Bambang Soesatyo
Anggota Timwas Century DPR
Presidium KAHMI 2012-2017
PIMPINAN Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK)
terus berupaya memenuhi janjinya untuk proses hukum mega skandal Bank Century.
Setelah menyimak keterangan dari sejumlah saksi, penyidik KPK akan bertolak ke
Washington, Amerika Serikat (AS), untuk memeriksa mantan Menteri
keuangan/mantan Ketua Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani.
Sungguh-sungguh di luar dugaan. Di tengah
hiruk pikuk isu politik yang begitu panas dan menyedot perhatian hampir semua
elemen masyarakat sepanjang Februari 2013 lalu, mega skandal Bank Century
tiba-tiba kembali menyeruak ke ruang publik sebagai isu lama yang tak kalah
menariknya. Pasalnya, masyarakat secara tidak langsung mendapatkan janji dari
seorang politisi muda yang akan ikut membongkar atau mengungkap apa saja
yang diketahuinya tentang kontroversi dana talangan Rp 6,7 triliun untuk Bank
Century itu.
Sementara berbagai kalangan mendesak sang
politisi untuk berani buka-bukaan tentang skandal Bank Century, rapat
kerja Komisi III DPR dengan KPK memunculkan perkembangan baru. Pimpinan KPK
memastikan segera memeriksa Sri Mulyani di AS. Bisa dipastikan bahwa jadual
pemeriksaan Sri Mulyani itu ditetapkan setelah KPK menyimak keterangan dari
sejumlah saksi, utamanya mantan Kepala Badan Kebijakan Fiskal Kemenkeu Anggito
Abimanyu.
Seperti diketahui, pertengahan Februari lalu,
Anggito mengaku kepada KPK bahwa dia tidak paham dengan keputusan Bank
Indonesia (BI) menetapkan Bank Century sebagai bank gagal berdampak sistemik.
KPK sendiri sudah menetapkan Budi Mulya, mantan Deputi IV Pengelolaan Moneter
Devisa BI, bersama mantan Deputi V Bidang Pengawasan BI Siti Fadjriah, sebagai
tersangka dalam kasus ini. Keduanya diduga menyalahgunakan wewenang dalam
pemberian FPJP sehingga Bank Century mendapatkan dana talangan Rp 6,7 triliun
pada 2008.
Semua rangkaian peristiwa ini ibarat bunyi
lonceng yang mengingatkan rakyat Indonesia bahwa skandal Bank Century masih
berstatus pekerjaan yang belum selesai (unfinished job). Ia juga menjadi
semacam isyarat bahwa sampai kapan pun rakyat menghendaki agar mega skandal ini
bisa dituntaskan, berapa pun harga yang harus dibayar. Silahkan ditunda-tunda,
tetapi rakyat akan selalu menagih. Dan, tak akan pernah terlupakan, sebab akan
selalu ada peristiwa yang membawa ingatan publik pada kasus ini.
Perkembangan terkini seharusnya menjadi
momentum yang cukup kuat untuk merealisasikan proses hukum skandal Bank
Century. Sentimennya terlihat sangat positif dalam beberapa hari
belakangan ini. Publik dan KPK terlihat seperti bergerak simultan. Aspirasi
publik terbaca dengan jelas dari desakan kepada seorang politisi muda untuk
mengungkap segala sesuatu yang diketahuinya tentang motif pemberian dana
talangan untuk Bank Century. Sementara pergerakan KPK tampak cukup signifikan dengan
rencana memeriksa Sri Mulyani.
Pada akhirnya, yang ingin dilihat publik
adalah apa yang akan didapat KPK dari rangkaian proses hukum skandal Bank
Century? Sekadar menjerat Budi Mulya dan Siti Fadjriah? Atau memanfaatkan kedua
tersangka ini untuk menjerat tangkapan lain yang lebih besar?
Memang, tingginya ekspektasi publik pada
kasus ini sudah terlanjur terbentuk. Sebab, sejak proses pengungkapan kasus ini
di forum Panitia Khusus DPR hingga sidang Paripurna DPR Maret 2010, nama
sejumlah tokoh atau elit negara sudah disebut, bahkan tertulis dalam dokumen
sidang Paripurna DPR. Artinya, berkaitan dengan kasus ini, rakyat sudah bisa
mereka-reka siapa saja tokoh yang layak dimintai pertanggungjawabannya.
Namun, tentu saja langkah KPK tidak boleh
dipengaruhi oleh aspirasi atau desakan publik. Pun tidak oleh intervensi dari
kekuatan mana pun. Masyarakat paham bahwa KPK harus tetap berpatokan pada
fakta-fakta hukum.
Wewenang BI
Wajar jika diasumsikan bahwa skandal ini
bermuara pada kewenangan BI. Sebab, BI yang menjalankan fungsi pengawasan
bank, dan BI pula yang menetapkan standar bank yang sehat dan bank yang gagal.
Selain itu, BI juga yang berwenang untuk menetapkan sebuah bank perlu dibantu
atau dilikuidasi. Namun, ketika diasumsikan bahwa sebuah bank harus dibantu
agar kebangkrutan bank itu tidak berdampak sistemik, BI tentunya harus
menyajikan alasan-asalan yang masuk akal. Sebab, segala sesuatu yang
diasumsikan berdampak sistemik itu pada dasarnya bisa dan harus diperdebatkan.
Sejak awal hingga kini, argumen bahwa
kegagalan Bank Century akan berdampak sistemik tidak bisa dipahami. Alasan
utamanya, Bank Century itu bank kecil. Melikuidasi Bank Century pada 2008
diyakini tidak akan menimbulkan panik, atau mendorong komunitas nasabah bank di
seantero negeri melakukan rush. Benar bahwa pada saat itu perekonomian global
dibayangi krisis, tetapi persoalan itu belum menimbulkan getaran terhadap
perekonomian dalam negeri. Dengan begitu, wajar jika ekonom sekaliber Anggito
pun tidak bisa memahami keputusan BI yang menetapkan Bank Century sebagai bank
gagal berdampak sistemik.
Penyertaaan modal Sementara (PMS) sebesar Rp
632 miliar ditetapkan pada pertengahan 2008. Lalu, pada Rapat KSSK 20 November
2008, diambil keputusan untuk menangani Bank Century sebagai bank gagal
berdampak sistemik. Namun, pemutakhiran nilai FPJP menjadi Rp 6,7 triliun tidak
disajikan dalam rapat 20 November 2008 itu. Tentu saja pertanyaan tentang hal
ini harus dialamatkan ke BI mengingat kewenangan FPJP ada di BI.
Itulah relevansi dari langkah KPK menetapkan
Budi Mulya dan Siti Fadjriah sebagai tersangka. Namun, akan terasa tidak adil
jika penyalahgunaan wewenang hanya dituduhkan kepada keduanya. Pertama, karena
keduanya hanya Deputi Gubernur BI; kedua, mereka berdua punya atasan dengan
pangkat Gubernur BI; dan ketiga, untuk FPJP sebesar itu tentunya diputuskan
dalam forum Rapat Dewan Gubernur BI.
Mantan wakil Presiden Jusuf Kalla pernah
bertutur mengenai curahan hati Ketua KSSK Sri Mulyani. Kepada Kalla, Sri
Mulyani mengaku merasa dibohongi oleh BI, karena terjadi penggelembungan nilai
bailout yang luar biasa besarnya dari Rp 632 miliar menjadi Rp 6,7
triliun.
Curhat Sri Mulyani itu sendiri sudah
menghadirkan sebuah kejanggalan tentang proses penyelamatan Bank Century dan
akurasi nilai FPJP. Jika penyidik KPK bisa mengeksplorasi pengakuan Sri Mulyani
kepada Jusuf Kalla itu, rangkaian kejanggalan proses persetujuan dan
akurasi nilai FPJP akan terlihat lebih detail, utuh dan gamblang.
PMS Rp 632 miliar dan menjadi FPJP sebesar Rp
6,7 triliun adalah lompatan nilai yang teramat besar. Pertanyaan tentang
bagaimana perubahan PMS menjadi FPJP sebesar itu bisa didapatkan KPK dari Budi
Mulya dan Siti Fadjriah, termasuk alasan serta data-data pendukungnya.
Namun, jangan lupa juga untuk mencaritahu
kenapa Gubernur BI saat itu tidak menyajikan angka bailout Rp 6,7 triliun
dalam rapat KSSK pada 20 November 2008? Barangkali, pertanyaan ini bisa
dijawab Sri Mulyani. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar