur’an, Hadis, dan qaul para ulama, al-Ubaikan juga melarang upaya-upaya jihad yang dilakukan oleh rakyat Irak melawan Amerika. Dia menganggap umat Islam di Irak berada dalam posisi lemah, sebagaimana Rasulullah SAW dan para Sahabat ketika masih berada di Makkah. Saat itu, Allah SWT melarang mereka melakukan perlawanan terhadap musyrikin Quraisy. Dalam situasi yang serba dilematis, kaidahnya, kita diperintahkan untuk memilih sikap yang resiko atau mafsadah-nya lebih ringan.
Sontak, fatwa al-Ubaikan ini mendapatkan respon keras dari ulama-ulama Wahabi yang lain. Mereka mengecam al-Ubaikan dan menganggapnya telah menodai dalil-dalil agama untuk kepentingan politik kerajaan. Bahkan Syekh Ahmad Alu Abdil Aziz sempat menyatakan bahwa fatwa al-Ubaikan ini tidak jauh beda dengan pernyataan tokoh-tokoh Ahmadiyah-Qadianiyah di masa kolonialisme. Mereka mengeluarkan fatwa melarang kaum Muslimin India-Pakistan melawan Inggris yang mejajah mereka.
“Bagi orang yang memiliki pikiran jernih, tampak sekali bahwa tekanan Amerika terhadap pemerintah yang menyebabkan munculnya fatwa-fatwa yang menggelikan, fatwa yang mirip dengan ucapan orang-orang munafik yang tak beragama, atau ucapan aliran-aliran sesat yang murtad… Secara tidak langsung, Amerika telah menggiring fatwa-fatwa tersebut agar sesuai dengan kepentingan politis mereka… Seandainya yang menginvasi Irak saat ini adalah Rusia atau negara-negara yang tidak sealiran dengan Amerika, maka ulama-ulama yang menghina jihad rakyat Irak saat ini, pastinya, akan mengeluarkan fatwa yang mewajibkan mereka melakukan jihad dengan sekuat tenaga…” demikian pernyataan keras Alu Abdil Aziz dalam karyanya, al-Qaul al-Barraq.
Tidak hanya Alu Abdil Aziz, ulama-ulama Wahabi yang lain juga banyak angkat bicara seputar masalah ini, khususnya dari kalangan Wahabi anti Barat semisal Ali Nasyif Syahud, juga Hamid bin Abdallah al-Aliy (Kuwait).
Secara historis, ulama-ulama Wahabi sebenarnya memiliki ‘kontrak politik’ yang cukup kuat dengan penguasa mengenai pandangan keagamaan pemerintah. Hal itu konon sudah menjadi kesepakatan antara Muhammad bin Abdul Wahhab, pendiri Wahabi dan Ibnu Saud, pendiri Kerajaan Arab Saudi, ketika kedua tokoh tersebut saling bahu membahu melakukan pemberontakan terhadap kekuasaan Turki Utsmani di Hijaz dan mendirikan kerajaan sendiri.
Namun demikian, gerkan bahu mambahu yang serius antara kekuatan politik kerajaan Saudi dan pandangan keagamaan kalangan Wahabi, rupanya hanya terjadi dalam persoalan-persoalan keagamaan yang menjadi ciri khas aliran Wahabi vis a vis umat Islam yang lain (mayoritas). Misalnya, mengenai persoalan bidah, syirik, dan semacamnya. Sementara itu, pandangan fundamentalis Wahabisme vis a vis umat-umat non Muslim (baca: kepentingan politik Amerika Serikat dan sekutunya) tidak terlalu diamini oleh penguasa.
Ada kerancuan yang sangat kentara antara pandangan orang-orang Wahabi dengan sikap politik internasional yang diambil oleh negara yang mereka kuasai, seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, Qatar dan semacamnya. Di satu sisi, pandangan agama Wahabi terkesan sangat tekstualis-fundamentalis. Tapi, di sisi lain negara-negara mereka dikenal sebagai boneka Amerika Serikat.
Di balik melempem-nya negara-negara Wahabi tersebut, ada beberapa pengamat yang menengarai—atau mungkin menuduh—adanya kedekatan historis antara gerakan Wahabi dan kepentingan Barat. Fakta sejarahnya, Kerajaan Arab Saudi memang berdiri karena melawan Kekhilafaan Turki Utsmani. Dan, sudah menjadi kesepakatan para sejarawan, bahwa Barat sangat bernafsu menghabisi Turki Utsmani untuk meneruskan langkah kolonialisme mereka terhadap wilayah-wilayah Islam.
Ada beberapa isu yang mengaitkan Muhammad bin Abdil Wahhab dengan Jefrey Hempher, tokoh orientalis Inggris yang menyamar menjadi seorang Muslim. Syekh al-Majmu’i, ulama Bashrah yang dalam sejarah perkembangan Wahabi disebut sebagai pendukung utama dakwah Muhammad bin Abdil Wahhab, ditengarai sebagai figur penyamaran dari Hempher. Dialah yang banyak mempengaruhi Ibnu Abdil Wahhab untuk mengusik kesatuan akidah penganut Sunni dengan memasarkan pendangan-pandangan Ibnu Taimiyah yang melawan arus.
Dalam sejarah Indonesia, modus yang mirip dilakukan oleh orientalis Belanda, Snouck Hurgronje. Selama beberapa tahun dia menyamar sebagai peneliti Muslim di Makkah dengan nama Abdul Malik.
Apakah isu penyamaran Hempher tersebut benar? Wallahu a’lam, sulit dipastikan. Tapi, memang cukup masuk akal apabila Barat dianggap memiliki kepentingan dengan gerakan Wahabi, khususnya sebagai senjata untuk mempropagandakan kekuatan Turki Utsmani. Fakta sejarahnya, Wahabi memang melakukan pemberontakan terhadap kesultanan yang berhasil meruntuhkan Romawi ini. Dan, hingga sekarang pemerintah Arab Saudi memang memiliki hubungan yang mesra dengan Barat, bahkan nyaris menjadi sekutu. Tidak hanya di bidang ekonomi, tapi juga militer. Saat perang Irak meletus, beberapa negara Wahabi seperti Arab Saudi, Uni Emirat Arab, dan Qatar justru menyediakan pangkalan militer untuk pasukan Amerika Serikat dan sekutunya. Suatu yang tentu saja sangat aneh jika dihubungkan dengan pandangan keagamaan Wahabi yang cenderung ekstrim.
Dalam konteks ini, boleh jadi mainstream Wahabi ditingkat akar rumput memang bertolak belakang dengan elit penguasa mereka, sebagaimana lumrah terjadi di banyak negara. Boleh juga, mereka terlalu fokus dalam bersengketa dengan saudaranya sesama Muslim, sehingga tak merasa kalau sudah bermesraan dengan orang lain yang menjadi musuh utama seluruh keluarganya. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar