Konstitusi Vox Populi
Bagaimana menjelaskan
drama "dukung-tarik" Partai Demokrat (PD) atas usul Amandemen UUD,
Selasa pekan lalu? Tanggal 8 Mei 2007 itu, 23 anggota DPR/MPR dari PD
menandatangani dudukungan atas usul Dewan Perwakilan Daerah (DPD) untuk
mengamandemen UUD. Pada hari itu juga, dukungan tersebut dicabut.
Begawan
konstitusi K.C. Wheare, dalam bukunya, Modern Constitutions, menegaskan bahwa
konstitusi adalah resultante atau produk kesepakatan politik yang dibuat sesuai
dengan kebutuhan dan situasi tertentu. Ini berarti, isi konstitusi harus selalu
sesuai dengan situasi dan kebutuhan masyarakat, karena itu dapat diubah melalui
resultante baru jika situasi dan kebutuhan masyarakat yang dilayaninya berubah.
Karena
konstitusi merupakan resultante yang dikerjakan melalui proses politik, maka
setiap gagasan perubahan atasnya pasti menimbulkan pergulatan politik. Ini
dapat menjelaskan mengapa PD melakukan "dukung-tarik" atas gagasan
amandemen kelima UUD 1945. Awalnya, elite PD menilai gerakan DPD perlu didukung.
Karena ada menuver tandingan, kemudian elite yang lebih elite lagi di PD
memerintahkan penarikan dukungan.
Drama
itu timbul, karena selain harus menjadi muara dari agregasi berbagai tuntutan
masyarakat, isi konstitusi juga harus diputuskan sebagai kesepakatan politik.
UUD 1945 hasil amandemen sebagai produk resultante awal reformasi sekarang
sudah disikapi secara berbeda. Ada yang menghendaki perbaikan kembali melalui
amandemen kelima.
Ada
pula yang menginginkan agar yang ada sekarang dipertahankan. Karena ia
merupakan hasil akamodosi dan kompromi maksimal atas berbagai keinginan
masyarakat. Serta ada juga hendak kembali ke UUD 1945 yang asli.
Perbedaan
sikap itu harus dicatat sebagai kemajuan pasca-perubahan konstitusi. Dengan UUD
hasil perubahan itu, sekarang kita menjadi lebih demokratis. Siapa pun bebas
mempersoalkan konstitusi. Kita boleh berteriak mempertahankannya atau
mengusulkan perubahan lanjutan atasnya.
Pada
masa lalu, kita hanya boleh bersikap satu: mempertahankan dan menyucikan UUD.Harus
diakui juga, UUD hasil mandemen ini sudah melahirkan sistem ketatanegaraan yang
jauh lebih maju. Checks and balances sudah lebih hidup. Sekarang ini UU sudah
benar-benar bisa diuji dan dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi.
Selain
itu, Mahkamah Agung juga sudah banyak membatalkan peraturan perundang-undangan.
Badan Pemeriksa Keuangan sudah leluasa memeriksa keuangan negara dan
mengumumkan hasilnya secara terbuka. Hak prerogatif presiden banyak yang sudah
diimbangi dengan hak konfirmatif DPR dan harus diatur dengan UU.
Ketentuan
tentang HAM diurai lebih jelas sesuai dengan filosofi bahwa kekuasaan
pemerintah merupakan residu HAM. Pemilu dipagari agar berjalan jujur dan adil.
Keanggotaan DPD dipilih dengan pemilu langsung. Pengawasan eksternal atas yudikatif
dilembagakan dengan pembentukan Komisi Yudisial.
Bahwa
dalam prakteknya kadang menimbulkan kekisruhan, bukan berarti sistem
ketatanegaraan hasil amandemen itu salah. Melainkan lebih merupakan keniscayaan
transisional saja.
Meski
sistem ketatanegaraan sekarang sudah lebih baik, namun kita tak dapat menutup
pintu perubahan. Sebab, mungkin saja ada perkembangan situasi dan kebutuhan
yang menuntut dibuatnya resultante baru. Mungkin juga ada hal penting yang
terlewatkan.
Tentang
ini dapat dicontohkan ketentuan Pasal 8 ayat (3) yang mengatur, jika Presiden
dan Wakil Presiden berhalangan tetap secara bersamaan maka MPR memilih satu
dari dua pasangan calon yang diajukan oleh parpol atau gabungan parpol yang
pada pemilu sebelumnya pasangan calonnya menjadi pemenang pertama dan kedua.
Masalahnya,
bagaimana jika karena pertimbangan politik tertentu, misalnya karena yakin
kalah kalau dipilih di MPR, salah satu (gabungan) parpol itu tidak mau
mengajukan pasangan calon? Atau, bagaimana jika ada dari gabungan parpol yang
berhak mengajukan pasangan baru itu ternyata tak mau lagi bergabung untuk
pengajuan pasangan calon baru?
Ini
adalah materi muatan absolut konstitusi yang tak bisa diatur dengan peraturan
perundang-undangan lain. Dinamika politik kita sangat memungkinkan terjadinya
Presiden dan Wapres "berhalangan tetap secara bersamaan" itu dan
kalau kekosongan pengaturan konstitusi tentang itu dibiarkan bisa terjadi
krisis konstitusi dan krisis politik. Maka di mana pun kita memosisikan diri di
antara berbagai sikap itu, kita tak boleh bersikap sekan-akan kitalah yang
paling benar.
Arus
demokrasi yang menggumpal dari suara rakyat tak dapat dibendung oleh siapa pun.
Jika dibendung dan tidak diagregasi dengan baik, maka demokrasi akan membuat
jalannya sendiri, sebab suara rakyat adalah suara Tuhan (vox populi vox dei).
Adagium ini tak dapat diartikan, suara rakyat (vox populi) itu identik dengan
suara Tuhan, melainkan vox populi yang bersumber dari sanubari rakyat itu akan
selalu dimenangkan oleh Tuhan.
Orang
yang tak memedulikan vox populi akan digilas dan ditertawakan sejarah. Maka tak
dapat tidak, kita harus berani membuat konstitusi vox populi. Masalahnya
hanyalah, bagaimana kita mengagregasi dan menguji berbagai aspirasi rakyat agar
pilihan kita itu benar-benar vox populi. []
Moh.
Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar