Problem Pedet di Lobi Hotel
Harga jual pedet (anak sapi) Rp 5 juta per
ekor. Untuk menghasilkan satu pedet, seorang peternak menghabiskan uang Rp 9
juta.
Jelaslah: Mana ada
petani yang mau memproduksi pedet. Kalau toh di desa-desa kini masih ada orang yang
memelihara sapi, itu karena mereka tidak menghitung biaya pakan dan biaya
tenaga kerja.
Dua tahun lamanya
menghasilkan satu pedet. Dua tahun lamanya petani bekerja mencari rumput serta
menjaga dan memandikan sapi, hasilnya sebuah kerugian Rp 4 juta per pedet.
Itulah akar paling
dalam mengapa kita kekurangan sapi dan akhirnya harus impor daging sapi setiap
tahun. Kesimpulan itu saya peroleh ketika saya mengundang profesor dan ahli
peternakan dari berbagai perguruan tinggi pekan lalu: UGM, Undip, Unsoed,
Unhas, Universitas Jambi, dan Universitas Udayana. Juga pakar dari LIPI.
Di forum itu juga
saya undang praktisi peternak sapi, lembaga-lembaga riset, dan pejabat
Kementerian Pertanian. Dengan kesimpulan itu, saya harus mengakui bahwa program
yang saya canangkan tahun lalu belum menjadi senjata pamungkas untuk mengatasi
kekurangan daging sapi. Tapi, tanpa program itu, saya tidak akan bisa belajar
banyak mengenai inti persoalan selama ini.
Orang memang perlu
kebentur tebing untuk bisa belajar yang mendasar. BUMN benar-benar kebentur
tebing ketika mencanangkan program Sasa (sapi-sawit) tahun lalu.
Waktu itu saya
setengah memaksa agar perusahaan-perusahaan perkebunan sawit milik BUMN ikut
memelihara sapi. Membantu program Kementerian Pertanian. Saya minta setidaknya
100.000 sapi digemukkan di perkebunan sawit di Sumatera.
Selama ini, yang saya
tahu, peternak sapi kurang bergairah karena harga pakan yang mahal. Problem
makanan ternak yang mahal itu teratasi di perkebunan sawit karena sapi bisa diberi
makan daun sawit. Gratis.
Setelah program Sasa
itu mulai dijalankan, barulah ketahuan: Ada problem yang lebih mendasar. Sulit
mencari pedet yang akan digemukkan di kebun-kebun sawit itu.
Semula saya mengira
teman-teman BUMN perkebunan merasa setengah hati. Merasa dipaksa. Merasa diberi
beban tambahan. Tapi, saya tidak peduli dengan perasaan itu. Yang jelas, saya
kecewa, mengapa program 100.000 sapi itu hanya mencapai 20.000.
Tapi, saya harus
realistis. Ternyata bukan karena mereka setengah hati. Ternyata karena tidak
mudah mencari anak sapi. Membeli 100.000 pedet, biarpun punya uang, ibarat
mencari penari gangnam di kalangan penari dangdut.
Bahkan, membeli hanya
20.000 pedet itu pun sudah dianggap mengguncangkan. Harga pasar pedet naik.
Peternak kecil yang berbisnis penggemukan sapi merasa dirugikan.
Maka para ahli yang
hadir dalam diskusi itu; di antaranya Prof Syamsuddin Hasan (Unhas); Prof
Damriyasa (Udayana); Prof Priyo Bintoro dan Prof Sunarso (Undip); Prof Ali Agus
(UGM); Dr Ahmad Shodiq (Unsoed); Dr Saitul Fakhri (Universitas Jambi); serta Dr
Bess Tiesnamurti, Prof Syamsul Bahri, Prof Kusuma Dwiyanto, dan Ir Abu Bakar
(keempatnya dari Kementan); sepakat minta BUMN tidak hanya fokus menggemukkan
sapi, tapi juga memproduksi pedet.
Para praktisi
peternakan sapi dari berbagai daerah yang hadir juga menyuarakan hal sama. Yang
diharapkan bukan BUMN yang membeli pedet peternak, tapi peternak membeli pedet
dari BUMN.
Memang juga banyak
data yang dipersoalkan hari itu. Terutama data jumlah sapi yang selama ini
dianggap benar: 14 juta. Kalau angka itu benar, mestinya impor daging tidak
diperlukan lagi.
Demikian juga data
produksi dan penyaluran sperma beku untuk perkawinan/pembuahan buatan. Kalau
benar data yang terpublikasikan selama ini, mestinya tidak akan kekurangan
pedet. Kalaupun perkawinan buatan itu hanya berhasil 60 persennya (teorinya
sampai 80 persen), mestinya ada 1,5 juta pedet yang lahir setiap tahun.
Dari diskusi yang
intensif tersebut, BUMN harus mau bekerja lebih keras, lebih njelimet, lebih
mendasar, dan lebih susah: memproduksi pedet dari kebun-kebun sawit. Dengan
menggunakan daun sawit yang gratis, biaya “membuat” satu pedet yang mestinya Rp
9 juta per ekor itu bisa ditekan menjadi Rp 4 juta per ekor.
BUMN juga harus lebih
sabar. Kalau menggemukkan sapi sudah bisa menjualnya enam bulan kemudian,
memproduksi pedet baru bisa menghasilkan setelah dua tahun.
Ternyata begitu sulit
mengurus sapi. Lebih enak kalau tinggal makan dagingnya.
Lebih enak lagi kalau
tanpa susah-susah bisa dapat komisi Rp 5.000 per kg daging yang diimpor!
Tidak perlu susah,
tidak perlu mencium bau sapi, tidak perlu mencari rumput, tidak perlu mikir.
Cukup dengan bekerja di lobi hotel dan di kamar hotel, hasilnya langsung nyata!
“Peternak lobi hotel”
seperti itu akan terus tumbuh subur. Impor daging sangat menguntungkan. Harga
daging di luar negeri sangat murah. Menteri Perdagangan Gita Wirjawan pernah
mengatakan, harga daging di Singapura hanya Rp 45.000 per kg. Bandingkan dengan
harga di Jakarta yang Rp 90.000 per kg. Padahal, daging di Singapura itu juga
daging impor.
Proses perizinan
untuk suatu perdagangan yang menghasilkan laba yang begitu besar tentu tidak
sehat. Karena itu, dalam diskusi tersebut kembali dibicarakan ide Dirut PT
Rajawali Nusantara Indonesia (Persero) Ismed Hasan Putro ini: Perusahaan yang
diberi izin impor daging harus menggunakan sebagian labanya untuk memproduksi
pedet di dalam negeri. Entah dengan impor pedet atau impor sapi betina
produktif.
Atau dibalik:
Perusahaan-perusahaan/koperasi /kelompok tani yang selama ini “berkorban” rugi
Rp 4 juta per pedet itulah yang diberi izin untuk impor daging!
Setiap persoalan ada
jalan keluarnya. Setiap masalah ada hikmahnya. Tapi, beternak sapi di lobi
hotel jelas melanggar sunnatullah yang nyata! (*)
Dahlan Iskan, Menteri
BUMN
Sumber:
Tidak ada komentar:
Posting Komentar