Selasa, 26 Maret 2013

(Ngaji of the Day) Mereka yang Tenggelam dalam Rasa


Mereka yang Tenggelam dalam Rasa

Oleh: Ahmad Biyadi

 

Dunia wali adalah dunia hati. Dunia di mana orang-orang istimewa dianugerahi kesucian hati yang luar biasa. Ketakwaan, keimanan, dan kejernihan hati mereka jauh berada di atas pangkat orang biasa. Hingga meski – secara sepintas – amal ibadah lahir mereka tak seberapa, nilainya di sisi Allah adalah luar biasa.

 

Menurut para ulama, wali Allah dalam capaiannya terhadap wushûl kepada Allah swt dapat dikategorikan menjadi dua golongan. Pertama, mereka yang mencapai derajat itu dengan tahapan-tahapan ‘normal’, taqarrub dengan ibadah setapak demi setapak, mencari percikan-percikan qudrah dan irâdah-Nya pada alam semesta, hingga akhirnya tabir pun dibuka, dan mereka makrifat kepada Allah swt. Kedua, mereka yang digiring pada jalan yang tak biasa, yang tiba-tiba hati mereka meluap penuh makrifat, sesuai dengan kehendak-Nya. Merekalah, para wali yang disebut dengan wali majdzûb.

 

Berbeda dengan golongan pertama, wali majdzûb melihat benda sekitar dengan terlebih dahulu melihat sifat dan nama Allah swt pada benda itu. Mereka lebih dahulu ‘tak sadar’, sebelum kemudian merasakan alam sekitar. Maka tak heran, bila sebagian mereka berkata, “Kami tak melihat benda apapun kecuali kami melihat Allah swt sebelumnya.”

 

Tak hanya itu, saat mereka berada pada kondisi tak sadar, tak jarang mereka melontarkan kata atau melakukan hal yang tak normal, yang menurut aturan, itu semua melanggar batas. Kondisi itu dikenal dengan syathah, yaitu kondisi di mana sang wali lebur dalam rasa keesaan Sang Pencipta.

 

Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa mereka, para wali yang arif itu, telah berada dalam sebuah titik tingkatan di mana tak ada lagi yang berhak menyandang kata ‘wujud’ selain Allah swt. Hanya di antara mereka ada yang memahami hal itu sebagai sebuah pengetahuan murni, yang tertancap dalam hati dan pikiran mereka, yang membuat mereka masih berperilaku normal sebagaimana orang kebanyakan, namun mereka meyakini dengan penuh kemantapan bahwa makhluk tidaklah berhak untuk dikatakan ada.

 

Sebagian wali yang lain memahami titik tingkatan itu sebagai sebuah rasa yang membuat mereka tenggelam, hingga logika, pikiran, dan pengetahuan mereka tentang makhluk sirna dibuatnya. Bahkan pengetahuannya tentang dirinya sendiri pun juga turut larut dalam rasa itu. Sehingga yang mereka ketahui, bahkan yang mereka rasakan, hanyalah wujud Allah swt. Mereka mabuk dalam keesaan-Nya, yang membuat mereka tak lagi menguasai logika dan pikiran mereka.

 

Kita gambarkan dengan seorang yang sedang dimabuk cinta terhadap seorang wanita, yang membuatnya tak lagi berperilaku normal. Setiap saat dia melihat seorang wanita, selalu terbayang akan wajah wanita yang ia cintai. Dan tiap kali dia mendengar nama si wanita, hatinya bergetar mengingatnya. Semua tempat selalu membuatnya ingat pada sang kekasih. Terus dan selalu begitu. Maka, bila cinta terhadap makhluk saja dapat merombak logika dan pikiran yang membuatnya berperilaku tak normal, maka bagaimanakah keadaan seseorang yang telah tenggelam dalam keesaan Tuhannya?

 

Maka dari itu, para ulama memberikan toleransi hukum bagi mereka para wali yang telah tenggelam dalam rasa itu. Para wali itu diposisikan sebagai seorang yang terkalahkan akalnya, yang tak dapat menguasai dirinya, hingga hukumnya pun mereka tidak lagi terbebani taklîf. Mereka diposisikan sama dengan orang yang hilang akalnya. Maka, di saat mereka tenggelam dalam rasa itu, kemudian mengucapkan kata-kata murtad, kata-kata itu tak membuat mereka keluar dari agama Islam. Meskipun hakim boleh menindak mereka bila menjadi fitnah bagi orang lain, seperti yang terjadi pada Husein al-Hallaj yang diputuskan untuk dihukum mati oleh para ulama di masanya.

 

Hanya saja, ketika kata-kata mereka didengar oleh orang awam. Di sinilah masalah mulai terjadi. Kata-kata para wali itu adalah kata yang tak boleh ditiru, karena itu timbul dari orang yang tak menguasai akal dan pikirannya. Oleh karena itu, bila orang awam malah menirukan kata-kata itu, atau melakukan perilaku nyeleneh itu, mereka akan terkena konsekwensi dari perkataan itu, hingga mereka akan dihukumi murtad dan keluar dari Islam. Karena saat mereka mengucapkannya, mereka berada dalam keadaan terbebani taklîf syariah. Tentu saja, orang yang pura-pura tak sadar hukumnya pastilah berbeda dengan orang yang benar-benar tak sadar. Seperti halnya orang yang pura-pura tidur atau lupa, dia tetap dijerat hukum syariat Islam.

 

Maka begitulah. Derajat wali majdzûb adalah kedudukan istimewa yang sengaja Allah swt anugerahkan kepada orang-orang yang Dia kehendaki. Mereka memiliki beberapa toleransi dalam aturan syariat yang tidak dimiliki oleh orang lain. Mereka diberi ‘jalan pintas’ untuk wushûl kepada-Nya. Sedangkan orang yang tak dianugerahi derajat itu, mereka seharusnya tetap menapaki jalan utama, jalan yang juga telah diatur oleh-Nya dalam tatanan syariat yang jelas dan baku. Bukannya lantas pura-pura majdzûb hanya untuk kepentingan sementara. Wallahu a’lam. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar