KH Tobroni Mutaad,
Karisma dan Istiqamahnya Mengajar Santri
KH Tobroni Mutaad
merupakan sosok kiai yang sangat karismatik. Langkah kakinya saja mampu
membangunkan para santrinya. Khazmi Aziz, salah satu putranya, bercerita kepada
penulis bahwa saban sebelum Subuh, ia mendengar langkah kaki ayahnya itu
menaiki tangga menuju kamarnya dan kamar para santri. Sentuhan telapak kakinya
dengan anak tangga semacam ketuk pintu yang mampu membuatnya tergeragap bangun
dari lelapnya.
Penulis juga
merasakan betul karismanya. Setiap kali Kiai Oni, sapaan akrabnya, terlihat
keluar dari ruang guru menuju kelas, semua siswa langsung merapikan diri duduk
di kursi masing-masing dengan kitab Kifayatul Akhyar di mejanya terbuka sesuai
dengan batas yang bakal dia baca. Jika ada seorang siswa yang lupa membawa
kitab wajib itu, ia akan langsung datang ke kelas lain dan meminjam ke
rekannya. Tidak ada seorang pun yang berani leyeh-leyeh berkeliaran di luar.
Saat pelajarannya dimulai, tak ada suara selain suaranya, kecuali ledakan tawa
akibat guyon yang kerap kali dilontarkannya. Ya, Kiai Oni mengajar fiqih di
Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putra Buntet Pesantren.
Kerapian siswa ini
bukan sebuah ketakutan ataupun kekhawatiran akan menerima kemarahannya jika
berlaku melanggar. Kiai Oni tidak pernah terlihat marah kepada siswa dan santrinya.
Pernah suatu kali menghukum beberapa santri yang tidak dapat menghafal saat
mengaji di rumahnya. Penulis melihat bahwa ia meminta izin ikhlasnya para
santri itu tangannya disabet dengan sapu lidi.
“Saya tidak berniat
menyabet kamu nih. Saya hanya niat menyabet setan yang mengganggumu,” katanya
dengan sangat lembut.
Ia pun tak
menyabetkannya dengan keras. Pelan. Dan hanya sekali ia arahkan ke telapak
tangan santrinya yang terbuka. Para santri tidak merasa kesakitan dan mereka
pun dalam beberapa menit kemudian mampu menghafalkannya.
Kiai sangat patuh
kepada orang tuanya. Ceritanya, ia sudah menabung untuk membiayai pendidikannya
kuliah. Ya, ia sudah bekerja dengan menjahit pakaian untuk membiayai
kehidupannya. Namun, saat memohon izin kepada orang tuanya, ia tidak
diperbolehkan. Tak butuh alasan, ia langsung mengubur impiannya itu. Ia manut
atas keinginan orangtuanya.
Semenjak remaja, kata
Wawan Shofwani, putra sulungnya, Kiai Oni sudah menerima pembuatan baju,
menjahit pakaian. Kepandaiannya menjahit baju itu didapat dari ibunya yang juga
ahli menjahit. Pembuatan baju itu juga masih ia lakukan sampai memiliki anak.
Wawan masih ingat bahwa ayahnya itu pernah memberikannya baju baru hasil
jahitannya sendiri.
Pendalaman ilmu
agamanya dimulai dari tempat kelahirannya di Pondok Buntet Pesantren. Kiai yang
pernah menjadi imam dan khatib Jumat Masjid Agung Buntet Pesantren itu mengaji
kepada para kiai di Buntet Pesantren. Selain itu, ia melanjutkan studinya di
Pondok Pesantren Sarang, Rembang.
Seusia Nabi saat
berpulang, KH Tobroni Mutaad juga dipanggil-Nya. Ya, masyarakat Buntet
Pesantren harus rela melepas kepulangan kiainya di usianya yang ke-63 tahun itu
meskipun dengan sangat berat hati.
Istiqamah dan
Disiplin
Seluruh masyarakat
Buntet Pesantren bersaksi bahwa Kiai Oni adalah orang yang istiqamah dalam
mengajarkan pengetahuannya. Mulai bakda Maghrib hingga setengah dua dini hari,
ia mengajar beberapa kelompok santri. Tidak hanya mereka yang tinggal di pondok
yang ia asuh, Pondok Pesantren Al-Izzah, tetapi juga para santri yang tinggal
di pondok-pondok lain. Mereka memohon izin ke pengasuhnya masing-masing untuk
dapat mengaji kepada Kiai Oni.
“Beliau adalah salah
seorang kiai yang bertahun-tahun istiqomah mengajar mengaji,” kata KH Aris
Ni’matullah, Kepala Madrasah Aliyah Nahdlatul Ulama (MANU) Putri Buntet
Pesantren.
Bahkan, Kiai Imat,
sapaan akrabnya, juga mengaku sebagai salah satu muridnya. Kepulangannya ke
Rahmatullah merupakan cobaan luar biasa bagi Pondok Buntet Pesantren. Kiai Oni
berpulang dengan membawa seluruh ilmunya. Tercabutnya ilmu, terang Kiai Imat,
itu dari tercabutnya nyawa ulama, bukan ilmunya hilang begitu saja dari
pemiliknya. “Allah tidak akan mencabut ilmu dari dada ulama, melainkan mencabut
ulama itu sendiri.”
Sementara itu, KH Ade
Nasihul Umam, Kepala MANU Putra, melihat kiai kelahiran September 1955 itu
sebagai sosok yang sangat patuh terhadap administrasi. Kelengkapannya dalam
menyiapkan pembelajaran patut dijadikan teladan oleh guru-guru muda. Selain
itu, ia sangat disiplin dan menghargai waktu. Beberapa hal itu, kata Kiai Ade,
mengantarkannya sebagai guru teladan di Pondok Buntet Pesantren.
Di samping itu, Kiai
Oni, kata Kiai Ade, juga merupakan orang yang tidak pernah meninggalkan
tadarus. Ketua Dewan Khidmat Masjid (DKM) Masjid Agung Buntet Pesantren itu
menceritakan bahwa Kiai Oni masih hadir tadarusan di masjid saat Ramadan 1439 H
meskipun kondisi fisiknya yang sudah tidak seperti dulu. “Sebelum saya
benar-benar tidak bisa, saya akan tetap mengikuti tadarusan,” ujar Kiai Ade
menirukan Kiai Oni.
Senada dengan Kiai
Ade, Ketua Umum Yayasan Lembaga Pendidikan Islam (YLPI) Buntet Pesantren KH Adib
Rofiuddin mengatakan bahwa almarhum merupakan sosok yang patut diteladani oleh
para guru. Almarhum, kata Kiai Adib, tidak pernah meninggalkan sekolah apabila
tidak ada udzur syar’i. Ia sangat rajin dalam mengajar.
“Yang patut menjadi
contoh kepada para guru, sekali lagi kepada para guru, beliau adalah salah satu
guru yang sangat disiplin dan sangat menghargai waktu yang telah diberikan
untuk mengajar,” tegas Kiai Adib dengan wajah yang penuh gurat kesedihan.
Kiai Adib saat
memberikan sambutan penyaksian itu terlihat begitu sedih. Ia sempat
menghentikan bicaranya beberapa detik dan terisak saat membaca kalimat tarji’,
innalillahi wa inna ilaihi rajiun dan seusai menyebut nama almarhum.
Mustasyar Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) itu juga menyatakan bahwa Kiai Oni adalah sosok
ulama yang alim dan amil, mengamalkan ilmunya. Ia tak pernah ghibah,
membicarakan keburukan orang lain. Jika ia mendengar keluarganya berlaku
demikian, ia sangat marah, katanya.
Kealimannya dan
keamilannya itu ditunjukkan dengan hampir seluruh putra-putra para kiai Buntet
dididik oleh almarhum, mengaji langsung kepadanya. Tak terkecuali putra-putri
Kiai Adib sendiri.
“Ketika salah seorang
ulama yang mengamalkan ilmunya meninggal dunia, malaikat turun menghormati,
mengagungkan, mengiringi jenazahnya. Seisi dunia makhluknya Allah merasa susah,
prihatin dengan meninggalnya seorang ulama,” terang Kiai Adib. []
(Syakir NF)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar