Jiwo dan Tejo
Oleh: Emha Ainun Nadjib
Di desa, saya punya dua teman. Yang satu Jiwo
namanya, lainnya Tejo. Nasib mereka berbeda. Posisi mereka tidak sama. Cara
orang banyak memandang dan menilai mereka juga unik.
Misalnya dalam
pergaulan. Kalau Jiwo terlihat di warung, duduk di sisi seseorang yang dikenal
suka maling, maka orang menyebut Jiwo adalah temannya maling, punya rancangan
kolusi untuk maling, dengan kata lain Jiwo dianggap juga seorang maling. Contoh
lain kalau Jiwo pada suatu siang tampak diboncengkan oleh sepeda motor Pak
Lurah, maka orang menganggap Jiwo sudah direkrut oleh Pak Lurah, sudah
berkongkalikong dengan Pak Lurah, sudah berkhianat kepada sebagian penduduk
yang kebetulan pernah disusahkan hidupnya oleh Pak Lurah.
Adapun nasib Tejo
berbeda. Kalau ia akrab dengan maling, orang menyimpulkan itu adalah taktik
untuk menginsafkan maling. Kalau Tejo jalan runtang-runtung dengan tukang
renten, itu adalah bagian dari strategi makro politik perekonomian Tejo. Kalau
Tejo pagi hari bercengkerama dengan buruh-buruh di gardu, sorenya dijamu di
rumah Pak Lurah — orang menyimpulkan Tejo adalah seorang yang kosmopolit,
seorang demokrat sejati dan arif, yang mau bergaul dengan siapa saja.
Ada kemungkinan, jika
kelak Jiwo masuk sorga, orang akan menyebut itu adalah penyelundupan, atau
sekurang-kurangnya Jiwo telah menyogok agar bisa masuk sorga. Sedangkan kalau
Tejo masuk neraka, itu adalah strategi untuk menghindari sikap takabur bahwa ia
sesungguhnya berhak masuk sorga. Juga Tejo sengaja menemani orang-orang
menderita di neraka. []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar