Kualifikasi Calon Istri
Oleh: Ade Roqib S.
Perkenalan pranikah saat ini sudah tercemari
tradisi kotor orang-orang nonmuslim, sehingga muncul istilah pacaran pranikah
sebagai wahana penjajakan awal. Istilah pacaran yang sebenarnya menjadi
terompet setan dalam mengomando manusia untuk masuk kedalam kubangan dosa zina
dipaksakan untuk masuk menjadi sendi-sendi tradisi pernikahan.
Padahal tradisi merupakan sesuatu yang sangat
sakral dan sulit diubah, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh
masyarakat, sedangkan ajaran Islam bisa dinyatakan sudah kuat jika sudah
mentradisi di tengah masyarakat, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan
dalam keberlangsungan ajran syariat. Maka merupakan langkah bijak ketika ajaran
Islam tidak diposisikan berhadapan dengan tradisi, tetapi justru tradisi harus
dijadikan pintu masuk ajaran Islam.
Berkenaan dengan taaruf pranikah, sejak zaman
Rasulullah saw diberikan pintu kebebasan, namun dengan senantiasa menjaga
garis-garis hukum normatif. Konsepsi tahap pengenalan atau taaruf diatur dalam
etika hukum yang terangkum dalam dua metode sebagai alternatif:
Pertama, proses pengenalan dengan melihat secara
langsung pada kecantikan dan kesuburan fisiknya. Menurut Izzuddin bin
Abdissalam, kesunatan melihat wanita adalah setelah ada maksud untuk menikah
dan ada dugaan kuat bahwa lamarannya akan diterima. Selain itu harus diketahui
bahwa perempuan dimaksud tidak bersuami atau tidak sedang menjalani iddah.
Proses melihat ini juga bisa dilakukan dengan
melihat saudari calon istri, apabila tidak bisa melihat calon istri secara
langsung. Selain itu, proses melihat calon istri bisa dilakukan berkali-kali
sesuai kebutuhan. Hal ini ditujukan agar tingkah laku dan keadaan calon istri
menjadi jelas seutuhnya bagi calon suami.
Metode ini yang telah diajarkan baginda
Rosulullah saw:
Jabir meriwayatkan dari Rasulullah saw
bersabda: “Ketika di antara kalian melamar seorang perempuan, apabila dapat
melihat anggota yang dapat memikat untuk menikahinya maka lakukanlah.” Kemudian
Jabir berkata “Saya pernah melamar seorang pemudi, saya amati dia secara
sembunyi-sembunyi, sampai saya melihat sesuatu yang memotivasi saya untuk
menikahinya, kemudian saya nikahi dia.” (HR. Abu Dawud).
Dari Mughiroh bin Syu’bah, sesungguhnya ia
hendak melamar perempuan, maka Nabi saw bersabda: “Lihatlah dulu padanya, karma
hal itu lebih menjaga dari terjadinya penyesalan di antara kalian berdua” (HR.
Ahmad dan Abu Dawud).
Dari Musa bin Abdillah dari Abi Hamid atau
Hamidah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Ketika kalian melamar perempuan,
maka tidak ada dosa bagi kalian untuk melihatnya kalau hanya bertujuan
melamarnya, sekalipun ia tidak mengetahuinya”. (HR. Ahmad).
Kedua, metode pengenalan dengan sistem
perantara seorang perempuan yang ditugasi meneliti dan mengoreksi keberadaan
wanita pilihannya. Metode ini tidak bisa diwakili dengan teknologi semisal hand
phone dan semacamnya. Metode ini diambil dari peristiwa di zaman Rasulullah
saw:
Anas meriwayatkan, sesungguhnya Nabi saw
pernah menugaskan Umi Salim untuk perempuan, kemudian beliau barsabda:
“Lihatlah urat keting (urat di atas tumit) dan ciumlah dua sisi lehernya”.
Dalam riwayat lain “bau mulutnya”. (HR. Ahmad, ath-Thabari dan al-Baihaqi).
Secara hukum, metode ini juga bisa dilakukan
perempuan terhadap laki-laki pilihannya. Informan yang memberikan informasi
tentang calon suami atau istri hanya diperkenankan memberikan informasi sesuai
kebutuhan, artinya hanya terbatas hal-hal yang ada kaitannya dengan maslahah
pernikahan. Namun begitu, dalam menyampaikan informasi, dia harus menjaga
akurasi berita yang disampaikan tanpa ada yang ditutup-utupi, sekalipun itu
adalah sifat dan tingkah laku yang tidak baik, asalkan tidak sampai mencemarkan
nama baik.
Semua ini dimaksudkan untuk memberi nasihat
yang baik bagi calon suami-istri dan keluarganya, sehingga tidak ada dampak
negatif yang ditimbulkan setelahnya, baik pada diri, anak, istri, harta
kehormatan dan yang lain.
Batasan Melihat Calon Istri
Dalam melihat calon istri tetap ada
batas-batas etika dan norma hukum. Dalam hal ini, para mujtahid banyak yang
berselisih pendapat.
Pertama, melihat sebatas wajah dan kedua
telapak tangan saja. Pendapat ini di setujui oleh mayoritas ulama.
Kedua, Mazhab Hanafi menambahkan bolehnya
melihat kedua tumitnya.
Ketiga, selain bagian-bagian yang terlihat
ketika seorang wanita melakukan aktifitasnya, yaitu wajah, leher, tangan,
tumit, kepala, dan betis. Pendapat ini di pelopori oleh Mazhab Hanbali.
Keempat, bagian selain dua kemaluan. Pendapat
ini dipilih oleh Abu Dawud azh-Zhahiri.
Perbedaan presepsi mereka adalah dalam hal
mengarahkan orientasi anjuran dalam sabda Nabi saw yang telah dikemukakan di
atas. Versi keempat lebih mengarah pada substansi literal ungkapan Nabi saw
yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah ra, ketika menyarankan laki-laki yang akan
menikahi seorang perempuan. Perintah Nabi saw ini memang disikapi oleh banyk
pakar fikih sebagai perintah yang secara substansial tidak mengikat penuh
(jazm), maksudnya perintah sunah.
Bagi versi ketiga, keumuman ungkapan tersebut
dilatar belakangi oleh motif nikah, sehingga implikasi dari anjuran melihat
dimaksudkan sebagai hajat. Dalam hal ini hanya tertentu dalam tujuh anggota
yang nampak saja. Maka batasan tersebut menurut versi ini sebagai bentuk dari
takhshîsh bil-ma‘nâ (penyempitan hukum melalui pendekatan rasionalitas).
Pendapat ini diperkuat dengan apa yang telah
di lakukan Sayyidina Umar ra ketika hendak melamar Umi Kultsum, putri dari
Sayyidina Ali ra. Sayyidina Ali ra menuturkan umurnya yang masih kecil dan
berkata: “Aku takkan pergi membawakannya kepadamu. Jika engkau menerimanya,
maka dia menjadi milikmu (istri).” Kemudian setelah putri Sayyidina Ali
didatangkan, lalu betis kirinya diperlihatkan pada Sayyidina Umar. Dengan hal
ini, putri Sayyidina Ali itu sempat berkata: “Kalau bukan karena engkau Amirul
Mukminin, maka sudah aku congkel kedua matamu”. Perkataan tersebut menunjukkan
bahwa tidak adanya syarat harus minta idzin dari pihak perempuan.
Sementara versi kedua memadukan statemen
baginda Nabi saw tersebut dengan firman Allah swt: “Dan janganlah mereka
menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS.
An-nur: 31). Dan dengan menganalogkan dengan masalah bolehnya membuka wajah dan
kedua telapak tangan perempuan ketika melakukan ihram. Selain itu wajah dan
tangan sudah cukup untuk memberikan kejelasan bentuk fisiknya, karena keduanya
merupakan cermin fisiknya secara keleluruhan.
Waktu Melihat
Persepsi boleh melihat bukan berarti tanpa
batasan dan etika, karena persoalan ini berlatarbelakang tentang urusan
pasangan hidup, maka adanya boleh melihat hanya apabila betul-betul sudah
memiliki rencana menikah. Selain itu hanya ditentukan pada wanita yang ada
harapan menerima pinangannya, tidak sedang dalam ikatan tali pernikahan, serta
tidak sedang menjalani masa iddah.
Adapun momentum yang paling tepat menyleksi
wanita pilihan, sebagaimana dianjurkan baginda Rsulullah saw, ialah ketika
sebelum meminang. Dan etika yang dipakai sebaiknya tidak dilakukan dengan cara
terang-terangan, namun dengan cara yang samara, tanpa sepengetahuan wanita yang
bersangkutan.
Hal ini dilakukan guna menjaga dan
menghormati hargadirinya dan keluarganya. Apabila melihatnya dilakukan setelah
peminangan, maka yang hilang adalah hukum kesunahannya, sedangkan hukum
melihatnya tetap diperbolehkan menurut keterangan dalam kitab Tuhfah. Namun
menurut pendapat yang dipilih Imam ar-Ramli, kesunahannya tidak hilang.
Namun meskipun seorang wanita sudah dipinang,
akan tetapi keberadaannya masih berstatus ajnabiyah (wanita lain) yang tidak
boleh diperlakukan layaknya pasangan suami-istri, seperti berduaan. Ikatan
pinangan hanya perjanjian normatif dan simbolis, sebagai tahap pendekatan awal,
yang kepastiannya hanya setelah prosesi ijab-kabul nikah dilaksanakan. []
Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri,
Pasuruan – Jawa Timur
Tidak ada komentar:
Posting Komentar