Orientasi dan Pemetaan Jual
Beli ala Islam
Dewasa ini, geliat ekonomi syariah alias
ekonomi Islam begitu kentara dalam dunia perekonomian Indonesia. Ekonomi Islam
sebagai cetak biru dari sistem ekonomi yang berbasis al Quran dan hadis tidak
lagi menjadi sekadar tren, tapi sudah menjadi kebutuhan. Ketika sistem ekonomi
konvensional dirasa memiliki banyak kekurangan dan tidak bisa mewujudkan
kesejahteraan masyarakat yang hakiki, mencuatlah ekonomi Islam sebagai sebuah
solusi. Ketika dalam sistem ekonomi konvensional kian ditemukan banyak
kerentanan dan kelemahan fundamental, maka makin diliriklah sistem ekonomi
Islam. Bahkan, pihak Barat pun secara laun konon telah ikut mengadopsi serta
mengeksplorasi beberapa instrumen sistem ekonomi Islam.
Berangkat dari fenomena itulah bahtsul masail digelar. NU Mesir tergelitik untuk turut serta mengupas tuntas sistem ekonomi Islam dari sudut pandang ulama 4 mazhab (Hanafi, Maliki, Syafi’i, dan Hambali), maupun dari sisi-sisi menarik lainnya. Bukan bermaksud latah, tetapi lebih kepada sebuah panggilan jiwa sebagai agent of change untuk ikut memberikan sumbangsih ilmiah kepada bangsa dan masyarakat Indonesia tercinta.
Sebagai sebuah sistem yang berasal dari eksplorasi Quran serta hadis, ekonomi Islam diyakini mampu meminimalisir perilaku rente dan spekulatif ala ekonomi konvensional. Dua contoh praktik dalam ekonomi konvensional di atas dalam Islam termasuk praktik mikroekonomi yang terlarang. Hal itu, sebagaimana yang dipaparkan oleh rekan Muhammad Anwar Fathoni dalam makalahnya yang bertajuk: Konsep Dasar Akad Jual Beli Dalam Islam. Sekadar untuk diketahui, kajian reguler divisi Ekonomi LBMNU Mesir kali ini adalah pertemuan kedua yang mulai masuk pada pembahasan akad jual beli dalam Islam secara komprehensif dari perspektif 4 mazhab.
Pada pertemuan pertama, diskusi lebih sebagai orientasi dan pembekalan menuju kajian eksklusif ekonomi Islam. Dalam kajian divisi Ekonomi kali kedua ini, Anwar memetakan akad jual beli dari perspektif 4 mazhab, dengan Syafi’iyah sebagai pijakan utama. Dalam presentasinya, Anwar mengutarakan bahwa dalam mengulas teori dasar transaksi jual beli, ia sengaja akan masuk melalui pintu syarat, rukun dan sifat-sifat sebuah akad. Sebab, menurutnya dari situ sebuah akad juga akan dengan sendirinya bisa diketahui legalitasnya.
Dalam mendefinisikan akad jual beli, pemakalah lebih suka merujuk defenisi yang ada pada buku al Qalyubi wa Umairah, yakni jual beli adalah akad tukar menukar harta benda yang konsekuensinya menjadikan pelaku transaksi memiliki benda atau manfaat harta itu selamanya. Keputusan lebih condong pada definisi dari buku Qalyubi juga sudah mempertimbangkan beragam definisi dari ulama mazhab Hanafiah, Malikiah, Hanabilah, maupun dari para ulama Syafi’iah sendiri. Menurutnya, definisi itulah yang paling komprehensif-protektif (jami’ mani’) atas akad jual beli. Mengingat banyaknya definisi dari berbagai aliran perguruan (lintas mazhab), maka sang pemakalah dalam pembahasan utamanya sengaja fokus di mazhab Syafi’i dengan tetap menyisipkan perspektif mazhab lain sebagai pembanding. Untuk referensi babon, pemakalah menggunakan buku Minhaj at-Thalibin karya Imam an Nawawi sebagai acuan utama dalam menggali teori akad jual beli ala mazhab Syafi’i.
Menyinggung tentang dasar hukum transaksi jual beli dalam Islam, rekan Anwar mengutip keterangan yang terdapat dalam kitab al -Umm, bahwa selagi saling rela dan tidak ada nas pelarangan dari (syariat) nabi Muhammad SAW, pada dasarnya hukum semua akad jual beli adalah boleh. Hal itu senada dengan ketentuan yang termaktub dalam QS an Nisa ayat 29 dan QS al Baqarah ayat 275. Memasuki pembahasan rukun, pemakalah memaparkan bahwa menurut ulama Syafi’i, rukun akad jual beli ada tiga; yaitu sighat (ijab dan kabul), ma’qud alaih (objek/komoditi) dan ‘aqidain (dua pihak yang bertransaksi). Sedangkan menurut ulama Hanafiah, rukun akad jual beli hanyalah sighat, mereka mengkategorikan ma’qud ‘alaih dan ‘aqidain sebagai syarat. Namun, menurut al Khatib as Syarbini dalam buku Mughni al Muhtaj-nya, perbedaan mayortitas ulama Hanafi dengan perspektif Syafi’i itu hanya sebatas redaksional. Sebab, kenyataan praktik jual beli ala mazhab Hanafi pun tidak mengesahkan jual beli tanpa adanya ma’qud alaih dan ‘aqidain.
Tatkala tiga unsur rukun akad jual beli di atas telah terpenuhi semua, sebuah transaksi tidak serta merta secara syariat menjadi legal-formal. Masih terdapat beberapa syarat yang harus dipenuhi pula agar transaksi jual beli dapat dikategorikan sah alias sudah legal-formal menurut yurisprudensi Islam.
Pertama, syarat yang terkait sighat alias ijab dan kabul. Dalam hal ini, ulama Syafi’iah menyaratkan harus adanya ijab-kabul dari kedua pihak; pembeli dan penjual. Ijab dan kabul menjadi sentral, sebab dari rukun inilah standar kerelaan ‘aqidain didapat. Lantas, dari sini tentunya juga akan timbul pertanyaan, bagaimana dengan hukum dari jual beli mu’athah yang dalam praktiknya tidak ada ijab-kabul dari kedua pihak yang bertransaksi. Menyikapi hal ini, internal ulama Syafi’i juga saling beda pendapat mengenai keabsahan transaksi mu’athah. Ada yang berpendapat akad ini tidak sah karena sikap-perbuatan yang ada tidak bisa menunjukan kerelaan.
Ada pula jajaran petinggi Syafi’iah yang mengesahkannya, yakni al Khatib as Syarbini, al Mutawalli dan al Baghawi. Menurut mereka, transaksi jual beli mu’athah sah dalam hal-hal yang oleh ‘urf (standar keumuman) itu digolongkan praktik jual beli. Sedang menurut Ibn Suraij dan ar Rauyani, keabsahan jual beli mu’athah dibatasi hanya dalam hal-hal yang secara ‘urf itu bisa dilakukan serah terima, tanpa perlu ada pelafalan, contohnya seperti jual beli roti, susu, buah-buahan dan keperluan sehari-hari lainnya. Adapun ulama mazhab lain, seperti Hanafiah, Malikiah dan Hanabilah, memperbolehkan jual beli mu’athah secara mutlak.
Kedua, tiadanya pemisah yang panjang antara ijab dengan kabul oleh unsur-unsur luar yang membuat keduanya tidak berkaitan. Baik dengan diam yang panjang atau dengan kalimat lain yang tidak berhubungan dengan akad. Mengenai ini, ulama Hanafiah menggunakan redaksi keharusan melakukan transaski dalam satu majelis. Sementara ulama Malikiah berpendapat, adanya pemisah antara ijab dan kabul tidak akan mempengaruhi akad jual beli kecuali ketika pihak yang bertransaksi keluar dari akad.
Ketiga, esensi kabul harus selaras dengan ijab. Misalnya, ketika pihak pertama berkata, “aku jual beras ini kepadamu dengan harga seribu,” pihak kedua pun harus menjawab “aku terima ini dengan harga seribu.”
Bagian yang kedua dari syarat-syarat yang harus terpenuhi ketika melakukan transaksi jual beli adalah adanya ‘aqidain atau kedua pihak pelaku transaksi harus cakap. Dalam arti, pelaku transaksi telah balig dan cakap dalam beragama maupun mengelola harta. Oleh karena itu tidak sah jual beli yang dilakukan anak kecil, orang gila, idiot maupun orang bangkrut. Syarat-syarat tersebut diamini oleh ulama Hanabillah. Sementara ulama Hanafiah dan Malikiah tidak menetapkan adanya syarat baligh.
Lebih lanjut, ulama Hanafiah mengklasifikasi tasarufnya anak kecil yang tamyiz dan berakal dalam tiga kategori. Pembahasan selanjutnya, tentang perkara yang berpengaruh dalam unsur ‘aqidain; yaitu tidak adanya paksaan tanpa dasar (‘adam al ikrah bighairi al haq), sebab prinsip utama dalam dasar jual beli adalah kerelaan. Sebaliknya, ketika ada paksaan yang berdasar, maka transaksi jual beli tetap sah. Contoh kasus seperti tekanan dari penguasa untuk menjual rumah demi melunasi hutang yang melilit. Namun, ulama Hanafiah menyatakan jual beli semacam tadi adalah fasid sehingga pihak pemaksa boleh meneruskan atau membatalkan akad. Sedangkan pembeli dapat memiliki mabi’ (komoditi) jika pihak pemaksa meneruskan akadnya. Meski begitu, akad semacam ini dianggap transaksi yang khabits (buruk) seperti transaksi yang terkontaminasi praktik rente atau riba.
Bagian ketiga yang diuraikan pemakalah adalah syarat terkait ma’qud alaih alias komoditi yang diperjual belikan. Syarat objek komoditi yang harus suci dari najis, bukan barang yang terkena najis yang tidak mungkin disucikan, harus barang yang bermanfaat, bisa diserah terimakan, bisa dimiliki secara penuh, dan dapat diketahui oleh ‘aqidain, kesemuannya oleh rekan Anwar dijelaskan secara gamblang. Setelah memaparkan definisi, rukun dan syarat jual beli, pemakalah memasuki pembahasan karakteristik dan klasifikasi jual beli batil dan fasid. Menurut mayoritas ulama Syafi’iyah, dengan memandang terpenuhi tidaknya rukun serta syarat, akad terbagi menjadi dua, yaitu akad sahih dan tidak sahih. Sedang menurut Hanafiah, akad diklasifikasi menjadi tiga, yakni sahih, fasid dan batil. Masing-masing pembagian itu diterangkan oleh pemakalah dengan cukup terang.
Untuk mengetahui sah tidaknya transaksi jual beli, dapat dianalisa juga dari syarat-syarat yang mendampingi sebuah akad. Hal tersebut diuraikan oleh Dr. Hasan Ali as Syadzili dengan lengkap dari perspektif 4 mazhab dan dipaparkan cukup detail oleh rekan Anwar dalam presentasinya.
Proses Dialektika Nalar
Selaku moderator, penulis menyimpulkan secara
singkat apa yang telah dipaparkan pemakalah sebagaimana tersaji dalam narasi di
atas. Selanjutnya, moderator mempersilahkan para pegiat kajian divisi Ekonomi LBM
PCINU Mesir untuk mengomentari dan mengkrtisi makalah. Dari proses dialektika
yang berlangsung, hal pertama yang dikritisi oleh para aktifis LBM adalah
seputar definisi. Yang paling tegas, diutarakan oleh rekan Maftuhin dan
Amrullah, yakni perihal masih adanya kekurang sempurnaan dalam hal
pendefinisian. Baik masih kurangnya pencantuman ragam definisi jual beli, juga
perihal masih ada kekurangan dalam proses transliterasinya. Meski sepakat
dengan pemakalah tentang definisi yang ada dalam Qalyubi merupakan definisi
paling komprehensif-protektif, namun ketiadaan penyertaan “la ‘ala wajhi al
qurbah” akan berdampak signifikan pada keabsahan akad tentang hal yang
dikecualikan dari teks tersebut.
Jadi, sebagian besar audiens meminta pemakalah untuk menulisankan defenisi secara utuh. Kemudian, mengingat definisi adalah elemen terpenting untuk memasuki sebuah kajian mendalam, maka kiranya memang perlu ada pencantuman berbagai definisi untuk mencari definisi yang paling mendekati sempurna. Sebab, merujuk pada statement Dr. Fayati Muhammad, definisi yang baik, adalah definisi yang singkat, padat namun berisi. Dan ketika ragam definisi jual beli lintas mazhab telah tersaji, maka peluang untuk mendapati defenisi yang paling jami’ mani’ akan lebih mudah tercapai.
Sebagai komentator selanjutnya, saudara Amud Shofy mengusulkan adanya tarjih dari uraian apik pemakalah tentang sistem jual beli ala Islam perspektif 4 mazhab. Hal itu juga diamini oleh rekan Anam. Lebih lanjut, Anam juga menghendaki adanya fokus pembahasan agar suasana diskusi tidak terlalu melebar. Ia juga mengingatkan harus hati-hati supaya tidak terjebak pada praktik talfik yang tidak diperbolehkan. Dalam kesempatan sebelumnya, Adhi Maftuhin menuntut adanya pendefinisian harta, mengingat harta merupakan objek komoditi dalam perdagangan yang urgen dan akan selalu dibahas.
Selain itu, ia juga mengusulkan penyebutan lengkap asbabun nahyi (sebab-sebab pelarangan) dalam praktik jual beli, yang mana dalam makalah baru disebutkan satu macam, yakni terkait syarat (as syurut). Selanjutnya, Adhi Maftuhin menegaskan kalau ia sependapat ketika sang pemakalah menjadikan buku Minhaj at Thalibin karya Imam an Nawawi sebagai rujukan utama. Sebab, bisa dikatakan buku al Minhaj ini merupakan representasi sari pati mazhab Syafi’i, mengingat buku itu adalah resume dari al Muharror. Yang mana al Muharror merupakan ikhtisar atau resume dari kitab al Wajiz. Sementara al Wajiz sendiri adalah resume dari al Wasith, sedang al Wasith adalah resume dari al Basith yang merupakan ringkasan dari buku Nihayatul Mathlab. Sebagaimana kita tahu, Nihayatul Mathlab merupakan resume dari empat buku babon karya imam Syafi’i, yakni al Umm, Mukhtashor Muzani, al Imla, dan al Buwaithy.
Sebagai komentator pamungkas, rekan Muhammad Amrullah selain menyinggung tentang definisi, ia juga menganjurkan adanya sedikit bumbu histori dan teori-teori dari dasar jual beli. Merujuk pada ungkapan Dr. Djamaluddin Athiyyah, kiranya akan menarik bila mencantumkan juga contoh kasus klasik yang disikapi dengan resep modern dalam konteks kesekarangan. Selanjutnya, mengingat keniscayaan ketika berbicara sistem juga akan membincang furuk. Sementara furuk sendiri akan berubah sesuai tuntutan ruang, zaman dan waktu, maka Amrullah memandang lebih bagus fokus pembahasan pada dasar-dasar ekonomi serta kembali pada kaidah fiqhiah yang berhubungan dengan muamalah secara umum dan transaksi jual beli secara khusus. Semisal seperti kaidah: “al ashlu fi al mu’âmalât al ibâhah (al hillu),” “al ibrab fî al ‘uqûd al maqâshid wa al ma’ânî lâ al alfâdh wa al mabânî”; “al ba’i’ bi al tarâdlîy” dll.
Kenapa mesti demikian? Sebab secara umum muamalat telah diatur oleh kaidah-kaidah fikih yang digali dari sumber syariat. Entah itu yang pengaturannya bersifat umum maupun inheren dengan praktik muamalat. Kaidah-kaidah yang berhubungan inheren dengan mu’amalah secara komprehensif bisa dirujuk langsung semisal dalam: Jamharatul Qawâ’id al fiqhiyyah fî al Mu’âmalât al Mâliyyah karya Dr. Ali Ahmad al Nadwi, al Qowâ’id al Ushûliyyah ‘inda Ibnu Taimiyah wa Tathbiqâtihâ fî al Mu’âmalât al Taqlidiyyah wa al Mu’âshirah karya Muhammad bin Abdullah al-Haj al-Hasyimi dan al Qowâ’id al Hâkimah li Fiqh al Mu’âmalât karya Dr. Yusuf al Qaradlawi. []
Ahmad Muhakam Zein
Tidak ada komentar:
Posting Komentar