Bambang Soesatyo
Wakil Ketua Umum Kadin Indonesia/
Presidium Kahmi Pusat 2012-2017
Hampir semua kebutuhan pokok rakyat berada
dalam kendali pemerintah. Artinya, pemerintah yang paling tahu tentang
keseimbangan antara permintaan dan penawaran atas semua komoditi kebutuhan
pokok rakyat. Maka, pemerintah dan institusi penegak hukum selayaknya all out
memerangi praktik dan peran kartel dalam pengelolaan aneka kebutuhan pokok
rakyat
Awal 2013 yang sarat heboh, tapi juga
menyesakan. Dua nama besar dari panggung politik nasional harus menjalani
proses hukum di Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Praktis selama
Januari-Februari 2013, ruang publik silih berganti dijejali oleh serangkaian
letupan peristiwa politik yang dipicu langkah penegak hukum melanjutkan perang
terhadap korupsi. Kinerja KPK patut diapresiasi dan didukung. Dalam konteks
penegakan hukum dan pemberantasan korupsi, apa yang terjadi sepanjang
Januari-Februari 2013 cukup produkif.
Namun, dalam konteks ekonomi rakyat
kebanyakan, dua bulan yang sarat heboh itu sama sekali tidak menyelesaikan
persoalan mereka. Ketika para ahli hukum dan politisi menggelar debat tentang
politik dan pemberantasan korupsi, jutaan ibu rumah tangga sedang berkeluh
kesah karena harga aneka kebutuhan pokok terus merangkak naik. Harga daging
bahkan sudah sulit dijangkau keluarga kebanyakan. Dan, nyaris tak ada elit yang
peduli dengan kecenderungan itu.
Barulah ketika terungkap praktik suap dalam
impor daging sapi, persoalan ekonomi rakyat mulai mendapatkan sedikit
perhatian. Beberapa kalangan mulai mencaritahu sebab musabab tingginya harga
daging sapi. Dari upaya itu, munculah dugaan adanya praktik kartel dalam
pelaksanaan impor daging sapi.
Bulan Juli 2012, warga kebanyakan juga dibuat
gelisah akibat kelangkaan dan tingginya harga kedelai. Belakangan, diketahui
bahwa kelangkaan itu disebabkan ulah kartel. Harga kedelai yang begitu mahal
saat itu menyebabkan produsen tahu tempe mogok produksi. Berarti, dalam rentang
waktu sekitar enam bulan terakhir, sudah dua kali rakyat kebanyakan teraniaya;
oleh kartel kedelai dan oleh kartel daging sapi.
Persoalan yang nyaris sama akan berulang,
ketika masyarakat mulai melakukan persiapan menyongsong hari raya keagamaan,
khususnya menjelang dan selama bulan suci Ramadhan hingga lebaran. Harga aneka
kebutuhan pokok akan melonjak, dengan lompatan yang seringkali sangat tidak
wajar. Untuk membangun pengertian masyarakat, regulator atau institusi
pemerintah akan muncul dengan beragam alasan. Padahal, dibalik semua
itu,terkandung kepentingan oknum regulator dan para pengusaha anggota
kartel.
Dalam Pasal 11 undang-undang (UU) No.5/1999
tentang antimonopoli dan persaingan usaha tidak sehat, kartel dilarang karena
menerapkan mekanisme perdagangan yang tidak sehat. Kartel secara umum dimaknai
sebagai monopoli oleh sekelompok orang untuk mengatur produksi atau pengadaan
barang, sekaligus menetapkan harganya.
Selama ini, praktik dan peran kartel dibalik
pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat lolos dari perhatian penegak hukum.
Padahal, kartel terbentuk karena oknum pemerintah atau regulator berperilaku
korup. Selalu ada kartel untuk setiap komoditi kebutuhan rakyat. Ada kartel
beras, kartel gula, kartel daging, kartel Migas hingga kartel kedelai.
Bekerjasama dengan oknum di kementerian,
anggota kartel dalam praktiknya sering menunggangi masalah ketidakseimbangan
permintaan dan penawaran. Bahkan, ketidakseimbangan antara permintaan dan
penawaran itu tak jarang merupakan hasil rekayasa kartel dengan oknum
kementerian.
Pada kasus ketidakseimbangan antara
permintaan dan penawaran daging sapi di pasar dalam negeri akhir-akhir ini,
nuansa rekayasa itu sangat terasa. Pasokan dalam negeri nyata-nyata tidak
mencukupi permintaan, tetapi kuota impor justru diturunkan. Terjadi kelangkaan,
dan harga daging sapi pun melonjak.
Melindungi Rakyat
Praktik kartel di Indonesia terbilang marak
karena sistem hukum yang berlaku sekarang belum mampu menangkal praktik ini.
Kelompok yang terbukti mempraktikan kartel hanya didenda maksimal Rp 25 miliar,
sementara keuntungan yang diperoleh sudah mencapai ratusan miliar bahkan
triliunan rupiah.
Walaupun sulit dicegah, pemerintah dan
institusi penegak hukum selayaknya all out mengeliminasi praktik kartel dalam
pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat. Setelah kedelai dan kini persoalan
daging sapi, entah gejolak harga apa lagi yang akan terjadi di waktu mendatang.
Namun, bisa dipastikan bahwa gejolak harga kebutuhan pokok akan terjadi jelang
bulan Ramadhan.
Padahal, hampir semua komoditi kebutuhan
pokok rakyat berada dalam kendali pemerintah. Artinya, pemerintah yang paling
tahu tentang keseimbangan antara permintaan dan penawaran atas semua komoditi
kebutuhan pokok rakyat. Dan, untuk menutupi kekurangan produksi di dalam
negeri, Pemerintah pula yang paling paham kapan waktunya merealisasikan impor
komoditi tertentu dan besaran volume impornya.
Dengan demikian, kemampuan pemerintah
mencegah praktik kartel dalam mengelola keseimbangan antara permintaan dan
penawaran komoditi kebutuhan pokok rakyat sangat memadai alias tidak
sulit-sulit amat. Persoalannya adalah adakah moral untuk peduli pada
kepentingan dan kenyamanan rakyat kebanyakan? Mengeliminasi praktik kartel
adalah tindakan nyata melindungi rakyat sebagai konsumen.
Masyarakat sudah berkali-kali dihadapkan pada
gejolak harga aneka kebutuhan pokok yang biasanya didahului dengan kasus
kelangkaan komoditi tertentu. Kini, sudah tercium adanya praktik kartel dibalik
serangkaian gejolak harga itu.
Belajar dari serangkaian pengalaman buruk
itu, cukup alasan bagi KPK untuk menyelidiki peran oknum pemerintah yang
membuka akses bagi keterlibatan kartel dalam pengelolaan kebutuhan pokok
rakyat. Dan, Kementerian Perdagangan sebagai regulator tata niaga impor harus
terbuka untuk bekerja sama dengan KPK. Bagaimana pun, pemberian
kuasa impor kedelai kepada segelintir orang misalnya, tidak bisa
dilepaskan dari peran oknum pemerintah. Sebab, kepada siapa saja izin impor
kedelai diberikan hanya ditentukan oleh pemerintah, khususnya Kementerian
Perdagangan.
Karena itu, menjadi langkah yang sangat
strategis jika KPK mulai mendalami dan membongkar praktik kartel dalam
pengelolaan aneka kebutuhan pokok rakyat. Terkuaknya kasus dugaan suap dalam
pembagian jatah kuota impor daging sapi seharusnya dijadikan momentum
sekaligus entry point bagi KPK untuk mulai membongkar praktik kartel yang
'dipelihara' oleh beberapa kementerian.
Kartel eksis karena adanya konspirasi antara
segelintir oknum pengusaha dengan oknum di sejumlah kementerian yang digoda
untuk menyalahgunakan kekuasaan dan wewenangnya. Masalahnya, karena yang dikelola
adalah sejumlah komoditi kebutuhan rakyat, tentu saja rakyat kebanyakan yang
paling menderita akibat rekayasa ketidakseimbangan antara pemintaan dan
penawaran itu.
Pada kasus kelangkaan kedelai bulan Juli
2012, Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) sempat mengeluarkan ancaman dan
juga perintah kepada penegak hukum untuk menindak praktik kartel dalam impor
kedelai. Namun, penyelidikan terhadap praktik kartel dalam impor kedelai
nampaknya tak pernah dilakukan, karena isu tentang kartel kedelai lenyap begitu
saja hingga kini.
Ketika memberi pengarahan pada sidang Kabinet
Paripurna di Jakarta, Senin (18/2) lalu, presiden menegaskan,”Harga-harga
Sembako (sembilan bahan pokok) mengalami kenaikan kurang wajar.” Presiden
pun menunjuk tingginya harga daging sapi dan lonjakan harga bawang
putih.
Apa yang dikemukakan Presiden SBY itu adalah
keluhan rakyat. Idealnya, semua kementerian terkait bekerja ekstra keras untuk
meredam gejolak harga. Dan, jika terbukti ada peran kartel di belakangnya,
sistem dan mekanisme hukum harus memberikan respons yang tegas. []
Sent from my BlackBerry® smartphone from
Sinyal Bagus XL, Nyambung Teruuusss...!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar