Bedol-bedolan untuk
Rusun Kemayoran
Senin, 25 Maret 2013
Saya ajak Gubernur DKI Jakarta Joko Widodo
untuk mojok sebentar. Itu terjadi saat kami menunggu kedatangan Bapak Presiden
Susilo Bambang Yudhoyono yang akan meresmikan dimulainya proyek terbesar dalam
sejarah BUMN di bidang pelabuhan Jumat sore lalu.
Kami pun bisik-bisik
agar tidak menarik perhatian orang sekitar.
Di situ, di ruang
tunggu direksi PT Indonesia Port Corporation, nama baru PT Pelindo II (Persero)
Tanjung Priok, saya bisikkan ide tentang fungsi rumah susun untuk perbaikan
perkampungan kumuh di Jakarta. Ide itu sebenarnya sudah saya pidatokan saat
peletakan batu pertama pembangunan rumah susun Perumnas di Kemayoran sehari
sebelumnya.
Sebelum upacara itu,
saya mampir dulu ke rumah susun yang sudah lebih dulu berdiri di sebelahnya.
Itulah dua tower rumah susun 18 lantai yang dibangun BUMN Perum Perumnas di
awal pemerintahan SBY-JK.
Rusun itu awalnya
dirancang sebagai awal dari program pembangunan 1.000 tower rumah susun di
seluruh Indonesia. Tapi, pelaksanaannya tidak mulus. Perizinan yang waktu itu
dijanjikan serba-Ferrari ternyata seperti Tucuxi. Berhenti sama sekali.
Namun, dengan
semangat Jokowi yang berjanji memperlancar segala perizinan, saya minta
Perumnas untuk kembali membangun tower-tower rumah susunnya. Kalau bisa, tekad
saya, rumah susun Perumnas ini menjadi rumah susun pertama yang menjadi
kenyataan di era Jokowi ini. Untuk membuktikan benarkah birokrasi di DKI sudah
berubah.
Dalam kunjungan ke
lantai 17 rumah susun Kemayoran itu, saya merasakan seperti berada di sebuah
apartemen yang enak. Lokasi rumah susun tersebut sungguh istimewa. Pemandangan
sisi utaranya adalah Laut Jawa yang biru. Pemandangan arah sebaliknya adalah
lapangan golf yang indah.
Dalam hati, saya
berkata: pantas penghuni rumah susun ini terlihat sangat sejahtera. Rupanya,
yang masuk rumah susun di Kemayoran ini adalah mereka yang pendapatannya sudah
relatif baik. Buktinya terlihat dari fasilitas yang mereka miliki di kamar
masing-masing.
Saya pun
berkesimpulan pola penghunian rumah susun seperti ini tidak akan bisa
memperbaiki perkampungan Jakarta yang padat dan kumuh. Yang masuk rumah susun
ini bukanlah mereka yang berasal dari perkampungan yang sangat miskin. Penghuni
rumah susun seperti ini adalah mereka yang minimal sudah punya tabungan Rp 15
juta (untuk membayar uang muka).
Akibatnya, rumah
susun bisa saja terus tumbuh, tapi perkampungan padat dan kumuh tidak bisa
berkurang.
Inilah yang saya
bisikkan ke Jokowi. “Ayo kita ubah cara berpikir seperti itu,” bisik saya.
Caranya: rumah susun yang pemancangan tiang pertamanya saya lakukan Kamis lalu
itu tidak lagi disiapkan untuk mereka yang mendaftar. Tapi untuk menampung
“bedol RT” atau “bedol RW”.
Saya bisikkan: Kita
cari satu atau dua RT daerah padat dan miskin. Kalau seluruh warga RT yang
sangat miskin itu sepakat boyongan serentak bersama-sama ke rumah susun yang
hebat itu, maka merekalah yang harus ditampung.
Mereka tidak perlu
membayar uang muka (karena memang tidak akan punya). Namun, mereka harus
menyerahkan lokasi satu atau dua RT tersebut ke BUMN. Di lokasi yang
ditinggalkan tersebut (katakanlah luasnya satu atau dua hektare) dibangun rumah
susun 18 lantai oleh BUMN.
Kalau rumah susun di
lokasi bekas “bedol RT” tersebut sudah berdiri, kita cari lagi satu atau dua RT
yang juga mau “bedol RT”. Di lokasi bekas “bedol RT” tersebut dibangun lagi
rumah susun oleh BUMN. Begitu seterusnya. Bergulir tidak henti. Sampai tidak
ada lagi RT atau RW kumuh di DKI.
Dengan demikian,
rumah susun yang dibangun akan bisa ikut menyelesaikan masalah lingkungan
kawasan kumuh.
“Setuju!” jawab
Jokowi.
“Hanya Pak Jokowi yang bisa merayu warga untuk mau bedol RT. Saya tidak punya kewenangan,” kata saya.
“Saya yakin bisa. Banyak yang akan mau,” jawab Jokowi.
Begitulah. Hasil
mojok kami berdua sangat konkret.
Sayang sekali rumah
susun yang dibangun dengan mahal tidak bisa ikut memperbaiki lingkungan kumuh
di Jakarta. Saya pun lantas minta kepada direksi Perumnas untuk melaksanakan
ide ini. Tidak boleh lagi menjual rumah susun itu hanya kepada yang mampu
membayar uang muka.
Rumah susun ini
sungguh murah. Sebab, biayanya ditanggung oleh BUMN. Dalam waktu dua tahun,
harga rumah susun ini sudah akan naik lima kali lipat di pasar bebas. Lokasinya
begitu strategis. Bangunannya begitu bagus. Pemandangan sekitarnya begitu
indah.
Tidak ada salahnya
sekali-sekali warga yang sangat miskin mendapat haknya untuk berada di
lingkungan yang lebih baik. Bahkan, kali ini biarlah golongan yang miskin itu
yang akan mendapat gain yang amat besar itu.
Saya tahu bahwa ide
seperti ini bisa saja akan mendapat penolakan dari jajaran internal Perumnas
sendiri. Secara bisnis, ide seperti ini memang kurang menarik. Tapi, karena
dana pembangunan rumah susun ini dari BUMN (bukan hanya dari Perumnas yang juga
BUMN), maka saya minta kali ini berbeda.
Saya juga tahu,
sebagian penolakan itu berlatar belakangan khusus: model “bedol RT” seperti itu
tidak memberikan peluang untuk ngobyek.
Dirut Perum Perumnas
Himawan Arief Sugoto saya minta untuk terus melakukan koordinasi dengan Pemprov
DKI. Di atas kertas ide seperti ini kelihatannya mudah, tapi di lapangan bisa
jadi seperti mbah-mbah.
Ada dua terobosan
lagi yang saya jadikan pembicaraan saat mojok dengan Jokowi sore itu. Di bidang
transportasi dan penanggulangan banjir. Dua-duanya disetujui dan akan kami
laksanakan bersama secara cepat. Namun, rumah susun Kemayoran akan kami jadikan
model dulu.
Saya ingin melihat
apakah dalam tiga bulan nanti sudah bisa ditemukan satu atau dua RT yang mau
“bedol” ke rumah susun Kemayoran.
Rumah susun itu akan
terdiri atas dua tower. Saya sudah minta kontraktor BUMN, PT Hutama Karya,
untuk menyelesaikannya dalam waktu sembilan bulan. Dirut Hutama Karya Tri
Widjajanto Joedosastro sanggup. Ini berarti RT yang siap “bedol” ke rumah susun
Kemayoran sudah harus ditemukan dalam waktu tiga bulan ke depan.
Saya tahu soal rumah
susun menjadi salah satu janji kampanye Jokowi dulu. Untuk rumah susun yang
sudah ada pun, masih banyak persoalan. Sayangnya, tidak banyak yang bisa
dibantu oleh BUMN.
Kecuali satu:
keinginan Jokowi agar rumah susun bisa dialiri gas untuk dapur-dapur mereka.
Dirut BUMN yang
menangani gas, PT PGN (Persero) Tbk, Hendi Priyo Santoso, sudah sanggup. Tentu,
ada syaratnya, bahwa perizinan di bidang pembangunan jaringan pipa gas bisa
dipermudah. Selama ini Hendi sering mengeluh sulitnya mendapatkan izin
perluasan jaringan gas di Jakarta.
Kini, dengan
permintaan Jokowi itu, tidak ada jalan lain kecuali jaringan pipa gas memang
harus diperluas di Jakarta. Pak Jokowi pun menyanggupi percepatan perizinan
itu.
Dan, rupanya, Jokowi
betul-betul bergerak cepat. Dua hari setelah pembicaraan itu, justru staf
Pemprov DKI yang menelepon Hendi untuk mengambil izin yang sudah bertahun-tahun
nyangkut di sana.
Tentu, saya juga
ingin tower pertama yang dibangun Perumnas di saat saya menjadi menteri BUMN
tersebut ada plusnya. Misalnya, sejak saat dirancang sudah sekalian disiapkan
jaringan internet ke seluruh kamarnya. Dengan demikian, masyarakat miskin yang
menjadi penghuni rumah susun itu nanti bisa menyiapkan anak-anak mereka menjadi
generasi baru yang akan memutus mata rantai kemiskinan mereka.
Itu tidak sulit.
Begitulah cara Tiongkok menyiapkan rumah susun untuk masyarakat miskin mereka.
Rumah susun tidak hanya dipergunakan untuk mengubah wajah perkampungan, tapi
juga untuk memutus rantai kemiskinan dan ketertinggalan.
Saya ingat Jokowi
pernah melakukan “bedol kaki lima” yang amat terkenal di Solo. Saya ingin tahu
gaya kemeriahan Jokowi dalam melakukan “bedol RT” di Betawi! (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar