Rabu, 20 Maret 2013

(Ngaji of the Day) Kualifikasi Calon Istri


Kualifikasi Calon Istri

Oleh: Ade Roqib S.

 

Perkenalan pranikah saat ini sudah tercemari tradisi kotor orang-orang nonmuslim, sehingga muncul istilah pacaran pranikah sebagai wahana penjajakan awal. Istilah pacaran yang sebenarnya menjadi terompet setan dalam mengomando manusia untuk masuk kedalam kubangan dosa zina dipaksakan untuk masuk menjadi sendi-sendi tradisi pernikahan.

 

Padahal tradisi merupakan sesuatu yang sangat sakral dan sulit diubah, karena tradisi merupakan darah daging dalam tubuh masyarakat, sedangkan ajaran Islam bisa dinyatakan sudah kuat jika sudah mentradisi di tengah masyarakat, sehingga tradisi menjadi sangat menentukan dalam keberlangsungan ajran syariat. Maka merupakan langkah bijak ketika ajaran Islam tidak diposisikan berhadapan dengan tradisi, tetapi justru tradisi harus dijadikan pintu masuk ajaran Islam.

 

Berkenaan dengan taaruf pranikah, sejak zaman Rasulullah saw diberikan pintu kebebasan, namun dengan senantiasa menjaga garis-garis hukum normatif. Konsepsi tahap pengenalan atau taaruf diatur dalam etika hukum yang terangkum dalam dua metode sebagai alternatif:

 

Pertama, proses pengenalan dengan melihat secara langsung pada kecantikan dan kesuburan fisiknya. Menurut Izzuddin bin Abdissalam, kesunatan melihat wanita adalah setelah ada maksud untuk menikah dan ada dugaan kuat bahwa lamarannya akan diterima. Selain itu harus diketahui bahwa perempuan dimaksud tidak bersuami atau tidak sedang menjalani iddah.

 

Proses melihat ini juga bisa dilakukan dengan melihat saudari calon istri, apabila tidak bisa melihat calon istri secara langsung. Selain itu, proses melihat calon istri bisa dilakukan berkali-kali sesuai kebutuhan. Hal ini ditujukan agar tingkah laku dan keadaan calon istri menjadi jelas seutuhnya bagi calon suami.

 

Metode ini yang telah diajarkan baginda Rosulullah saw:

 

Jabir meriwayatkan dari Rasulullah saw bersabda: “Ketika di antara kalian melamar seorang perempuan, apabila dapat melihat anggota yang dapat memikat untuk menikahinya maka lakukanlah.” Kemudian Jabir berkata “Saya pernah melamar seorang pemudi, saya amati dia secara sembunyi-sembunyi, sampai saya melihat sesuatu yang memotivasi saya untuk menikahinya, kemudian saya nikahi dia.” (HR. Abu Dawud).

 

Dari Mughiroh bin Syu’bah, sesungguhnya ia hendak melamar perempuan, maka Nabi saw bersabda: “Lihatlah dulu padanya, karma hal itu lebih menjaga dari terjadinya penyesalan di antara kalian berdua” (HR. Ahmad dan Abu Dawud).

 

Dari Musa bin Abdillah dari Abi Hamid atau Hamidah berkata, Rasulullah saw bersabda, “Ketika kalian melamar perempuan, maka tidak ada dosa bagi kalian untuk melihatnya kalau hanya bertujuan melamarnya, sekalipun ia tidak mengetahuinya”. (HR. Ahmad).

 

Kedua, metode pengenalan dengan sistem perantara seorang perempuan yang ditugasi meneliti dan mengoreksi keberadaan wanita pilihannya. Metode ini tidak bisa diwakili dengan teknologi semisal hand phone dan semacamnya. Metode ini diambil dari peristiwa di zaman Rasulullah saw:

 

Anas meriwayatkan, sesungguhnya Nabi saw pernah menugaskan Umi Salim untuk perempuan, kemudian beliau barsabda: “Lihatlah urat keting (urat di atas tumit) dan ciumlah dua sisi lehernya”. Dalam riwayat lain “bau mulutnya”. (HR. Ahmad, ath-Thabari dan al-Baihaqi).

 

Secara hukum, metode ini juga bisa dilakukan perempuan terhadap laki-laki pilihannya. Informan yang memberikan informasi tentang calon suami atau istri hanya diperkenankan memberikan informasi sesuai kebutuhan, artinya hanya terbatas hal-hal yang ada kaitannya dengan maslahah pernikahan. Namun begitu, dalam menyampaikan informasi, dia harus menjaga akurasi berita yang disampaikan tanpa ada yang ditutup-utupi, sekalipun itu adalah sifat dan tingkah laku yang tidak baik, asalkan tidak sampai mencemarkan nama baik.

 

Semua ini dimaksudkan untuk memberi nasihat yang baik bagi calon suami-istri dan keluarganya, sehingga tidak ada dampak negatif yang ditimbulkan setelahnya, baik pada diri, anak, istri, harta kehormatan dan yang lain.

 

Batasan Melihat Calon Istri

 

Dalam melihat calon istri tetap ada batas-batas etika dan norma hukum. Dalam hal ini, para mujtahid banyak yang berselisih pendapat.

 

Pertama, melihat sebatas wajah dan kedua telapak tangan saja. Pendapat ini di setujui oleh mayoritas ulama.

 

Kedua, Mazhab Hanafi menambahkan bolehnya melihat kedua tumitnya.

 

Ketiga, selain bagian-bagian yang terlihat ketika seorang wanita melakukan aktifitasnya, yaitu wajah, leher, tangan, tumit, kepala, dan betis. Pendapat ini di pelopori oleh Mazhab Hanbali.

 

Keempat, bagian selain dua kemaluan. Pendapat ini dipilih oleh Abu Dawud azh-Zhahiri.

 

Perbedaan presepsi mereka adalah dalam hal mengarahkan orientasi anjuran dalam sabda Nabi saw yang telah dikemukakan di atas. Versi keempat lebih mengarah pada substansi literal ungkapan Nabi saw yang di riwayatkan oleh Abu Hurairah ra, ketika menyarankan laki-laki yang akan menikahi seorang perempuan. Perintah Nabi saw ini memang disikapi oleh banyk pakar fikih sebagai perintah yang secara substansial tidak mengikat penuh (jazm), maksudnya perintah sunah.

 

Bagi versi ketiga, keumuman ungkapan tersebut dilatar belakangi oleh motif nikah, sehingga implikasi dari anjuran melihat dimaksudkan sebagai hajat. Dalam hal ini hanya tertentu dalam tujuh anggota yang nampak saja. Maka batasan tersebut menurut versi ini sebagai bentuk dari takhshîsh bil-ma‘nâ (penyempitan hukum melalui pendekatan rasionalitas).

 

Pendapat ini diperkuat dengan apa yang telah di lakukan Sayyidina Umar ra ketika hendak melamar Umi Kultsum, putri dari Sayyidina Ali ra. Sayyidina Ali ra menuturkan umurnya yang masih kecil dan berkata: “Aku takkan pergi membawakannya kepadamu. Jika engkau menerimanya, maka dia menjadi milikmu (istri).” Kemudian setelah putri Sayyidina Ali didatangkan, lalu betis kirinya diperlihatkan pada Sayyidina Umar. Dengan hal ini, putri Sayyidina Ali itu sempat berkata: “Kalau bukan karena engkau Amirul Mukminin, maka sudah aku congkel kedua matamu”. Perkataan tersebut menunjukkan bahwa tidak adanya syarat harus minta idzin dari pihak perempuan.

 

Sementara versi kedua memadukan statemen baginda Nabi saw tersebut dengan firman Allah swt: “Dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya, kecuali yang (biasa) nampak daripadanya.” (QS. An-nur: 31). Dan dengan menganalogkan dengan masalah bolehnya membuka wajah dan kedua telapak tangan perempuan ketika melakukan ihram. Selain itu wajah dan tangan sudah cukup untuk memberikan kejelasan bentuk fisiknya, karena keduanya merupakan cermin fisiknya secara keleluruhan.

 

Waktu Melihat

 

Persepsi boleh melihat bukan berarti tanpa batasan dan etika, karena persoalan ini berlatarbelakang tentang urusan pasangan hidup, maka adanya boleh melihat hanya apabila betul-betul sudah memiliki rencana menikah. Selain itu hanya ditentukan pada wanita yang ada harapan menerima pinangannya, tidak sedang dalam ikatan tali pernikahan, serta tidak sedang menjalani masa iddah.

 

Adapun momentum yang paling tepat menyleksi wanita pilihan, sebagaimana dianjurkan baginda Rsulullah saw, ialah ketika sebelum meminang. Dan etika yang dipakai sebaiknya tidak dilakukan dengan cara terang-terangan, namun dengan cara yang samara, tanpa sepengetahuan wanita yang bersangkutan.

 

Hal ini dilakukan guna menjaga dan menghormati hargadirinya dan keluarganya. Apabila melihatnya dilakukan setelah peminangan, maka yang hilang adalah hukum kesunahannya, sedangkan hukum melihatnya tetap diperbolehkan menurut keterangan dalam kitab Tuhfah. Namun menurut pendapat yang dipilih Imam ar-Ramli, kesunahannya tidak hilang.

 

Namun meskipun seorang wanita sudah dipinang, akan tetapi keberadaannya masih berstatus ajnabiyah (wanita lain) yang tidak boleh diperlakukan layaknya pasangan suami-istri, seperti berduaan. Ikatan pinangan hanya perjanjian normatif dan simbolis, sebagai tahap pendekatan awal, yang kepastiannya hanya setelah prosesi ijab-kabul nikah dilaksanakan. []

 

Sumber: Buletin Pondok Pesantren Sidogiri, Pasuruan – Jawa Timur

Tidak ada komentar:

Posting Komentar