Senin, 04 Maret 2013

Mahfud MD: Konstitusi Buatan Rakyat


Konstitusi Buatan Rakyat

 

Harus diakui, reformasi 1998 membuat demokrasi kita berkembang lebih bagus. Apa bagusnya? Karena reformasilah kita dapat menggugat dengan keras konstitusi yang berlaku. Ini tak terbayangkan dapat dilakukan pada masa lalu, saat otoriterisme Orde Lama dan hegemoni Orde Baru mencengkeram kehidupan berbangsa kita.

 

Kala itu kalau ada orang mempersoalkan UUD 1945 dipandang sebagai penjahat, kontrarevolusi, dan subversif, meski persoalannya didekati dari sudut akademis-ilmiah. Kampus-kampus dan para guru besarnya dihadapkan pada dua pilihan: menjadi corong penguasa untuk mengatakan bahwa UUD 1945 itu yang terbaik, atau bertiarap agar tidak dilibas. Tak ada kebebasan akademis, apalagi kebebasan mimbar akademis.

 

Dulu negara telah membangun tembok sakralisasi atas UUD 1945 dengan kekerasan yang membabi-buta. Padahal itu salah dan melawan arus sejarah. Seperti kata ahli konstitusi terkemuka, K.C. Wheare, konstitusi itu adalah resultante alias kesepakatan produk situasi atau keadaan politik, ekonomi, sosial, dan budaya masyarakat pada waktu tertentu, yang jika situasi dan kebutuhan berubah, konstitusi pun bisa, bahkan harus, diubah pula. Tak ada konstitusi yang dapat dipaksakan untuk berlaku selamanya.

 

Reformasi 1998 telah merobohkan tembok sakralisasi UUD itu. Sekarang kita sudah bisa mengikuti Wheare, UUD 1945 sudah diubah (diamendemen) secara sah sebanyak empat kali tanpa tekanan dari siapa pun. Dan konstitusi yang sudah diamendemen ini pun membuka pintu lebar bagi siapa pun untuk mempersoalkannya kembali tanpa harus takut ditangkap.

 

Nyatanya, sekarang ini banyak yang mempersoalkan UUD hasil amendemen yang sedang berlaku secara resmi. Ada yang mempersoalkan isinya, ada yang mempersoalkan keabsahan prosedurnya. Ada yang ingin kembali ke UUD 1945 yang asli, tapi banyak yang ingin mengambil jeda dulu dari menguras energi politik, dan melaksanakan saja UUD yang berlaku sekarang. Jauh lebih banyak lagi yang bersemangat melakukan amendemen kelima dengan alasan mumpung masalahnya masih hangat dan dulu kita melakukan perubahan tanpa pertimbangan yang matang. Menurut pandangan arus besar ini, sekarang saatnya kita berpikir lebih dalam, tidak emosional dan tidak pula terlalu romantis atau sentimental, untuk membuat UUD yang lebih baik lagi.

 

Menghadapi situasi ini kita pun tak boleh melawan arus sejarah seperti yang dilakukan oleh Orde Lama dan Orde Baru, melawan arus bahwa perubahan adalah keniscayaan. Kita tak boleh dan tak berhak melarang keinginan orang untuk melakukan perubahan seperti halnya kita tak boleh melarang orang untuk berpendapat agar kita kembali ke UUD 1945 yang asli. Ini sama tak bolehnya dengan kita melarang orang bergeming pada sikap bahwa hasil amendemen yang ada sekarang sudah maksimal dan bagus dan tak perlu diubah-ubah lagi.

 

Semua harus ditampung dan disalurkan melalui proses yang konstitusional agar dapat lahir konstitusi buatan rakyat atau konstitusi yang mencerminkan arus besar kehendak rakyat, tanpa manipulasi oleh pandangan sepihak para elitenya.

 

Penekanan tentang "konstitusi buatan rakyat" ini penting karena, kalau berbicara perubahan konstitusi, banyak di antara kita yang mengukurnya dengan teori produk pakar atau yang berlaku di negara lain. Misalnya ada yang mengatakan konstitusi kita salah karena tak sesuai dengan teori Trias Politika yang asli sebagaimana diciptakan oleh Montesquieu. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti Montesquieu? Kalau Montesquieu bisa membuat teori, mengapa kita tak membuat teori yang sesuai dengan kebutuhan kita sendiri? Lagi pula, yang manakah teori Montesquieu yang asli sebagai sistem ketatanegaraan itu? Bukankah setiap negara membuat modifikasi sendiri-sendiri di dalam konstitusinya?

 

Ada juga yang mengatakan, salah satu kesalahan konstitusi kita adalah tidak jelasnya sistem perwakilan bikameral dengan prinsip checks and balances seperti yang berlaku di Amerika Serikat. Karenanya, parlemen kita pincang karena DPD kita mandul. Pertanyaannya, siapa yang mengharuskan kita mengikuti sistem bikameral ala Amerika Serikat? Bukankah kita dapat membuat desain sendiri tentang parlemen sebagai pilihan politik kita? Bahwa yang ada sekarang dipandang kurang baik, dapat saja kita perbaiki lagi, tetapi tanpa harus membelenggu diri untuk meniru yang berlaku di Amerika Serikat.

 

Kita berhak penuh untuk membuat teori konstitusi kita sendiri. Hukum tata negara yang berlaku di suatu negara adalah apa pun yang ditulis oleh rakyat di negara itu sendiri di dalam konstitusinya. Itu terlepas dari soal sama atau tidak sama dengan teori tertentu dan tak terkait dengan soal sejalan atau tak sejalan dengan yang berlaku di negara lain.

 

Sebagai wacana proses pembaruan konstitusi, bisa saja teori, pendapat pakar, dan sistem yang berlaku di negara lain dikemukakan sebagai bahan pembaruan. Tetapi kita tak terikat untuk mengikuti itu semua karena kita memiliki tuntutan situasi dan kebutuhan sendiri.

 

Mungkin saja ada bagian konstitusi yang sama dengan teori tertentu atau sama dengan yang berlaku di negara lain, sedangkan bagian lainnya berbeda. Itu sah saja sebagai pilihan politik kita sendiri. Yang berlaku tetaplah yang ditulis di dalam konstitusi sesuai dengan politik hukum yang kita pilih sendiri. Dengan sikap dan pandangan seperti itulah kita harus menghadapi tuntutan perubahan kembali konstitusi dengan berbagai variasi alternatifnya. []

 

Moh. Mahfud MD, Ketua Mahkamah Konstitusi RI

 

Sumber:

Tidak ada komentar:

Posting Komentar