Selasa, 19 Februari 2019

(Tokoh of the Day) Abuya KH Saifuddin Amsir, Matraman - Jakarta Timur


Manaqib Abuya KH Saifuddin Amsir


Lewat tengah malam, Kamis, 19 Juli 2018 bertepatan dengan 9 Dzulqaidah 1439H, pukul 01.41 WIB, saya di-WA oleh Ustadzah Badrah Uyuni, putri sulung Abuya KH Saifuddin Amsir bahwa ayahandanya telah wafat di RS Omni, Pulomas, Jakarta Timur pada pukul 01.20 WIB. Saya sangat terhenyak, dan langsung menyebarkan berita duka ini melalui media sosial.

Kita sungguh telah kehilangan sosok ulama Betawi terkemuka dengan semua kiprah dan karyanya yang sangat membekas dan bermanfaat bagi umat Islam. Semasa masa hidup, saya ditugaskan untuk menulis biografi beliau. Walau penulisan biografi tersebut belum selesai, paling tidak tulisan ini, yang saya sebut sebagai manaqib, bisa memberikan gambaran singkat tentang sosok beliau yang  sarat dengan keteladanan dan dapat menjadi inspirasi bagi umat Islam hari ini dan yang akan datang. 

Kelahiran dan Pendidikan Mengaji Masa Kecil

31 Januari 1955 adalah tanggal yang bersejarah yang patut disyukuri bagi Amsir, orang Betawi, anak seorang polisi dari Kebon Manggis, Matraman, Jakarta Timur. Istrinya, Nurain binti Anwar, melahirkan anak kelima yang kemudian diberi nama Saifuddin Amsir dalam kondisi sehat wal afiat dengan segenap harapan yang tertumpah bagi si jabang bayi. (Wawancara di rumah pribadi, Selasa, 12 Maret 2008).    

Berharap anaknya mempunyai pengetahuan dan pemahaman ilmu agama yang mendalam, Saifuddin kecil mulai diajar mengaji cara kampung dengan Kong Perin yang kemudian dilanjutkan oleh putranya, Ust. Haji Sayuti, yang juga sepupu dari ibunya. Di rumah, ia juga diajarkan mengaji oleh ayahnya sendiri. Setelah itu ia belajar kepada Ust. Yusuf Amin.

Pelajaran mengajinya, khususnya al-Qur`an, kemudian berlanjut ketika ia duduk di bangku Sekolah Dasar. Baginya, masa-masa di Sekolah Dasar merupakan hal yang paling mengesankan dalam belajar al-Qur`an karena paling banyak memberikan pengaruh terhadap kemampuan membaca al-Qur`annya dibawah bimbingan Ustadz Malik.

Masa Kecil dan Kesenangan Membaca

Yang istimewa dari Saifuddin kecil adalah kemampuannya dalam membaca huruf latin sebelum masuk Sekolah Dasar. Guru membacanya adalah ayahnya sendiri yang hampir setiap malam dengan tekun mengajarinya. Sebagaimana kesukaan anak-anak lain yang sudah pandai membaca, ketika kecil ia juga sangat senang membaca komik dan majalah anak-anak yang beredar saat itu.

Kesenangannya membaca didukung oleh kondisi keluarga dan lingkungan sekitarnya. Ayahnya senang membaca buku, majalah dan bacaan-bacaan lain. Orang-orang di lingkungan tempat tinggalnya juga tidak asing dengan buku, terutama buku-buku terbitan Balai Pustaka. Hal ini tidak terlepas dari peran, Riyadi seorang pemuda di kampungnya yang pernah belajar di Rusia dan kemudian menjadi seorang insinyur. Pemuda ini adalah motor penggerak di kampungnya. Mulai dari anak-anak kecil sampai para pemudanya didik oleh Riyadi yang kelak rata-rata menjadi sarjana yang mumpuni. Untuk lebih menggairahkan anak-anak agar rajin membaca, Riyadi mendirikan perpustakaan di kampungnya dan juga studi klub yang bermarkas di rumahnya.

Dengan kondisi keluarga dan lingkungan sekitarnya, tidak heran apabila pada kelas 2 Sekolah Dasar Saifuddin kecil telah membaca Si Jamin dan Si Johan, sebuah roman karya saduran dari Merari Siregar. Selain itu, ia juga membaca komik-komik  karangan Kho Ping Ho dan komik-komik karya SH. Mintarja selain buku-buku karangan Dr. Karl May yang dibaca habis. Bukan saja komik yang dibacanya, tetapi juga buku-buku yang terbilang serius untuk anak seusianya pun telah dikonsumsinya, seperti Riwayat Hidup Wahid Hasyim dan Karangan Tersiar.

Masa Sekolah di Asy-Syafi`iyyah

Masa pendidikan Sekolah Dasar dilaluinya dengan mulus. Kemudian, Saifuddin kecil yang meranjak remaja melanjutkan pendidikannya di Tsanawiyah Asy-Syafi`iyyah, Bali Matraman, Tebet, Jakarta Selatan. Pada masa itu, merupakan suatu prestasi besar bisa masuk Tsanawiyah asy-Syafi`iyyah karena standarnya yang cukup tingi sehingga sulit untuk bisa diterima. Bahkan tidak jarang ada siswa yang berasal dari tsanawiyah lain ketika pindah ke Tsanawiyah Asy-Syafi`iyyah harus turun kembali ke ibtidaiyyah. Modal utama yang dimiliki beliau ketika itu adalah hafalan Kitab Al-Jurumiyyah, Kitab Matan Bina` wal Asas, dan  Rub`ul `Ibadat dari Kitab Matan Al-Ghayah wat Taqrib.

Setelah masuk di Tsanawiyyah Asy-Syafi`iyyah ini, banyak guru yang kagum dengan kemampuannya dalam membaca dan memahami kitab-kitab sehingga ia pun mendapat prestasi dengan langsung naik kelas dua tingkat, dari kelas satu langsung naik ke kelas tiga, tidak melalui kelas dua dahulu. Ia juga sering menjadi ”penyelamat”  bagi seisi kelas, yaitu menyelematkan teman-temannya dari kemarahan KH. Abdullah Syafi`i yang sering sekali marah besar jika murid-muridnya tidak mampu membaca kitab dengan benar. Marahnya akan mereda apabila ada murid lain yang dapat menetralisir dengan membacanya dengan benar.

Selepas tsanawiyah, Saifuddin remaja melanjutkan ke aliyah di perguruan yang sama, Asy-Syafi`iyyah. Ada peristiwa yang jarang terjadi ketika di aliyah ini yang menunjukan kapasitas keilmuan Saifuddin remaja ketika itu: Seorang guru memintanya membawa pulang kitab Kifayatul Akhyar milik guru tersebut. Maksudnya, agar ia membacanya di rumah dan ketika pelajarannya nanti ia yang membacanya sedangkan si guru hanya mendengarkannya. Bukan hanya kitab Kifayatul Akhyar, tetapi juga kitab-kitab lainnya, seperti Kitab Syarah Alfiyah Ibnu Aqil. Ia sangat bersyukur dapat sekolah di Asy-Syafi`iyyah karena di tempat inilah pengetahuan dan kemampuan bahasa Arabnya bertambah dan menjadi matang. Hal ini berkat jasa guru-gurunya yang diantaranya berasal dari Pesantren Gontor dan dari Mesir.

Mengaji Kitab-Kitab Lanjutan Kepada Guru-Guru Besar

Pada akhir tahun 1976, KH. Abdullah Syafi`i menyelenggarakan pengajian yang ditujukan kepada para ulama dan asatidzah. Guru yang diminta untuk mengajar mereka adalah Prof. Ibrahim Hosen dan mualim KH. M. Syafi`i Hadzami. Kitab yang dibaca oleh mualim KH. M. Syafi`i Hadzami adalah kitab Fathul Mu`in bab mu`ammalah dan Kitab Jauharul Maknun. Pemuda Saifuddin yang baru lulus dari Aliyah Asy-Syafi`iyyah dan baru menjadi guru sehingga dipanggil ustadz juga diundang untuk mengikuti pengajian tersebut. Ini merupakan kali pertama bagi ustadz Saifuddin Amsir untuk mengikuti pengajian salah seorang guru utamanya ini. Sayangnya, pengajian itu tidak berlangsung lama.

Selanjutnya, ustadz Saifuddin Amsir bergabung dengan pengajian mualim KH. Syafi`i Hadzami yang diadakan di daerah Rawa Bunga (dulu disebut Rawa Bangke), Jakarta Timur. Ia, ketika mengikuti pengajian di mualim dan di guru-guru lainnya, telah memiliki bekal yang sangat memadai dan mempunyai potensi yang sangat memungkinkan dirinya terlibat di dalam masalah-masalah yang dibicarakan. Ia juga sudah mampu mempertanyakan masalah-masalah yang urgen. Kitab yang dibaca pada pengajian mu`allim tersebut adalah Kitab Bughyatul Mustarsyidin. Ketika ia baru bergabung, bacaan kitab itu masih di bagian-bagian awal. Jadi, tidak terlalu banyak yang ketinggalan. Sedangkan kitab lain yang dibaca di tempat itu yang diikutinya sejak awal adalah kitab al-Hikam.

Selain di Rawa Bunga, ia juga mengikuti pengajian mualim KH. M. Syafi`i Hadzami di daerah Kepu, Jakarta Pusat di sebuah masjid.

Ulama, Dosen, Enterpreneur, Penulis, dan Apa Saja

KH. Saifuddin Amsir merupakan sedikit dari ulama yan memiliki banyak profesi dan keahlian. Status keulamaannya semakit kuat setelah Mu`allim KH. M. Syafi`i Hadzami wafat, ia diminta oleh keluarga untuk menggantikan posisi almarhum untuk meneruskan pengajaran di majelis taklim-majelis taklim yang semasa hidup diisi oleh almarhum.

Tugas menggantikan ini bukan hal yang baru dia dapatkan. Waktu Mu`allim KH. M Syafi`i Hadzami masih hidup, dia juga menggantikan posisi mu`allim di beberapa majelis taklim, seperti majelis taklim Kitab Al-Hikam di masjid Al-Fudhola, Kampung Beting, Jakarta Utara.

Selain sebagai ulama,  ia juga adalah dosen, ia mengajar di IAIN (sekarang UIN) Syarif Hidayatullah, Jakarta sebagai dosen filsafat sampai sekarang. Bukan hanya di IAIN saja, ia juga mengajar di beberapa kampus, seperti Universitas Paramadina.

Ia juga aktif dalam organisasi Nahdlatul Ulama (NU). Dikarenakan kapasitasnya sebagai ulama, ia selalu menempati posisi di tingkat Syuriyah PBNU sebagai salah seorang rais dan terakhir sebagai Mustasyar PBNU.

Profesi lainnya yang dia emban adalah menjadi Pengawas Syari`ah di Bank Pemata. Selain itu, ia juga sosok enterpreneur mendirikan lembaga keuangan mikro syari`ah atau Baitul Maal wat-Tamwil (BMT) dan lembaga pendidikan Islam setara S2 dalam wadah yang bernama  Ma`had Aly Zawiyah Jakarta.

Ia juga seorang penulis. Bukunya yang sudah terbit diantaranya adalah Al-`Asyirah Al-Qur`aniyyah dan Al-Qur`an `Ijaazan wa Khawaashan wa Falsafatan. Ia juga kontributor dan pengasuh rubrik di Majalah Alkisah, ia juga menyukai seni musik. Jadi ia apa saja, itulah keistimewaan yang Allah SWT berikan kepadanya. Semoga Allah SWT menerima seluruh amal ibadahnya. Aamiin. []

Rakhmad Zailani Kiki, Peneliti dan Penulis Genealogi Intelektual Ulama Betawi. Sekarang Dipercaya sebagai pengurus RMI NU DKI Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar