Senin, 11 Maret 2013

BamSoet: Skandal Century, Unfinished Job

Skandal Century, Unfinished Job

 

Bambang Soesatyo

Anggota Timwas Century DPR

Presidium KAHMI 2012-2017

 

PIMPINAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) terus berupaya memenuhi janjinya untuk proses hukum mega skandal Bank Century. Setelah menyimak keterangan dari sejumlah saksi, penyidik KPK akan bertolak ke Washington, Amerika Serikat (AS), untuk memeriksa mantan Menteri keuangan/mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani.

 

Sungguh-sungguh di luar dugaan. Di tengah hiruk pikuk isu politik yang begitu panas dan menyedot perhatian hampir semua elemen masyarakat sepanjang Februari 2013 lalu, mega skandal Bank Century tiba-tiba kembali menyeruak ke ruang publik sebagai isu lama yang tak kalah menariknya. Pasalnya, masyarakat secara tidak langsung mendapatkan janji dari seorang politisi muda  yang akan ikut membongkar atau mengungkap apa saja yang diketahuinya tentang kontroversi dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank Century itu.

 

Sementara berbagai kalangan mendesak sang politisi untuk berani buka-bukaan tentang skandal Bank Century,  rapat kerja Komisi III DPR dengan KPK memunculkan perkembangan baru. Pimpinan KPK memastikan segera memeriksa Sri Mulyani di AS. Bisa dipastikan bahwa jadual pemeriksaan Sri Mulyani itu ditetapkan setelah KPK menyimak keterangan dari sejumlah saksi, utamanya mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Anggito Abimanyu.

 

Seperti diketahui, pertengahan Februari lalu, Anggito mengaku kepada KPK bahwa dia tidak paham dengan keputusan Bank Indonesia (BI) menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. KPK sendiri sudah menetapkan Budi Mulya, mantan Deputi IV Pengelolaan Moneter Devisa BI, bersama mantan Deputi V Bidang Pengawasan BI Siti Fadjriah, sebagai tersangka dalam kasus ini. Keduanya diduga menyalahgunakan wewenang dalam pemberian FPJP sehingga Bank Century mendapatkan dana talangan Rp 6,7 triliun pada 2008.

 

Semua rangkaian peristiwa ini ibarat bunyi lonceng yang mengingatkan rakyat Indonesia bahwa skandal Bank Century masih berstatus pekerjaan yang belum selesai (unfinished job). Ia juga menjadi semacam isyarat bahwa sampai kapan pun rakyat menghendaki agar mega skandal ini bisa dituntaskan, berapa pun harga yang harus dibayar. Silahkan ditunda-tunda, tetapi rakyat akan selalu menagih. Dan, tak akan pernah terlupakan, sebab akan selalu ada peristiwa yang membawa ingatan publik pada kasus ini.

 

Perkembangan terkini seharusnya menjadi momentum yang cukup kuat untuk merealisasikan proses hukum skandal Bank Century. Sentimennya terlihat sangat positif dalam  beberapa hari belakangan ini. Publik dan KPK terlihat seperti bergerak simultan. Aspirasi publik terbaca dengan jelas dari desakan kepada seorang politisi muda untuk mengungkap segala sesuatu yang diketahuinya tentang motif pemberian dana talangan untuk Bank Century. Sementara pergerakan KPK tampak cukup signifikan dengan rencana memeriksa Sri Mulyani.

 

Pada akhirnya, yang ingin dilihat publik adalah apa yang akan didapat KPK dari rangkaian proses hukum skandal Bank Century? Sekadar menjerat Budi Mulya dan Siti Fadjriah? Atau memanfaatkan kedua tersangka ini untuk menjerat tangkapan lain yang lebih besar?

 

Memang, tingginya ekspektasi publik pada kasus ini sudah terlanjur terbentuk. Sebab, sejak proses pengungkapan kasus ini di forum Panitia Khusus DPR hingga sidang Paripurna DPR Maret 2010, nama sejumlah tokoh atau elit negara sudah disebut, bahkan tertulis dalam dokumen sidang Paripurna DPR. Artinya, berkaitan dengan kasus ini, rakyat sudah bisa mereka-reka siapa saja tokoh yang layak dimintai pertanggungjawabannya.

 

Namun, tentu saja langkah KPK tidak boleh dipengaruhi oleh aspirasi atau desakan publik. Pun tidak oleh intervensi dari kekuatan mana pun. Masyarakat paham bahwa KPK harus tetap berpatokan pada fakta-fakta hukum.

 

Wewenang BI

 

Wajar jika diasumsikan bahwa skandal ini bermuara pada kewenangan BI. Sebab, BI yang menjalankan fungsi  pengawasan bank, dan BI pula yang menetapkan standar bank yang sehat dan bank yang gagal. Selain itu, BI juga yang berwenang untuk menetapkan sebuah bank perlu dibantu atau dilikuidasi. Namun, ketika diasumsikan bahwa sebuah bank harus dibantu agar kebangkrutan bank itu tidak berdampak sistemik, BI tentunya harus menyajikan alasan-asalan yang masuk akal. Sebab, segala sesuatu yang diasumsikan berdampak sistemik itu pada dasarnya bisa dan harus diperdebatkan.

 

Sejak awal hingga kini, argumen bahwa kegagalan Bank Century akan berdampak sistemik tidak bisa dipahami. Alasan utamanya, Bank Century itu bank kecil. Melikuidasi Bank Century pada 2008 diyakini tidak akan menimbulkan panik, atau mendorong komunitas nasabah bank di seantero negeri melakukan rush. Benar bahwa pada saat itu perekonomian global dibayangi krisis, tetapi persoalan itu belum menimbulkan getaran terhadap perekonomian dalam negeri. Dengan begitu, wajar jika ekonom sekaliber Anggito pun tidak bisa memahami keputusan BI yang menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.

 

Penyertaaan modal Sementara (PMS) sebesar Rp 632 miliar ditetapkan pada pertengahan 2008. Lalu, pada Rapat KSSK 20 November 2008, diambil keputusan untuk menangani Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik. Namun, pemutakhiran nilai FPJP menjadi Rp 6,7 triliun tidak disajikan dalam rapat 20 November 2008 itu. Tentu saja pertanyaan tentang hal ini harus dialamatkan ke BI mengingat kewenangan FPJP ada di BI.

 

Itulah relevansi dari langkah KPK menetapkan Budi Mulya dan Siti Fadjriah sebagai tersangka. Namun, akan terasa tidak adil jika penyalahgunaan wewenang hanya dituduhkan kepada keduanya. Pertama, karena keduanya hanya Deputi Gubernur BI; kedua, mereka berdua punya atasan dengan pangkat Gubernur BI; dan ketiga, untuk FPJP sebesar itu tentunya diputuskan dalam forum Rapat  Dewan Gubernur BI.

 

Mantan wakil Presiden Jusuf Kalla pernah bertutur mengenai curahan hati Ketua KSSK Sri Mulyani. Kepada Kalla, Sri Mulyani mengaku merasa dibohongi oleh BI, karena terjadi penggelembungan nilai bailout yang luar biasa besarnya dari  Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7 triliun.

 

Curhat Sri Mulyani itu sendiri sudah menghadirkan sebuah kejanggalan tentang proses penyelamatan Bank Century dan akurasi nilai FPJP. Jika penyidik KPK bisa mengeksplorasi pengakuan Sri Mulyani kepada Jusuf Kalla itu, rangkaian kejanggalan proses persetujuan  dan akurasi nilai FPJP akan terlihat lebih detail, utuh dan gamblang.

 

PMS Rp 632 miliar dan menjadi FPJP sebesar Rp 6,7 triliun adalah lompatan nilai yang teramat besar. Pertanyaan tentang bagaimana perubahan PMS menjadi FPJP sebesar itu bisa didapatkan KPK dari Budi Mulya dan Siti Fadjriah, termasuk alasan serta data-data pendukungnya.

 

Namun, jangan lupa juga untuk mencaritahu kenapa Gubernur BI saat itu tidak menyajikan angka bailout Rp 6,7 triliun  dalam rapat KSSK pada 20 November 2008? Barangkali, pertanyaan ini bisa dijawab Sri Mulyani. []

 

 

Sent from my BlackBerry® smartphone from Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar