Shalat Sunnah yang Tidak
Disyariatkan (Ghairu Masyruah)
Pada dasarnya shalat sunnah (nawafil) sangat
dianjurkan dalam Islam, karena sebagain ulama meng-qiyaskan shalat sunnah
sebagai ‘suplemen’ bagi shalat wajib (maktubah) yang berlaku sebagai makanan
pokok yang mengandung, vitamin, mineral serta zat-zat lain agar tetap sehat dan
bugar.
Sebagain ulama mengkategorikan ragam shalat
sunnah menjadi dua, yaitu pertama Shalat sunnah yang mengiringi sholat fardu
(shalat suannah Rawatib), terdiri dari Shalat Sunnah Qabliyah dan Shalat Sunnah
Ba’diyah. Dan kedua, Shalat sunnah yang tidak mengiringi shalat fardhu yang
muakkad (shalat sunnah muakkadah ) yaitu shalat tahajjud, shalat tahiyyatul
masjid, shalat taubat, shalat lidaf’il bala’, shalat tasbih, shalat hajat,
shalat tahjjud, shalat istikharah, shalat tarawih, shalat dhuha, shalat
awwabin, shalat ba’ada akad nikah, shalat qudum, shalat sunnah muthlaq, shalat
witir, dan masih banyak lainnya.
Namun sebagai agama yang membumi di
Nusantara, Islam tidak bisa menampik pengaruh dari masyarakat pribumi yang
memeluk Islam dengan karakter ke-indonesiaan yang warna-warni. Sehingga Islam
di Nusantara sangat beragam sesuai dengan norma lokalitas yang berlaku. Hal ini
tidak hanya berpengaruh pada sisi muamalah tetapi juga sisi ubudiah. Terbukti
dengan adanya berbagai jenis shalat sunnah yang bernuansa lokal seperti Shalat
Sunnah Rebo Wekasan, Shalat Sunnah Nishfu Sya’ban, Shalat Sunnah Hadiah, Shalat
Sunnah Birul Walidain dan lain sebagainya.
Mengenai hal ini perlu adanya pelurusan dan
tabayyun, agar tidak menjadi sumber fitnah saling mem-bid’ahkan. Karena
sesungguhnya berbagai macam shalat sunnah yang bernuansa lokal itu adalah
shalat sunnah muakkadah yang dilakukan pada waktu tertentu.
Dengan demikian isitilah shalat rebo wekasan
sebenarnya menunjuk pada shalat hajat atau shalat sunnah muthlaq, tetapi
dilakukan pada malam rabu wekasan dengan memfokuskan do’a terhindar dari bala’.
Begitu juga dengan Shalat Nishfu Sya’ban,
sesungguhnya yang terjadi adalah shalat sunnah hajat ataupun shalat sunnah
muthlaq yang dilakukan pada malam paroh bulan sya’ban yang dilengkapi dengan
do’a khusus memohon petunjuk kepada Allah swt. Dan begitu juga dengan shalat
ssunnah hadiyah untuk mayit, yang sebenarnya merupakan shalat hajat yang
memohonkan ampun atas dosa-dosa mayit yang baru dikubur.
Namun demikian sebagian ulama ahli hikmah
atau ahli kasyf dengan keyakinan dan pengetahuan yang dimilikinya tetap menjadikan
beberapa shalat sunnah yang bernuansa lokal itu sebagai bagain dari unsur
ubudiyah dalam Islam.
Oleh karena itu, Hadratusy Syaikh Hasyim
Asy’ari rahimahullah, mengelompokkan semua macam shalat sunnah (yang bernuansa
lokal itu) itu ke kelompok shalat ghairu masyru’ah fis syar’i. yaitu shalat
yang tidak dianjurkan oleh syari’at. Wallahu a’lam. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar