Khilafah HTI, Benarkah
Khilafah Sunni?
Oleh: A. Biyadi
Siapa yang tidak ingin Islam kembali jaya
seperti pada masa-masa keemasan Islam. Ilmu agama tersebar ke seluruh penjuru,
dipimpin oleh satu pimpinan yang adil dan sanggup menjalankan syariat Islam
secara total. Itu adalah cita-cita seluruh umat Islam di dunia.
Kemudian, Hizbut Tahrir yang didirikan pada tahun 1953 oleh Taqiyuddin an-Nabhani, datang dan mengusung dakwah penegakan khilafah yang dipimpin khalifah tunggal di muka bumi. Dia menawarkan konsep yang telah ia susun tentang khilafah dan pemerintahan Islam. Menurutnya, kelemahan Islam saat ini lebih disebabkan oleh tidak adanya khlilafah yang memimpin seluruh umat Islam di dunia.
Hizbut Tahrir telah menyusun konsep khilafah dengan sangat rinci. Banyak poin-poin yang jarang menjadi pembahasan dalam konsep Ahlusunah diatur oleh mereka, seperti struktur kepemerintahan yang terdiri atas 13 jihaz (jabatan) dan pembatasan calon khilafah (maksimal enam orang). Mereka melandaskan aturan-aturan itu pada fakta historis dan apa yang dilakukan oleh Nabi SAW dan para Khulafaur-Rasyidin.
Jumlah enam itu diambil karena calon yang
ditetapkan oleh Sayidina Umar r.a hanya berjumlah enam orang. Namun apakah hal
itu menjadi suatu aturan yang harus ditetapkan? Dan bila tidak, apakah
pemerintahnya tidak dianggap sama sekali? Ataukah itu hanya konsep ideal yang
tidak menutup terjadinya realita berbeda sehingga pemerintahnya tetap sah?
Sebenarnya memang ada perbedaan antara konsep khilafah HT dan Ahlusunah. Perbedaan ini berawal dari perbedaan sudut pandang mengenai apakah konsep itu merupakan harga mati ataukah sebuah konsep ideal. Untuk itu, berikut penulis tampilkan beberapa di antaranya:
Pertama, mereka menyebutkan dalam kitab Ajhizatu Daulatil-Khilafah, hal 60, “Kaum Muslimin di seluruh dunia wajib berada dalam satu negara dan wajib pula hanya ada satu khalifah bagi mereka. Secara syariat, kaum Muslimin di seluruh dunia haram memiliki lebih dari satu negara dan lebih dari seorang khalifah.”
Menurut mereka, khalifah di muka bumi harus
satu orang, dan itu harga mati. Jika khilafah telah ditegakkan di suatu daerah,
maka seluruh umat Islam di dunia harus tunduk dan patuh kepadanya.
Memang pendapat jumhur (mayoritas) ulama Sunni menyatakan bahwa imam tidak boleh lebih dari satu dalam satu masa. Namun Imam al-Haramain dan Imam al-Juwaini serta sebagian ulama Syafi’iyah dan Malikiyah memperbolehkan dilantiknya imam lebih dari satu bila memang tidak memungkinkan.
Untuk saat ini, penegakan imam tunggal di muka bumi sangatlah sulit untuk diwujudkan mengingat umat Islam telah terkotak-kotak di negara yang berbeda-beda. Tentu saja perdebatan tentang penegakan khilafah sentral akan sangat alot. Bahkan bisa jadi sebelum khilafah itu tegak, perang saudara justru akan meledak. Di situlah Ahlusunah melihat kenyataan. Pesimis? Bukan, tapi realistis. Melihat realita yang ada, bangunan Islam di Indonesia tetap kita sempurnakan, bukannya merombak dan membangunnya dari awal lagi.
Kedua, dalam Nidzamul-Islam, hal 151, ad-Daulah Islamiyah, hal 304, dan Nidzamul-Hukmi fil-Islam, hal 110, tentang hal-hal yang melengserkan khalifah seketika itu. Di antaranya adalah “fasik yang terang-terangan”.
Pendapat ini jelas berbeda dengan Ahlusunah.
Ulama Ahlusunah menetapkan bahwa seorang khalifah tidak dapat dilengserkan
sebab ia fasik. Imam Nawawi menjelaskan, “Ahlusunah menyepakati bahwa seorang
sultan tidak dilengserkan karena perbuatan fasik yang dilakukan olehnya.” Pendapat
ini juga searah dengan Hadis Nabi SAW, “(Kita diperintahkan juga agar) Tidak
memberontak terhadap para penguasa kecuali jika kalian melihatnya melakukan
kekufuran yang jelas.” (HR. al-Bukhari dan Muslim). Dan Hadis, “Barang siapa
yang membenci dari amirnya hendaknya ia bersabar atasnya, karena tidak
seorangpun membangkang terhadap seorang sultan kemudaian mati dalam keadaan
seperti itu maka ia mati jahiliyah.” (HR. Muslim). Dampaknya, jika khalifah itu
tak lagi dianggap otomatis, dia sudah tidak lagi wajib ditaati dan wajib
mengangkat khalifah baru lagi.
Ketiga, tentang darul-islam. Mereka menyebutkan dalam Hizbut-Tahrir, hal 5, “Umat Islam sejak runtuhnya khilafah, mereka hidup tanpa daerah Islam dan tanpa hukum Islam.” Juga pada halalaman 29 dalam Manhaj Hizbit-Tahrir, hal 5 dan 8, “Dan di negeri-negeri kaum Muslimin sekarang tidak satu negeri atau pemerintahan yang mempratikkan hukum-hukum Islam dalam hal hukum dan urusan kehidupan, karena itulah semuanya terhitung darul-kufri meskipun penduduknya adalah Muslimin.”
Menurut Imam ar-Rafi’i dan beberapa ulama lain dengan mengutip pendapat kalangan Syafi’iyah, darul-islam ada tiga macam. Pertama, tempat bermukin para Muslimin. Kedua, daerah yang ditaklukan oleh umat Islam. Ketiga, tempat yang ditinggali umat Islam tapi kemudian dikuasai oleh orang-orang kafir.
Memang mayoritas ulama Sunni menyatakan bahwa
daerah-daerah yang pernah dikuasai oleh kaum Muslimin tapi kemudian dikuasai
orang-orang kafir, daerah itu tetap disebut darul-islam.
Keempat, kewajiban berbaiat. Mereka menyebutkan, “Baiat adalah kewajiban umat Islam.” (Nidzamul-Hukmi fil-Islam, hal 65). Mereka mengambil dasar dari sebuah Hadis Ibnu Umar r.a, “Dan, barang siapa yang mati tanpa baiat di lehernya, maka dia mati jahiliah.” (HR. Muslim). Pada halaman 67, mereka juga menjelaskan, “Baiat itu dengan berjabat tangan atau dengan penulisan.”
Hadis di atas sebenarnya terpotong. Ada kutipan sebelumnya yang berbunyi, “Barang siapa yang melapas tangan dari ketaatan, maka dia akan bertemu Allah di hari kiamat tanpa ada hujjah baginya.” Maka, kutipan Hadis di atas sebenarnya diarahkan kepada mereka yang keluar dari ketaatan terhadap seorang imam. Itu artinya, mati jahiliyah yang dimaksud bukan diarahkan kepada orang yang tidak berbaiat kepada seorangan khalifah, melainkan kepada orang yang keluar dari ketaatan dan memisahkan diri dari jamaah.
Hal ini diperkuat dengan Hadis Ibnu Abbas r.a, “Barang siapa yang membenci sesuatu dari pemimpinnya maka hendaknya dia bersabar, karena siapapun yang keluar sejengkal dari (ketaatan terhadap) pemimpinnya dan mati dalam keadaan itu maka dia mati jahiliyah.” (HR. al-Bukhari). Kata ‘fatama ‘alaihi’ (kemudian mati dalam keadaan itu [keluar dari ketaatan]) dalam Hadis tersebut menunjukkan bahwa yang dimaksud adalah orang yang membangkan terhadap imam. Dan juga Hadis Abi Hurairah r.a, “Barang siapa yang keluar dari ketaatan dan memisah dari jamaah kemudian mati, maka dia mati jahiliyah.” (HR. Muslim).
Walhasil, konsep khilafah Hizbit Tahrir memang lebih kaku dari konsep Ahlusunah. Ahlusunah memiliki konsep ideal tapi juga bisa menjadi longgar. Dengan khilafiyah furu’iyah yang beragam, dapat menjadi solusi jika memang relita yang ada tidak memungkinkan.
Terlepas dari itu semua, coba Anda bayangkan jika konsep khilafah ditegakkan namun dengan akidah mereka, maka bisa jadi setelah khilafah tegak, mereka akan menemukan umat yang tak sepaham dengan mereka. Ingat! Taqiyuddin an-Nabhani dengan tegas menyatakan bahwa Ahlusunah hakikatnya adalah Jabariyah (As-Syakhshiyah al-Islamiyah, juz I, hal, 53-54). Hal itu bukan berarti kita tidak berusaha untuk merealisasikan penerapan ajaran Islam secara sempurna. Namun, yang jelas kita berusaha untuk syariat Islam ala Ahlusunah.dengan akidah Ahlusunah dan tentu saja cara yang sesuai dengan Ahlusunah. Wallahu a’lam. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar