Senin, 25 Februari 2019

(Ngaji of the Day) Musyarakah Mutanaqishah sebagai Modifikasi Akad Syirkah ‘Inan


Musyarakah Mutanaqishah sebagai Modifikasi Akad Syirkah ‘Inan

Sebuah hubungan kemitraan yang mana sebagian pemiliknya bisa melakukan aquisisi saham perusahaan secara bertahap sehingga kemudian berakhir dengan kepemilikan sepenuhnya, merupakan ciri khas dari praktik akad musyarakah mutanaqishah. Musyarakah jenis ini diawali dari pelaksanaan kontrak syirkah amlak atau juga syirkah ‘inan. Syeikh Wahbah al-Zuhaily dalam situs fiqh.islammessage.com – yakni, sebuah situs khusus publikasi hasil multaqa fiqhu al-islamy, ia menjelaskan:

المشاركة المتناقصة: هي التي يتفق فيها الشريكان على إمكان التنازل من أحد الطرفين عن حصته في المشاركة للطرف الآخر، إما دفعة واحدة أو على دفعات، بحسب شروط متفق عليها

Artinya: “Musyarakah mutanaqishah adalah serikat yang dibangun atas dasar kesepakatan antara dua pihak bersama kemungkinan bisanya berpindahnya rasio saham serikat salah satu pihak kepada pihak yang lain, baik dengan jalan spontan atau dengan jalan berangsur, sesuai dengan kesepakatan yang dibangun oleh keduanya.”
Jadi, dalam model syirkah mutanaqishah, terdapat beberapa rukun antara lain: 1) adanya dua pihak atau lebih yang bekerjasama, 2) modal dan obyek yang akan dimiliki, 3) kesepakatan kedua pihak untuk bekerjasama, serta saling percaya antara kedua pihak, 4) adanya pencampuran hak masing-masing dalam kepemilikan asset, dan 5) adanya pembagian keuntungan sesuai dengan rasio modal yang dimiliki.

Menilik dari kelima rukun ini, maka sebenarnya syirkah mutanaqishah ini adalah sama dengan syirkah ‘inan. Persoalan yang muncul, adalah akad syirkah ini mirip sekali dengan akad sewa (ijarah) sehingga menyulitkan ketika penentuan bagi hasil. Tepatnya adalah, persoalan apakah bagi hasil mengikuti akad syirkah, ataukah bagi hasil mengikuti akad ijarah. Agar mudah memahami mari kita cermati kasus berikut ini!

“Pak Ahmad berniat membantu Pak Zaid yang ingin mendirikan sebuah lapangan usaha jahit. Karena keuangan Pak Ahmad yang pas-pasan sehingga tidak mungkin meminjamkan uangnya kepada Pak Zaid sepenuhnya, maka dibangunlah kesepakatan bahwa Pak Ahmad akan bersama-sama dengan Pak Zaid mendirikan usaha jahit itu. Hasil usaha menjahit nantinya akan dibagi sesuai dengan kepemilikan modal. Agar lapangan usaha bisa menjadi milik Pak Zaid sepenuhnya, Pak Zaid bisa melakukan tebusan terhadap modal Pak Ahmad selama waktu tertentu. Dan selama masa penebusan itu, Pak Ahmad tetap mendapat bagi hasil sesuai dengan tingkat pengurangan modalnya.” 

Nampak dari kasus di atas, terdapat dua akad yang serupa keduanya, yaitu 1) bisa dipandang sebagai akad syirkah dan 2) bisa juga dipandang sebagai akad ijarah. Akad syirkah terbentuk atas dasar jalinan syirkah amlak antara Pak Ahmad dan Pak Zaid. Sementara akad ijarah (sewa) terbentuk atas dasar praktik sewa alat oleh Pak Zaid terhadap barangnya Pak Ahmad. Perlu diketahui bahwa komponen akad ijarah dalam fiqih adalah sebagai berikut: 1) adanya penyewa/musta’jir (Pak Zaid), 2) ada menyewakan /ajîr (Pak Ahmad), 3) adanya kesepakatan ujrah/ongkos/upah antara keduanya, dan 4) adanya benda yang disewakan/diangsurkan (manfaat alat).

Jika kasus di atas dihukumi sebagai syirkah, maka berlaku ketentuan bahwa Pak Ahmad mendapatkan nisbah bagi hasil usaha yang dilakukan oleh Pak Zaid karena nisbah modal/sahamnya terhadap unit usaha yang terbentuk. Pak Zaid selaku mudlarib, ia menerima upah (ujrah) atas kerjanya ditambah dengan nisbah bagi hasil atas modalnya. Nisbah rasio bagi hasil Pak Ahmad lambat laun akan berkurang seiring tebusan (aquisisi) modal yang dilakukan oleh Pak Zaid. Demikian juga ketentuan bagi hasil dari syirkah yang didapat oleh Pak Ahmad, akan berkurang seiring berkurangnya rasio modal yang dimilikinya. 

Adapun jika akad di atas diputus sebagai kasus ijarah, maka berlaku ketentuan bahwa pada dasarnya Pak Ahmad tidak menyewakan modal. Karena menyewakan modal hukumnya adalah tidak boleh karena bisa masuk unsur riba nasiah, apalagi ada ketentuan di mukaberupa adanya imbal jasa oleh Pak Zaid kepada Pak Ahmad. Dengan demikian, unit usaha yang terbentuk pada dasarnya adalah bukan syirkah, melainkan unit usaha mandiri dari Pak Ahmad. Sementara alat usaha, merupakan milik Pak Ahmad sesuai dengan besar uang yang diberikan oleh Pak Ahmad kepad Pak Zaid agar Pak Zaid membeli sendiri alat yang dibutuhkan sesuai dengan kebutuhannya. Karena berakad ijarah, maka Pak Ahmad berhak menerima ongkos sewa dari mesin yang dibeli oleh Pak Zaid dengan menggunakan uangnya sesuai dengan “idzin” dari Pak Ahmad sendiri. 

Karena adanya keserupaan dua akad di atas, maka persoalan mengenai standar pemberian besaran uang yang diberikan kepada Pak Ahmad oleh pak Zaid menuntut untuk disepakati sejak awal di dalam majelis khiyar agar tidak terjebak dalam dua akad yang dilarang. Jika uang yang diberikan kepada Pak Ahmad berangkat dari “bagi hasil,” maka unit usaha yang terbentuk tersebut merupakan akad syirkah. Sebaliknya jika ujrah yang diberikan berdasarkan hasil sewa, maka termasuk akad ijarah dan bukan akad syirkah. 

Imbas lain dari pemberlakuan akad syirkah adalah akuisisi yang dilakukan Pak Zaid secara bertahap terhadap saham yang dimiliki oleh Pak Ahmad. Akuisisi sehingga berakibat berkurangnya rasio modal Pak Ahmad atas syirkah sehingga terjadi perpindahan miliki secara berangsur inilah maka akad syirkah ini memperkenalkan istilah mutanaqishah. Akuisisi ini dihukumi sebagai boleh selama ada idzin dari salah satu pihak, yakni Pak Ahmad. Berbeda dengan apabila diberlakukan akad ijarah, maka pembayaran yang dilakukan oleh Pak Ahmad di luar ujrah sewa, adalah sama dengan akad bai’ muajjal, yaitu jual beli secara cicilan. Menurut beberapa ulama’ kontemporer, akad ijarah yang diakhiri dengan kepemilikan salah satu pihak disebut juga dengan istilah akad ijarah muntahiyah bi al-tamlik, yaitu akad sewa yang berakhir dengan pindahnya kepemilikan akan suatu aset/barang. Insyaallah kelak akan dikaji lebih mendalam tentang akad ini.

Sebagai kesimpulan terakhir, ada sebuah qaul yang penulis ingat dari perkataan Imam al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat, Juz 2 hal. 513, ia menyebutkan: 

الأصل في العبادات بالنسبة إلى المكلف التعبد دون الالتفات إلى المعاني ، وأصل العادات الالتفات إلى المعاني

Artinya: “Hukum asal ibadah yang dinisbahkan kepada mukallaf adalah ta’abbud (tidak melakukan penafsiran hukum/istiqra’) bukan berpaling kepada makna. Sedangkan hukum asal adat adalah berpaling kepada makna (sehingga perlu penafsiran hukum/istiqra’).” (Lihat : Abu Ishaq Ibrahim bin Musa bin Muhammad al-Lakhamy al-Syathiby, al-Muwafaqat, Juz. 2, Daru ‘Affan, 2003, hal. 513!)

Mengikut metodologi yang disampaikan oleh Al-Syatiby ini, maka hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal dari muamalat/adat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru, karena prinsip dasarnya adalah adanya izin (al-idzn). Sebagaimana mu’amalah yang dilakukan antara Pak Ahmad dan Pak Zaid di atas, maka adanya idzin dari Pak Ahmad agar Pak Zaid mengakuisisi modal yang ia berikan secara bertahap menjadikan catatan bahwa syirkah mutanaqishah- yang berakibat pengurangan saham salah satu pihak - adalah “boleh” dilaksanakan.

Wallahu a’lam

[]

Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM

Tidak ada komentar:

Posting Komentar