Konstitusi Buatan Rakyat
Harus diakui, reformasi 1998 membuat
demokrasi kita berkembang lebih bagus. Apa bagusnya? Karena reformasilah kita
dapat menggugat dengan keras konstitusi yang berlaku. Ini tak terbayangkan
dapat dilakukan pada masa lalu, saat otoriterisme Orde Lama dan hegemoni Orde
Baru mencengkeram kehidupan berbangsa kita.
Kala itu kalau ada
orang mempersoalkan UUD 1945 dipandang sebagai penjahat, kontrarevolusi, dan
subversif, meski persoalannya didekati dari sudut akademis-ilmiah.
Kampus-kampus dan para guru besarnya dihadapkan pada dua pilihan: menjadi
corong penguasa untuk mengatakan bahwa UUD 1945 itu yang terbaik, atau
bertiarap agar tidak dilibas. Tak ada kebebasan akademis, apalagi kebebasan
mimbar akademis.
Dulu negara telah
membangun tembok sakralisasi atas UUD 1945 dengan kekerasan yang membabi-buta.
Padahal itu salah dan melawan arus sejarah. Seperti kata ahli konstitusi
terkemuka, K.C. Wheare, konstitusi itu adalah resultante alias kesepakatan
produk situasi atau keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat
pada waktu tertentu, yang jika situasi dan kebutuhan berubah, konstitusi pun
bisa, bahkan harus, diubah pula. Tak ada konstitusi yang dapat dipaksakan untuk
berlaku selamanya.
Reformasi 1998 telah
merobohkan tembok sakralisasi UUD itu. Sekarang kita sudah bisa mengikuti
Wheare, UUD 1945 sudah diubah (diamendemen) secara sah sebanyak empat kali
tanpa tekanan dari siapa pun. Dan konstitusi yang sudah diamendemen ini pun
membuka pintu lebar bagi siapa pun untuk mempersoalkannya kembali tanpa harus
takut ditangkap.
Nyatanya, sekarang
ini banyak yang mempersoalkan UUD hasil amendemen yang sedang berlaku secara
resmi. Ada yang mempersoalkan isinya, ada yang mempersoalkan keabsahan
prosedurnya. Ada yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli, tapi banyak yang
ingin mengambil jeda dulu dari menguras energi politik, dan melaksanakan saja
UUD yang berlaku sekarang. Jauh lebih banyak lagi yang bersemangat melakukan
amendemen kelima dengan alasan mumpung masalahnya masih hangat dan dulu kita
melakukan perubahan tanpa pertimbangan yang matang. Menurut pandangan arus
besar ini, sekarang saatnya kita berpikir lebih dalam, tidak emosional dan
tidak pula terlalu romantis atau sentimental, untuk membuat UUD yang lebih baik
lagi.
Menghadapi situasi
ini kita pun tak boleh melawan arus sejarah seperti yang dilakukan oleh Orde
Lama dan Orde Baru, melawan arus bahwa perubahan adalah keniscayaan. Kita tak
boleh dan tak berhak melarang keinginan orang untuk melakukan perubahan seperti
halnya kita tak boleh melarang orang untuk berpendapat agar kita kembali ke UUD
1945 yang asli. Ini sama tak bolehnya dengan kita melarang orang bergeming pada
sikap bahwa hasil amendemen yang ada sekarang sudah maksimal dan bagus dan tak
perlu diubah-ubah lagi.
Semua harus ditampung
dan disalurkan melalui proses yang konstitusional agar dapat lahir konstitusi
buatan rakyat atau konstitusi yang mencerminkan arus besar kehendak rakyat,
tanpa manipulasi oleh pandangan sepihak para elitenya.
Penekanan tentang
"konstitusi buatan rakyat" ini penting karena, kalau berbicara
perubahan konstitusi, banyak di antara kita yang mengukurnya dengan teori
produk pakar atau yang berlaku di negara lain. Misalnya ada yang mengatakan
konstitusi kita salah karena tak sesuai dengan teori Trias Politika yang asli
sebagaimana diciptakan oleh Montesquieu. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan
kita mengikuti Montesquieu? Kalau Montesquieu bisa membuat teori, mengapa kita
tak membuat teori yang sesuai dengan kebutuhan kita sendiri? Lagi pula, yang
manakah teori Montesquieu yang asli sebagai sistem ketatanegaraan itu? Bukankah
setiap negara membuat modifikasi sendiri-sendiri di dalam konstitusinya?
Ada juga yang
mengatakan, salah satu kesalahan konstitusi kita adalah tidak jelasnya sistem
perwakilan bikameral dengan prinsip checks and balances seperti yang berlaku di
Amerika Serikat. Karenanya, parlemen kita pincang karena DPD kita mandul.
Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti sistem bikameral ala
Amerika Serikat? Bukankah kita dapat membuat desain sendiri tentang parlemen
sebagai pilihan politik kita? Bahwa yang ada sekarang dipandang kurang baik,
dapat saja kita perbaiki lagi, tetapi tanpa harus membelenggu diri untuk meniru
yang berlaku di Amerika Serikat.
Kita berhak penuh
untuk membuat teori konstitusi kita sendiri. Hukum tata negara yang berlaku di
suatu negara adalah apa pun yang ditulis oleh rakyat di negara itu sendiri di
dalam konstitusinya. Itu terlepas dari soal sama atau tidak sama dengan teori
tertentu dan tak terkait dengan soal sejalan atau tak sejalan dengan yang
berlaku di negara lain.
Sebagai wacana proses
pembaruan konstitusi, bisa saja teori, pendapat pakar, dan sistem yang berlaku
di negara lain dikemukakan sebagai bahan pembaruan. Tetapi kita tak terikat
untuk mengikuti itu semua karena kita memiliki tuntutan situasi dan kebutuhan
sendiri.
Mungkin saja ada
bagian konstitusi yang sama dengan teori tertentu atau sama dengan yang berlaku
di negara lain, sedangkan bagian lainnya berbeda. Itu sah saja sebagai pilihan
politik kita sendiri. Yang berlaku tetaplah yang ditulis di dalam konstitusi
sesuai dengan politik hukum yang kita pilih sendiri. Dengan sikap dan pandangan
seperti itulah kita harus menghadapi tuntutan perubahan kembali konstitusi
dengan berbagai variasi alternatifnya. []
Moh. Mahfud MD, Ketua
Mahkamah Konstitusi RI
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar