Mereka yang Tenggelam dalam
Rasa
Oleh: Ahmad Biyadi
Dunia wali adalah dunia hati. Dunia di mana
orang-orang istimewa dianugerahi kesucian hati yang luar biasa. Ketakwaan,
keimanan, dan kejernihan hati mereka jauh berada di atas pangkat orang biasa.
Hingga meski – secara sepintas – amal ibadah lahir mereka tak seberapa,
nilainya di sisi Allah adalah luar biasa.
Menurut para ulama, wali Allah dalam
capaiannya terhadap wushûl kepada Allah swt dapat dikategorikan menjadi dua
golongan. Pertama, mereka yang mencapai derajat itu dengan tahapan-tahapan
‘normal’, taqarrub dengan ibadah setapak demi setapak, mencari
percikan-percikan qudrah dan irâdah-Nya pada alam semesta, hingga akhirnya
tabir pun dibuka, dan mereka makrifat kepada Allah swt. Kedua, mereka yang
digiring pada jalan yang tak biasa, yang tiba-tiba hati mereka meluap penuh
makrifat, sesuai dengan kehendak-Nya. Merekalah, para wali yang disebut dengan
wali majdzûb.
Berbeda dengan golongan pertama, wali majdzûb
melihat benda sekitar dengan terlebih dahulu melihat sifat dan nama Allah swt
pada benda itu. Mereka lebih dahulu ‘tak sadar’, sebelum kemudian merasakan
alam sekitar. Maka tak heran, bila sebagian mereka berkata, “Kami tak melihat
benda apapun kecuali kami melihat Allah swt sebelumnya.”
Tak hanya itu, saat mereka berada pada
kondisi tak sadar, tak jarang mereka melontarkan kata atau melakukan hal yang
tak normal, yang menurut aturan, itu semua melanggar batas. Kondisi itu dikenal
dengan syathah, yaitu kondisi di mana sang wali lebur dalam rasa keesaan Sang
Pencipta.
Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka,
para wali yang arif itu, telah berada dalam sebuah titik tingkatan di mana tak
ada lagi yang berhak menyandang kata ‘wujud’ selain Allah swt. Hanya di antara
mereka ada yang memahami hal itu sebagai sebuah pengetahuan murni, yang
tertancap dalam hati dan pikiran mereka, yang membuat mereka masih berperilaku
normal sebagaimana orang kebanyakan, namun mereka meyakini dengan penuh
kemantapan bahwa makhluk tidaklah berhak untuk dikatakan ada.
Sebagian wali yang lain memahami titik
tingkatan itu sebagai sebuah rasa yang membuat mereka tenggelam, hingga logika,
pikiran, dan pengetahuan mereka tentang makhluk sirna dibuatnya. Bahkan
pengetahuannya tentang dirinya sendiri pun juga turut larut dalam rasa itu. Sehingga
yang mereka ketahui, bahkan yang mereka rasakan, hanyalah wujud Allah swt.
Mereka mabuk dalam keesaan-Nya, yang membuat mereka tak lagi menguasai logika
dan pikiran mereka.
Kita gambarkan dengan seorang yang sedang
dimabuk cinta terhadap seorang wanita, yang membuatnya tak lagi berperilaku
normal. Setiap saat dia melihat seorang wanita, selalu terbayang akan wajah
wanita yang ia cintai. Dan tiap kali dia mendengar nama si wanita, hatinya
bergetar mengingatnya. Semua tempat selalu membuatnya ingat pada sang kekasih.
Terus dan selalu begitu. Maka, bila cinta terhadap makhluk saja dapat merombak
logika dan pikiran yang membuatnya berperilaku tak normal, maka bagaimanakah
keadaan seseorang yang telah tenggelam dalam keesaan Tuhannya?
Maka dari itu, para ulama memberikan
toleransi hukum bagi mereka para wali yang telah tenggelam dalam rasa itu. Para
wali itu diposisikan sebagai seorang yang terkalahkan akalnya, yang tak dapat
menguasai dirinya, hingga hukumnya pun mereka tidak lagi terbebani taklîf. Mereka
diposisikan sama dengan orang yang hilang akalnya. Maka, di saat mereka
tenggelam dalam rasa itu, kemudian mengucapkan kata-kata murtad, kata-kata itu
tak membuat mereka keluar dari agama Islam. Meskipun hakim boleh menindak
mereka bila menjadi fitnah bagi orang lain, seperti yang terjadi pada Husein
al-Hallaj yang diputuskan untuk dihukum mati oleh para ulama di masanya.
Hanya saja, ketika kata-kata mereka didengar
oleh orang awam. Di sinilah masalah mulai terjadi. Kata-kata para wali itu
adalah kata yang tak boleh ditiru, karena itu timbul dari orang yang tak
menguasai akal dan pikirannya. Oleh karena itu, bila orang awam malah menirukan
kata-kata itu, atau melakukan perilaku nyeleneh itu, mereka akan terkena
konsekwensi dari perkataan itu, hingga mereka akan dihukumi murtad dan keluar
dari Islam. Karena saat mereka mengucapkannya, mereka berada dalam keadaan
terbebani taklîf syariah. Tentu saja, orang yang pura-pura tak sadar hukumnya
pastilah berbeda dengan orang yang benar-benar tak sadar. Seperti halnya orang
yang pura-pura tidur atau lupa, dia tetap dijerat hukum syariat Islam.
Maka begitulah. Derajat wali majdzûb adalah
kedudukan istimewa yang sengaja Allah swt anugerahkan kepada orang-orang yang
Dia kehendaki. Mereka memiliki beberapa toleransi dalam aturan syariat yang
tidak dimiliki oleh orang lain. Mereka diberi ‘jalan pintas’ untuk wushûl
kepada-Nya. Sedangkan orang yang tak dianugerahi derajat itu, mereka seharusnya
tetap menapaki jalan utama, jalan yang juga telah diatur oleh-Nya dalam tatanan
syariat yang jelas dan baku. Bukannya lantas pura-pura majdzûb hanya untuk
kepentingan sementara. Wallahu a’lam. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar