Keajaiban itu Bukanlah
Barometer
Oleh: Ahmad Biyadi
“Tak semua yang dianugerahi keistimewaan
sempurna dalam keikhlasan”
Ibnu ‘Athaillah as-Sakandari.
Alkisah, seorang sahabat Nabi saw bernama
Sahal ra pernah berbincang dengan seorang pemuda yang memiliki kekeramatan.
Sang pemuda berkata, “Saat aku berwudhu, air wudhu yang jatuh dari anggota
tubuhku berubah menjadi untaian emas dan perak.” Mendengar hal itu, Sahal ra
pun berkata, “Tidakkah kau lihat, bila seorang anak kecil sedang menangis, dia
akan diberi ranting pohon [untuk mainan] agar si anak lupa pada apa yang ia
tangisi”
Begitulah, kekeramatan dan keajaiban bagi
orang-orang saleh yang telah sampai pada tingkatan yang tinggi tak ubahnya
sekadar ‘mainan anak’, yang sama sekali tak menjadi tujuan dari ibadahnya.
Hanya anak kecil–dalam artian sufis pemula–yang dalam ibadahnya mengharapkan
keajaiban-keajaiban. Sedangkan mereka yang telah memiliki kedudukan tinggi di
sisi-Nya sama sekali tak terpengaruh oleh karamah dan kejadian luar biasa itu.
Pikiran mereka telah terfokus untuk bertakwa dan bermunajat kepada Allah swt
dengan ikhlas tanpa mengharap apapun, apalagi perihal duniawi, tentu sama
sekali itu tak terlintas dalam hati mereka.
Dalam sebuah cerita yang diabadikan dalam
al-Quran (Ali Imran[3]: 37), saat Siti Maryam ditanya mengenai makanan “tak
biasa” yang selalu ada di hadapannya, ia pun menjawab, “Ini (datang) dari-Nya.
Dia memberi rizki kepada siapa saja yang Dia kehendaki tanpa perhitungan.” Itu
artinya kekeramatan apapun yang terjadi pada diri seorang wali Allah swt, dia
akan mengembalikan kejadian itu pada takdir dan kehendak-Nya. Mereka pasrah
apakah Allah swt akan mentakdirkan perilaku ajaib terhadap diri mereka atau
tidak.
Apa itu Karamah?
Tidak semua keajaiban dan kejadian luar biasa
dapat disebut karamah. Tidak lantas ada orang bersurban yang dapat terbang kita
katakan dia adalah wali Allah swt. Tentu saja, tidak semua yang berkilau adalah
emas. Karena orang tak baik sekalipun terkadang juga bisa memiliki kekeramatan
dan keajaiban atas kehendak-Nya.
Dalam hal ini, setidaknya ada dua hal yang
ditetapkan para pakar kapan kejadian luar biasa dapat dikatakan karamah.
Pertama, kejadian itu timbul dari orang saleh yang taat terhadap aturan
syariat. Kedua, orang saleh tersebut memiliki keyakinan yang benar. Bila kedua
syarat itu tak terpenuhi, maka kejadian luar biasa itu diragukan datang sebagai
karamah dari Allah swt.
Bukan Tolok Ukur
Kekeramatan bukanlah tolok ukur dari derajat
seseorang di sisi Allah swt. Bukan berarti semakin ajaib seseorang, semakin
tinggi pula kedudukannya di sisi Allah swt. Keajaiban-keajaiban yang terjadi
tak ubahnya bunga-bunga dalam kehidupan manusia yang sengaja Allah takdirkan
atas kehendak-Nya. Kadang bunga tumbuh di tempat indah, kadang pula pohon semak
belukar juga memiliki bunga yang berbau semerbak. Andaipun kekeramatan adalah
barometer dari kedudukan seseorang di sisi-Nya, maka tentu para sahabatlah yang
paling banyak dianugerahi keistimewaan dan keajaiban, karena merekalah umat
terbaik yang kedudukannya jauh di atas pangkat para wali. Namun kenyataannya
kisah-kisah luar biasa para sahabat justru tak seheboh keajaiban yang terjadi
pada orang-orang di masa setelah mereka. Bahkan tak jarang orang yang
ketakwaannya belum berada pada derajat tinggi juga diberi kekeramatan.
Ada tiga hal mengapa hal itu terjadi.
Pertama, sebagai dorongan baginya agar lebih giat beramal baik. Kedua, ujian
untuknya apakah dia akan berhenti memperbaiki diri dengan menganggap dirinya
telah sampai pada tujuan, ataukah dia justru tak peduli dan kian beribadah.
Ketiga, untuk meyakinkan dirinya dan mungkin juga orang lain bahwa dia telah
diberi anugerah dan memiliki derajat di sisi Allah swt.
Lebih jauh, perilaku ajaib dan aneh terkadang
juga bisa terjadi dari orang yang sama sekali tak memiliki kedudukan di
sisi-Nya. Bukankah sihir, sulap, hipnotis, dan hal-hal aneh, magis dan luar
biasa lain juga keajaiban takdir Allah swt yang justru timbul dari orang-orang
tak baik. Itu semua terjadi juga atas kehendak-Nya, baik sebagai istidrâj bagi
mereka atau sebagai fitnah bagi orang-orang awam.
Itu artinya, kekeramatan tidak bisa diambil
sebagai pertanda yang memastikan seseorang tergolong ahli surga. Bahkan bisa
jadi orang yang penuh kekeramatan pun bisa jadi mati dalam keadaan sû’ul
khâtimah–wa na‘ûdzubillâh, meski hal itu jarang terjadi, misalnya Bal’am bin
Ba’ura’, utusan Nabi Musa as kepada Raja Madyan yang doanya selalu dikabulkan
oleh Allah as, akan tetapi pada akhirnya dia mati dalam keadaan tidak membawa
iman. Na‘ûdzubillâh.
Maka dari itu, para ulama memberikan sebuah
kesimpulan bahwa kekeramatan tertinggi sejatinya adalah makrifat dan istikamah
dalam ketaatan kepada Allah swt hingga akhir hayat. Semakin taat seseorang
kepada Allah swt, semakin tinggi pula derajat dan kedudukannya di sisi-Nya. Dan
merekalah orang-orang yang benar-benar beruntung. Semoga kita mendapatkan
berkah dari mereka. Amin. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar