Renungan Remaja:
Sosok Dilan dan Al-Fatih
Judul
Buku : Dilan & al-Fatih: Pemuda,
Keberanian, dan Perjuangan Cinta
Penulis
: Ahmad Ali Adhim
Penerbit
: Andalusia
Cetakan
: Pertama, 2018
ISBN
: 978-602-5653-11-7
Peresensi
: Besse Tantri Eka, alumnus
Pascasarjana UIN Sunan Kalijaga Yogyakarta, Jurusan Magister Pendidikan Agama
Islam, saat ini menjadi salah satu pendidik di sekolah unggulan SD Budi Mulia 2
Yogyakarta.
NR. Tambunan seorang
cendekiawan Alumni University of Lille 1, Perancis mengatakan “BANDUNG pun rela
‘mundur’ ke era 1990-an demi sebuah film remaja yang sedang hits saat ini
‘Dilan 1990’.” Menurutnya Film yang diadopsi dari sebuah novel karya Pidi Baiq
itu memang didukung oleh walikota Bandung Ridwan Kamil dan didukung oleh masyarakat
Bandung karena berlatar belakang Bandung zaman baheula.
Tak heran, film ini
pun akhirnya mampu menembus jutaan penonton dalam waktu hanya beberapa hari.
Bahkan tak jarang anak-anak muda baik di kota maupun di desa terkena demam
Dilan “jangan rindu, ini berat, kamu gak akan kuat, biar aku saja.”
Yang menarik dari
fenomena ini sesunguhnya apa? Jika Publikasi dan dukungan penguasa menjadi
faktor yang menyedot masyarakat terutama remaja zaman now untuk
berbondong-bondong terhanyut ke dalam diksi romantis yang ditawarkan Dilan.
Tentu hal ini akan berdampak pada tiap film-film remaja bertemakan cinta dan
romantisme akan selalu mendapatkan sambutan yang meluap dari masyarakat.
Hal ini juga bisa
menjadi bukti bahwa karena masyarakat saat ini haus akan imaginasi romantisme
di tengah-tengah kesulitan hidup dan kondisi nyata yang melelahkan, ataukah
memang selera masyarakat kita pada kisah yang menawarkan cerita dan
merefleksikan fakta remaja kekinian. Yang pasti, film-film serumpun makin
menyebar luas dan memenuhi beranda kehidupan masyarakat kita.
Inilah fenomena
remaja saat ini yang sudah demikian bebas, semakin liar dan jauh dari
nilai-nilai agama adalah kondisi yang memang menjadi sebuah kondisi yang
menghawatirkan. Industri hiburan di bidang perfilman memiliki andil yang sangat
nyata dalam memelihara arus budaya yang saat ini menggerusi pola pergaulan para
remaja.
Budaya permisif yang
sekuler adalah budaya yang senantiasa dicekokkan ke dalam benak anak-anak muda
Indonesia. Sedangkan anak muda adalah merupakan aset masa depan bangsa. Akankah
hal ini akan dibiarkan begitu saja? Adakah hasrat kapitalis di sana?
Kondisi ini tentu
sangat memprihatinkan. Mengapa demikian? Segi positif yang bisa diambil adalah
remaja merupakan generasi masa depan penerus bangsa yang diharapkan mampu
bangkit dan memiliki pemikiran revolusioner, fresh dan keknian. Namun di sisi
lain bukankah ini akan menjadikan mereka menjadi remaja yang alay, lebay dan
perayu serta mudah dirayu?
Alangkah baiknya jika
kita membuka kembali sejarah Islam, misalnya kita menyoroti kondisi remaja di
dalam kepemimpinan Islam. Sebut saja Muhammad Al Fatih, yang telah menjadi
seorang pemimpin di usianya yang masih belia. Beliau bahkan telah menaklukkan
Konstantinopel yang terkenal tak terkalahkan pada saat menginjak usia 21 tahun.
Saat itu ia masih berusia 21 tahun telah mencapai prestasi yang amat luar
biasa. Adakah kira-kira di zaman sekarang pemuda seusia itu mempunyai pemikiran
dan mimpi-mipi besar untuk bangsa dan agamanya?
Manakala Sultan al
Fatih menjadi nakhoda kepemimpinan, kaum Muslimin berhasil menguasai Benteng
terkuat pada masa itu. Di bawah sistem kepemimpinan Islam dengan metode
pendidikan Islam, potensi remaja sebagai aset masa depan dapat dioptimalkan
sehingga mampu mencetak pemuda-pemuda berkualitas semisal Muhammad Al-Fatih.
Apa yang terjadi
sekarang? Sungguh amat disayangkan, apabila remaja saat ini kurang peka dan
tidak menyadari bahwa dirinya adalah pemegang estafet kepemimpinan di masa
depan. Sangat penting bagi kita untuk dapat membangunkan remaja agar tidak
tenggelam dalam propaganda kapitalis dan terjebak dalam budaya yang tidak
kurang mendidik.
Masyarakat harus
dapat mengeluarkan sikap kritisnya terhadap serangan budaya dan kepentingan
kapitalis yang merasuki remaja melalui industri film maupun cara-cara lainnya.
Dilan dan Muhammad Al Fatih adalah dua produk pemuda yang berbeda dengan
kualitas yang berbeda. Dan kita saat ini tentu saja lebih membutuhkan para
pemuda berkapasitas setara dengan Muhammad Al Fatih bahkan lebih lagi untuk
dapat melakukan perubahan yang nyata dan membangun peradaban yang mulia.
Tokoh Dilan yang
hidup di tahun1990 dia adalah seorang pria, menyukai perempuan yang bernama
Milea dan berusaha menaklukan hatinya. Dalam sejarah Islam ada pemuda pemberani
yang mempunyai prestasi luar biasa. Siapakah dia? Namanya adalah Muhammad Al
Fatih. Jika sosok Dilan membawa kita kepada perasaan salut dan kagum. Apakah
yang akan kita rasakan ketika mengetahui kisah hidup Sultan Al Fatih? menangis
haru dan bangga?
Perbedaan mendasar
diantara Sultan Fatih dan Dilan adalah jika Pada diri al Fatih ia Mempunyai
karakter pemimpin yang ditanamkan sejak kecil, Menghafal Al-Quran 30 Juz di
ketika masih kecil, Menjadi Khalifah Utsmani ketia usianya 19 Tahun, Menaklukan
Byzantium. Sedangkan dalam diri Dilan ia mampu Menaklukan hati wanita di Usia
kurang lebih 20 tahun, Suka Meramal, Anggota Geng Motor.
Kesimpulan yang dapat
ditarik adalah "Dilan kuat menanggung berat nya rindu, punya genk motor,
ia juga bisa meramal pertemuannya dengan Milea. Sedangkan al Fatih? Ia adalah
jawaban dari ramalan Rasulullah SAW, mempunyai pasukan yang amat tangguh dan
istiqomah berpuasa. Seperti apakah ramalan Rasulullah itu? Dan bagaimana
kehebatan Sultan al Fatih hingga ia bisa menaklukkan Konstantinopel?
Penulis buku ini
Ahmad Ali Adhim mengatakan bahwa untuk itulah buku sederhana ini dihadirkan, ia
berharap melalui buku ini generasi bangsa kita dapat mengambil pelajaran dari
kisah dan perjalanan hidup yang amat mulia dari mereka berdua, baik dari sisi
positif yang ada pada diri Dilan maupun al Fatih.
Keduanya sama-sama
pemuda yang mempunyai keberanian dan patut diapresiasi. Namun sebagai generasi
bangsa yang baik, kita harus bisa memilih dan memilah manakah yang cocok untuk
kita jadikan tauladan.
Meski terhitung
tipis, sebab buku ini hanya berjumlah 144 Hlm, tetapi di dalamnya terdapat
banyak pelajaran yang bisa diambil; mulai dari perjuangan, diplomasi politik,
dan strategi Muhammad al Fatih dalam mengumpulkan pasukan, perjuangan dan
semangat Dilan melawan kebathilan (guru yang semena-mena).
Penulis buku ini
rupanya ingin mengajak generasi milenial untuk menjaga hak dan martabanya
sebagai siswa atau mahasiswa, sebagaimana yang disabdakan oleh Ramsey Clark
seorang pengacara, aktivis, dan mantan pejabat pemerintah federal Amerika. “Hak
bukanlah apa yang diberikan seseorang kepadamu, melainkan apa yang seorangpun
tidak bisa ambil darimu.”
Buku ini cocok untuk generasi
Millenial, ada semangat jiwa muda di sana, ada juga lika-liku perjuangan cinta
yang selalu berkobar. Karya yang ditulis oleh santri di Pesantren Baitul Kilmah
Yogyakarta ini menggambarkan kebesaran jiwa al Fatih dengan begitu dramatis.
Bacalah ini:
“Setelah menaklukkan
Konstantinopel, masuklah Sulatan ke kota besar itu. Ia kemudian mengubah nama
Konstantinopel menjadi Islambul yang bermakna (Ibukota Islam). Meski kemudian
nama yang dirumuskan oleh al Fatih itu diselewengkan menjadi Istanbul. Ia juga
mengubah gereja terbesar di kota itu yang bernama Aya Sophia menjadi masjid
setelah pasukannya menunaikan shalat di sana paska kemenangan perangnya.
Bagaimana perlakuan atau sifat beliau kepada orang Kristen?
Beliau sama sekali
tidak memperlakukan mereka seperti dahulu mereka memperlakukan kaum muslimin.
Beliau memberikan kebebasan kepada mereka untuk beribadah dan membiarkan uskup
mereka mengatur segala urusan agama mereka. Ketika kaisar Konstantinopel
terbunuh dan para pengikutnya ditawan, beliau mempersilahkan pasukan Kaisar
Kristen itu agar dimakamkan dengan cara agama mereka, sedikitpun beliau tidak
menyuruh agar Kaisar itu dimakamkan dengan cara yang ada dalam Islam.
Seorang Filosof
Perancis bernama Voltaire mengatakan “sesungguhnya orang-orang Turki itu tidak
pernah memperlakukan kaum Kristen dengan buruk seperti yang kita yakini. Hal
yang harus dicermati adalah bahwa tak satupun masyarakat Kristen yang akan
mengizinkan kaum Muslimin mempunyai masjid di negerinya. Berbeda dengan bangsa
Turki.
Mereka mengizinkan
bangsa Yunani yang kalah dalam peperangan itu mempunyai Gereja sendiri. Hal
inilah menunjukkan bahwa Sultan Muhammad Al Fatih adalah sosok yang cerdas dan
bijaksana ketika memberikan kebebasan kepada kaum Kristen yang kalah itu untuk
memilih sendiri uskup mereka. Dan ketika mereka telah memilihnya, Sultan pun
menetapkannya dan menyerahkan tongkat keuskupan kepadanya serta mengenakan
cincin untuknya.
Hingga sang uskup
berseru saat itu dengan mengatakan “aku sungguh malu menerima penghargaan dan
penghormatan ini; suatu hal yang tidak pernah dilakukan oleh raja-raja Kristen
terhadap uskup-uskup sebelumku.”
Inilah perbedaan
prinsip Islam di medan perang dan toleransinya terhadap pemeluk agama lain yang
disajikan oleh penulis. Ada banyak surat-surat Dilan yang super romantis, ada
banyak juga surat-surat al Fatih yang super diplomatis nun bijaksana. Ada pula
nasehat al Fatih untuk para pejabat negara, salah satunya bacalah ini: “Bekerjalah
engkau untuk menyebarkan Islam karena itu sesungguhnya itu merupakan kewajiban
para penguasa di muka bumi ini. Kedepankankepetingan agama di atas kepentingan
lain apapun."
Sebagai seorang guru,
saya sangat setuju dengan ungkapan Dilan yang djelaskan lebih renyah oleh
penulis dalam buku ini. “Guru itu digugu dan ditiru, kalau dia mengajariku
menampar, aku juga akan menampar!" Membaca buku ini, membuat saya
menjadi ingin mengulang masa muda, masa yang selalu berapi-api, dimana semangat
masih membaja, apa yang kita inginkan harus terealisasi, pesan itu yang saya
dapat dalam buku ini. Selamat membaca! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar