Dari Soal Pribumisasi Hingga Apresiasi Seni
(Catatan Dari Muktamar NU Ke-1 Surabaya 1926)
Persis sepuluh bulan setelah dinyatakan
berdiri secara resmi, yakni 26 Januari 1926 maka NU segera mengadakan Muktamar,
yang waktu itu dikenal dengan sebutan congres, Muktamar atau kongres pertama
itu diselenggarakan di Hotel Muslimin Paneleh Surabaya, pada tanggal 13 Rabius
Tsani 1345 H yang bertepatan dengan 21 Oktober 1926 ini sekaligus sebagai
ta’aruf kubro (grand launching) bagi organisasi keulamaan itu pada masyarakat
Nusantara yang masih terjajah. Jarak antara Deklarasi dengan Muktamar itu
digunakan sebagai kesempatan untuk melakukan sosialisasi kepada para kiai yang
ada di berbagai pesantren. Muktamar dilaksanakan setelah dukungan dari ulama
pesantren kompak, serta adanya persiapan teknis yang lengkap, seperti
penyusunan Statuten (AD/ART), walaupun dalam Muktamar ini NU belum memiliki
bendera.
Melibatkan para kiai yang tak terikat oleh
lembaga lain itu ke dalam sebuah organisasi terikat itu menjadi sangat sulit
dan banyak yang enggan karena mereka tidak mau berurusan dengan dunia luar,
mereka hanya mau mengaji, tidak berurussan dengan Belanda dan sebagainya.
Tetapi berkat pengaruh dan kewibawaan Kiai Hasyim Asy’ary atas para kiai di
Nusantara ini, maka dalam waktu relatif singkat NU bisa diterima oleh semua
pihak. Jalur yang digunakan oleh Hasyim Asy’ari adalah para kiai sejawatnya
yang dulu belajar di Mekah yang kini menyebar se Nusantara, lalu jaringan
santri dan alumni. Selain itu juga jaringan kiai-kiai pesantren pasukan P.
Diponegoro yang tersebar di seluruh pelosok Jawa. Sehingga jaringan NU begitu
luas mengakar dan kuat.
Muktamar pertama diselenggarakan setelah
dukungan dari berbagai daerah sudah sangat meluas. Berbeda dengan ketika
mendirikan Nahdlatut Tujjar di mana Kiai Hasyim dan Kiai Wahab menjadi pelopor
utamanya, demikian Nahdlatul Wathon, ataupun Taswirul afkar, semuanya tidak
pernah dirancang menjadi organisasi yang berskala nasional, karena itu berdiri
dengan mudah, karena anggotanya terbatas pada masyarakat sekitar Jawa Timur.
Karena para kiai yang hadir dari berbagai
pesantren, maka bisa dimaklumi kalau tema yang dibahas begitu beragam, mulai
persoalan cara bermazhab, sholat Jumat hingga ke soal kesenian, itu agenda formalnya.
Tetapi yang menjadi agenda sesungguhnya badah sebagai upaya meningkatkan
pemahaman keagamaan, serta perbaikan nasib rakyat melalui lembaga pendidikan,
baik pesantren atau madrasah. Karena itu organisai ini disebut Nahdlah
(kebangkitan) untuk merespon kebangkitan Nasional yang telah dirintis para
aktivis pergerakan nasional tahun 1908.
Seusai Muktamar hasil-hasilnya kemudian
disosialisasiskan kepada masyarakat, baik melalui majalah seperti Oetoesan
Nadlatoel Oelama, Swara NU juga melalui brosur stensilan, atau melalui
mimbar-mimbar agama. Untuk keperluan itu Kiai Hasyim dan Kiai Wahab turun
sendiri melakukan sosialisasi NU ke daerah, sambil meperkuat pembentukan NU di
masing-masing daerah. Dengan cara itu keterkaitan jamaah dengan Hoofdbertuur (pengurus
besar) organisasi baru itu sangat kuat, karena didukung oleh para kiai yang
memiliki pengaruh dan integritas dan sekaligus peduli pada masyarakat.
Di balik semua rencana itu NU dibentuk juga
dijadikan sarana perjuangan kemerdekaan, makanya tidak aneh kalau kemudian NU
mendirikan Hisbullah dan Sabilillah dan kemudia mengumandangkan perang membela
kemerdekaan melalui Resolusi Jihad tanggal 22 Oktober 1945 yang mengakibatkan
terjadinya perang sabil yang melibatkan ribuan santri di selruh jawa madura pada
10 November 1945, yang dikenal sebagai hari pahlawan. []
(Mun’im DZ)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar