Kepemimpinan Ideal:
Penggalian Ilmu Sharaf dan Falsafah Jawa
Oleh: Kurdi Muhammad*
Islam sebagai agama yang mengatur seluruh
aspek kehidupan manusia, memiliki perhatian yang sangat besar terhadap masalah
kepemimpinan. Ada beberapa hadits yang dapat dirujuk untuk memperkuat
argumentasi ini, antara lain:
“Sesungguhnya imam itu diangkat untuk diikuti” (HR. Bukhari-Muslim). Dan, “Jika ada tiga orang yang keluar dalam perjalanan, hendaknya mereka mengangkat salah satu sebagai pemimpin.” (HR. Bukhari-Muslim).
Konsep dan praktik kepemimpinan dalam Islam sangat penting untuk menjaga umat agar tetap satu suara, satu langkah dan satu visi untuk mewujudkan tata kehidupan yang lebih membahagiakan di dunia dan akhirat. Di samping kepemimpinan juga sangat penting untuk menjaga keutuhan serta harmoni kehidupan seluruh umat manusia.
Dalam konteks kehidupan bernegara misalnya, konsep kepemimpinan yang terejawantahkan dalam sebuah bentuk pemerintahan yang modern dan demokratis, diharapkan mampu membawa rakyatnya menuju masyarakat sejahtera yang aman, berkeadilan dan tentu saja berke-Tuhanan. Atau dengan kata lain, konsep dan praktik kepemimpinan dalam konteks kenegaraan pada gilirannya diharapkan mampu mewujudkan apa yang disebut sebagai welfare state atau al-madinah al-fadhilah sebagaimana pernah diintrodusir oleh al-Farabi.
Oleh karenanya, untuk merealisasikan hal tersebut penting untuk menjadi dan/atau memilih pemimpin-pemimpin yang kredibel dan berkualitas, yang mampu mengantarkan masyarakat yang dipimpinnya sampai pada tujuan yang berkebahagiaan dan berkemakmuran. Menurut Al-Farabi, pemimpin yang dapat mewujudkan hal itu adalah pemimpin yang memiliki karakter seperti halnya Nabi dan para filsuf. Karakter itu antara lain: adil, shiddiq, amanah, fathanah, tabligh, mampu berjihad dan berijtihad, peduli terhadap rakyat kecil dan lain-lain.
Agak berbeda dengan pandangan Al-Farabi, penulis memiliki pandangan tersendiri tentang karakter sosok pemimpin yang ideal. Ada beberapa kriteria yang dapat dijadikan sebagai indikator bahwa calon pemimpin tersebut ideal, kredibel dan berkualitas. Penulis sengaja mengambil beberapa indikator yang diderivasi dan dimodifikasi secara filosofis dari ilmu sharaf dengan kombinasi filsafat bahasa Jawa.
Di dalam bahasa Arab selain kata imam dan sulthan, pemimpin juga disebut dengan menggunakan kata Maalik, Malik atau Mulk yang berasal dari wazan atau kata dasar ma la ka yang berarti Pemimpin, Penguasa, Raja, Presiden, atau Kerajaan dan yang semisal dengan itu.
Misalnya dalam al-Quran ada beberapa ayat
yang menunjukkan makna kata tersebut, antara lain ayat yang berbunyi: ”Maaliki yaumid
dîn.” Penguasa Hari Pembalasan (QS. Al-Fatihah: 4). ”Malikin Naas” .Rajanya
Umat Manusia (QS: An-Naas: 2).
Dalam surat Ali Imran (26) disebutkan, ”Katakanlah: "Wahai Tuhan Yang mempunyai kerajaan (Mulk), Engkau berikan kerajaan kepada orang yang Engkau kehendaki dan Engkau cabut kerajaan dari orang yang Engkau kehendaki. Engkau muliakan orang yang Engkau kehendaki dan Engkau hinakan orang yang Engkau kehendaki. Di tangan Engkaulah segala kebajikan. Sesungguhnya Engkau Maha Kuasa atas segala sesuatu.”
Sehingga, jika sighat tersebut dikombinasikan dengan falsafah bahasa Jawa yang se-wazan dengan kata ma la ka, penulis menemukan bahwa seorang pemimpin atau Mâlik itu haruslah memiliki beberapa sifat pinilih berikut, antara lain:
Melek, selain berarti melek dalam makna leterlijk sebagaimana pernah dicontohkan oleh Khalifah Umar bin Khattab r.a yang selalu blusukan di malam hari melihat kondisi riil rakyatnya, dalam hal ini melek juga berarti seorang pemimpin harus tahu dan mengerti betul kondisi dan problem yang dihadapi rakyatnya, sehingga ia mampu mencarikan solusi yang efektif dan presisif;
Milik, yang berarti seorang pemimpin harus benar-benar merasa memiliki tumpah darah dan rakyatnya. Jika sudah memiliki kesadaran akan hal itu, maka seorang pemimpin harus habis-habisan dalam menjaga keutuhan tanah airnya, demikian pula dengan harta-benda; harkat-martabat; bahkan nyawa rakyat yang dipimpinnya.
Muluk, dalam bahasa Jawa sehari-hari ia berarti gerakan ‘mengangkat’ makanan dengan menggunakan ‘tangan kosong’ yang bertujuan memenuhi salah satu kebutuhan hidup manusia yang paling vital, yaitu makan. Sehingga secara filosofis, muluk berarti seorang pemimpin haruslah mampu mengentaskan rakyatnya dari kemiskinan dan penderitaan menuju kesejahteraan yang utama; serta dari kebodohan dan keterbelakangan menuju pijar keberadaban yang mulia. Lebih dari itu ia juga harus mampu mengangkat derajat dan martabat bangsanya di mata bangsa-bangsa lain di dunia;
Melok, artinya bahwa seorang pemimpin haruslah mampu menyuarakan, mengikuti dan merealisasikan aspirasi rakyat yang dipimpinnya. Hal ini sebangun dengan filosofi kepemimpinan Ki Hajar Dewantoro bahwa ing ngarso sung tulodho, ing madyo mangun karso, tutwuri handayani, bahwa seorang pemimpin haruslah mampu menjadi tauladan yang baik, bahu-membahu bersama yang dipimpinnya membangun karsa, serta mampu menyerap, mengimbangi dan mewujudkan aspirasi yang dipimpinnya;
Serta, Meluk yang artinya seorang pemimpin haruslah memiliki perasaan dan perilaku cinta-kasih yang tulus-mendalam terhadap rakyatnya, serta mampu menghadirkan rasa nyaman, aman dan tenteram bagi mereka, bagaimanapun caranya. Seperti yang pernah ditandaskan oleh Nabi Muhammad s.a.w bahwa ia adalah cinta-kasih yang ‘dihadiahkan’ oleh Allah s.w.t untuk semesta.
Selain kriteria-kriteria yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin sebagaimana telah disebutkan, setidak-tidaknya ada 3 (tiga) hal yang tidak boleh ada dalam diri seorang pemimpin yang juga diderivasi dari wazan kata ma la ka versi Jawa, yaitu:
Molak-malik, yang berarti seorang pemimpin tidak boleh mencla-mencle, inkonsisten dan tidak tepat janji; Muluk-muluk, terlalu berlebihan dalam segala hal, tidak bisa mensinkronkan antara idealitas dan realitas; dan yang terakhir adalah, Malak, artinya bahwa seorang pemimpin harus terhindar dari sikap mental koruptif, tidak boleh merampok harta Negara dan rakyatnya, atau dalam tataran yang paling sederhana, tidak mengambil sesuatu yang bukan menjadi haknya.
Di samping itu, tidak seharusnya juga kita memilih pemimpin hanya berdasarkan molek-nya praupan serta dunyo-brono dari si calon pemimpin. Artinya, jangan memilih hanya karena bagusnya tampang dan besarnya mahar yang bisa ia berikan atau bahkan hanya ia janjikan.
Oleh karena itu, sebagai rakyat yang mendamba pemimpin dan kepemimpinan yang pinilih, setidak-tidaknya kriteria-kriteria di atas dapat kita jadikan sebagai tolok ukur untuk memilih penguasa yang akan memimpin kita semua, mulai dari tingkatan yang paling kecil nan sederhana sampai dengan yang paling besar dan penuh kompleksitas. Jika penguasa yang memimpin kita adalah orang-orang yang melek, muluk, milik, melok dan meluk serta tidak suka muluk-muluk, molak-malik, dan malak, ditambah lagi kita memilihnya tidak berdasarkan molek-nya saja, niscaya target kepemimpinan untuk mengantarkan rakyat sejahtera dunia tembus akhirat akan tercapai.
Inilah yang penulis maksud sebagai pemimpin setengah malaikat. Perlu diketahui, kata ‘malaikat’ juga berasal dari wazan yang sama dengan kata ma la ka dan kata-kata dalam bahasa Jawa sebagaimana telah diuraikan sebelumnya. Nilai filosofis dari sebutan ‘malaikat’ adalah bahwa ia merupakan makhluk yang diberi ‘kuasa’ oleh Allah s.w.t untuk menjalankan tugas dalam bidang tertentu dan yang terpenting ia tidak pernah mengecewakan apalagi mengkhianati Sang Pemberi Mandat. Sehingga, spirit kepemimpinan setengah malaikat dalam timbangan ilmu sharaf dan falsafah Jawa tersebut adalah spirit kepemimpinan yang tidak akan mengecewakan apalagi mengkhianati konsensus cita dan cinta dari yang memberi mandat, yakni rakyatnya. Wa Allahu ‘alamu bi al-shawwab.
* Penulis adalah Kepala Madrasah Diniyah
Al-Muniroh Ujungpangkah, Gresik, Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar