Politik Cerdas Pikir
Oleh: Yudi Latif
Pikiran itu pelita hidup. Sesat pikir, binasa hidup. Kehilangan
terbesar bangsa ini bukanlah kehilangan orang besar atau kemerosotan nilai
tukar dan defisit neraca perdagangan, melainkan kemunduran pikiran.
Pada masa ketika kekuatan pikir kian menentukan ketahanan politik
serta perekonomian suatu bangsa, ajang kampanye pemilihan anggota legislatif
dan presiden kali ini justru menjadi pasar raya persaingan kebebalan dan sesat
pikir.
Dari gelombang buih kampanye dan keriuhan perdebatan politik,
nyaris tak ada gagasan jernih dan bernas yang bisa diingat. Ucapan bergelembung
tanpa isi yang bisa ditangkap. Substansi terbenam oleh gemuruh caci maki,
fitnah, dan kebohongan.
Visi masa depan kabur, tertutupi oleh bayangan fragmen-fragmen
persoalan dengan solusi tambal sulam, tanpa kesanggupan menghadirkan gambaran
yang utuh tentang akar persoalan dan solusi mendasarnya. Dalam kemunduran daya
pikir, kesadaran publik ditaklukkan oleh sihir kemasan. Impresi lebih
diutamakan ketimbang isi sejati.
Tiap-tiap kubu menuduh lawan sebagai antek asing, tanpa berusaha
merumuskan pola pikir yang tepat dalam menghadapi kekuatan asing. Bahwa
sepanjang sejarah negeri ini, jatuh bangun kekuatan ekonomi-politik kita
sesungguhnya tak bisa dilepaskan dari dinamika ekonomi-politik kawasan,
terutama perkembangan di India dan China.
Tatkala kedua pasar besar ini mengalami kehidupan politik
damai-stabil serta perekonomian yang booming, perekonomian Nusantara menjadi
kuat, yang dapat meneguhkan posisi politiknya.
Manakala perdagangan antara Imperium Romawi dan India mencapai puncaknya
pada abad pertama Masehi, armada-armada dagang kesukuan Nusantara memperoleh
keun- tungan perekonomian lewat jalur pelayaran dengan India. Kemakmuran yang
tumbuh lewat perdagangan dengan India inilah yang menjadi katalis bagi
pendirian kerajaan-kerajaan awal di Nusantara.
Tatkala pasar di China mengalami booming, setelah kehidupan
politiknya bisa dikonsolidasikan kembali lewat kekuasaan Dinasti Tang pada abad
ke-7, kekuatan dagang Nusantara mendapatkan keuntungan besar yang pada
gilirannya melambungkan kekuatan Sriwijaya.
Tendensi seperti itu terus berlangsung hingga perekonomian
Indonesia kontemporer. Bahwa kelesuan dan kegai- rahan perekonomian di kawasan,
terutama di China dan India, juga kawasan perekonomian besar lain, seperti
Amerika Serikat dan Eropa, berimbas langsung dan tidak langsung terhadap jatuh
bangun perekonomian dan politik di negara ini. Dengan demikian, wacana dan
kebijakan politik negara ini tidak bisa sembarangan menyatakan sikap anti
asing.
Saat yang sama, kita juga tidak bisa membiarkan segala kekuatan
perekonomian asing masuk tanpa kecerdasan kebijakan dan penguatan kapasitas
daya saing.
Sekali lagi kita bisa belajar dari sejarah. Tatkala berbagai
kekuatan mitra dagang asing mengambil kendali langsung atas operasi
perdagangannya di Nusantara, tanpa perantara kekuatan dagang Nusantara sendiri,
secara perlahan tapi pasti kekuatan dagang negeri ini ambruk.
Hal ini terjadi tatkala gilda-gilda dagang India Selatan
mengembangkan operasi dagangnya sendiri di Nusantara sejak abad ke-11, disusul
oleh gempuran yang lebih melumpuhkan tatkala di bawah Dinasti Song pada abad
ke-12, kekuatan dagang China mengembangkan jaringan perdagangan dan angkatan
laut komersialnya sendiri yang beroperasi langsung di Nusantara.
Dengan demikian, kita harus mengembangkan pemikiran dan sikap yang
tepat dalam berhadapan dengan kekuatan asing. Tidak bisa asal antiasing karena
bisa membunuh diri sendiri.
Tidak juga asal menerima asing karena bisa membunuh diri sendiri
juga. Diperlukan kecerdasan pikir untuk mengambil pilihan tepat serta
menetapkan kebijakan yang strategis. Di situlah perdebatan politik yang bernas
dan konstruktif harus mengambil tempat.
Bagi para calon penyelenggara negara, kecerdasan pikir dan mencerdaskan
rakyat itu merupakan imperatif konstitusi. Bahwa tugas (penyelenggara) negara
bukan hanya menampung aspirasi rakyat, melainkan juga mengemban fungsi sebagai
”tutor” (pendidik): ”mencerdaskan kehidupan bangsa”.
Lebih dari itu, demokrasi permusyawaratan yang hendak kita
kembangkan juga menghendaki kepemimpinan oleh hikmat-kebijaksanaan, di mana
keputusan politik harus didasarkan pada daya-daya deliberatif dan argumentatif.
Dalam demokrasi permusyawaratan, suatu keputusan politik dikatakan
benar jika memenuhi setidaknya empat prasyarat. Pertama, harus didasarkan pada
asas rasionalitas dan keadilan, bukan hanya berdasarkan subyektivitas ideologis
dan kepentingan. Kedua, didedikasikan bagi kepentingan banyak orang, bukan
kepentingan perseorangan atau golongan.
Ketiga, berorientasi jauh ke depan, bukan demi kepentingan jangka
pendek melalui akomodasi transaksional yang bersifat destruktif (toleransi
negatif). Keempat, bersifat imparsial, dengan melibatkan dan mempertimbangkan
pendapat semua pihak (minoritas terkecil sekalipun) secara inklusif, yang dapat
menangkal dikte-dikte diktator mayoritas suara dan tirani minoritas pemodal.
Akhirnya, partai politik sebagai basis perekrutan kepemimpinan
nasional juga harus menjadi pusat pendidikan politik yang mencerdaskan. Dalam
kaitan ini, Bung Karno menyatakan, ”Sebuah partai harus dipimpin oleh ide,
menghikmati ide, memikul ide, dan membumikan ide.”
Sejarah politik Indonesia digagas, dipelopori, dan diorganisasikan
oleh kaum inteligensia. Manakala kontestasi politik dirayakan oleh beragam
ekspresi kebebalan, alarm pengingat harus dibunyikan kencang-kencang agar kita
kembali ke khitah cerdas pikir Republik. []
KOMPAS, 14 Februari 2019
Yudi Latif | Anggota
Aliansi Kebangsaan
Tidak ada komentar:
Posting Komentar