Musyarakah Mutanaqishah
sebagai Modifikasi Akad Syirkah ‘Inan
Sebuah hubungan kemitraan yang mana sebagian
pemiliknya bisa melakukan aquisisi saham perusahaan secara bertahap sehingga
kemudian berakhir dengan kepemilikan sepenuhnya, merupakan ciri khas dari
praktik akad musyarakah mutanaqishah. Musyarakah jenis ini diawali dari
pelaksanaan kontrak syirkah amlak atau juga syirkah ‘inan. Syeikh Wahbah
al-Zuhaily dalam situs fiqh.islammessage.com – yakni, sebuah situs khusus
publikasi hasil multaqa fiqhu al-islamy, ia menjelaskan:
المشاركة
المتناقصة: هي التي يتفق فيها الشريكان على إمكان التنازل من أحد الطرفين عن حصته
في المشاركة للطرف الآخر، إما دفعة واحدة أو على دفعات، بحسب شروط متفق عليها
Artinya: “Musyarakah mutanaqishah adalah
serikat yang dibangun atas dasar kesepakatan antara dua pihak bersama
kemungkinan bisanya berpindahnya rasio saham serikat salah satu pihak kepada
pihak yang lain, baik dengan jalan spontan atau dengan jalan berangsur, sesuai
dengan kesepakatan yang dibangun oleh keduanya.”
Jadi, dalam model syirkah mutanaqishah,
terdapat beberapa rukun antara lain: 1) adanya dua pihak atau lebih yang
bekerjasama, 2) modal dan obyek yang akan dimiliki, 3) kesepakatan kedua pihak
untuk bekerjasama, serta saling percaya antara kedua pihak, 4) adanya
pencampuran hak masing-masing dalam kepemilikan asset, dan 5) adanya pembagian
keuntungan sesuai dengan rasio modal yang dimiliki.
Menilik dari kelima rukun ini, maka
sebenarnya syirkah mutanaqishah ini adalah sama dengan syirkah ‘inan. Persoalan
yang muncul, adalah akad syirkah ini mirip sekali dengan akad sewa (ijarah)
sehingga menyulitkan ketika penentuan bagi hasil. Tepatnya adalah, persoalan
apakah bagi hasil mengikuti akad syirkah, ataukah bagi hasil mengikuti akad
ijarah. Agar mudah memahami mari kita cermati kasus berikut ini!
“Pak Ahmad berniat membantu Pak Zaid yang
ingin mendirikan sebuah lapangan usaha jahit. Karena keuangan Pak Ahmad yang
pas-pasan sehingga tidak mungkin meminjamkan uangnya kepada Pak Zaid
sepenuhnya, maka dibangunlah kesepakatan bahwa Pak Ahmad akan bersama-sama
dengan Pak Zaid mendirikan usaha jahit itu. Hasil usaha menjahit nantinya akan
dibagi sesuai dengan kepemilikan modal. Agar lapangan usaha bisa menjadi milik
Pak Zaid sepenuhnya, Pak Zaid bisa melakukan tebusan terhadap modal Pak Ahmad
selama waktu tertentu. Dan selama masa penebusan itu, Pak Ahmad tetap mendapat
bagi hasil sesuai dengan tingkat pengurangan modalnya.”
Nampak dari kasus di atas, terdapat dua akad
yang serupa keduanya, yaitu 1) bisa dipandang sebagai akad syirkah dan 2) bisa
juga dipandang sebagai akad ijarah. Akad syirkah terbentuk atas dasar jalinan
syirkah amlak antara Pak Ahmad dan Pak Zaid. Sementara akad ijarah (sewa)
terbentuk atas dasar praktik sewa alat oleh Pak Zaid terhadap barangnya Pak
Ahmad. Perlu diketahui bahwa komponen akad ijarah dalam fiqih adalah sebagai
berikut: 1) adanya penyewa/musta’jir (Pak Zaid), 2) ada menyewakan
/ajîr (Pak Ahmad), 3) adanya kesepakatan ujrah/ongkos/upah antara
keduanya, dan 4) adanya benda yang disewakan/diangsurkan (manfaat alat).
Jika kasus di atas dihukumi sebagai syirkah,
maka berlaku ketentuan bahwa Pak Ahmad mendapatkan nisbah bagi hasil usaha yang
dilakukan oleh Pak Zaid karena nisbah modal/sahamnya terhadap unit usaha yang
terbentuk. Pak Zaid selaku mudlarib, ia menerima upah (ujrah) atas kerjanya
ditambah dengan nisbah bagi hasil atas modalnya. Nisbah rasio bagi hasil Pak
Ahmad lambat laun akan berkurang seiring tebusan (aquisisi) modal yang
dilakukan oleh Pak Zaid. Demikian juga ketentuan bagi hasil dari syirkah yang
didapat oleh Pak Ahmad, akan berkurang seiring berkurangnya rasio modal yang
dimilikinya.
Adapun jika akad di atas diputus sebagai
kasus ijarah, maka berlaku ketentuan bahwa pada dasarnya Pak Ahmad tidak
menyewakan modal. Karena menyewakan modal hukumnya adalah tidak boleh karena
bisa masuk unsur riba nasiah, apalagi ada ketentuan di mukaberupa adanya imbal
jasa oleh Pak Zaid kepada Pak Ahmad. Dengan demikian, unit usaha yang terbentuk
pada dasarnya adalah bukan syirkah, melainkan unit usaha mandiri dari Pak Ahmad.
Sementara alat usaha, merupakan milik Pak Ahmad sesuai dengan besar uang yang
diberikan oleh Pak Ahmad kepad Pak Zaid agar Pak Zaid membeli sendiri alat yang
dibutuhkan sesuai dengan kebutuhannya. Karena berakad ijarah, maka Pak Ahmad
berhak menerima ongkos sewa dari mesin yang dibeli oleh Pak Zaid dengan
menggunakan uangnya sesuai dengan “idzin” dari Pak Ahmad sendiri.
Karena adanya keserupaan dua akad di atas,
maka persoalan mengenai standar pemberian besaran uang yang diberikan kepada
Pak Ahmad oleh pak Zaid menuntut untuk disepakati sejak awal di dalam majelis
khiyar agar tidak terjebak dalam dua akad yang dilarang. Jika uang yang
diberikan kepada Pak Ahmad berangkat dari “bagi hasil,” maka unit usaha yang
terbentuk tersebut merupakan akad syirkah. Sebaliknya jika ujrah yang diberikan
berdasarkan hasil sewa, maka termasuk akad ijarah dan bukan akad syirkah.
Imbas lain dari pemberlakuan akad syirkah
adalah akuisisi yang dilakukan Pak Zaid secara bertahap terhadap saham yang
dimiliki oleh Pak Ahmad. Akuisisi sehingga berakibat berkurangnya rasio modal
Pak Ahmad atas syirkah sehingga terjadi perpindahan miliki secara berangsur
inilah maka akad syirkah ini memperkenalkan istilah mutanaqishah. Akuisisi ini
dihukumi sebagai boleh selama ada idzin dari salah satu pihak, yakni Pak Ahmad.
Berbeda dengan apabila diberlakukan akad ijarah, maka pembayaran yang dilakukan
oleh Pak Ahmad di luar ujrah sewa, adalah sama dengan akad bai’ muajjal, yaitu
jual beli secara cicilan. Menurut beberapa ulama’ kontemporer, akad ijarah yang
diakhiri dengan kepemilikan salah satu pihak disebut juga dengan istilah akad
ijarah muntahiyah bi al-tamlik, yaitu akad sewa yang berakhir dengan pindahnya
kepemilikan akan suatu aset/barang. Insyaallah kelak akan dikaji lebih mendalam
tentang akad ini.
Sebagai kesimpulan terakhir, ada sebuah qaul
yang penulis ingat dari perkataan Imam al-Syathibi dalam kitabnya al-Muwafaqat,
Juz 2 hal. 513, ia menyebutkan:
الأصل
في العبادات بالنسبة إلى المكلف التعبد دون الالتفات إلى المعاني ، وأصل العادات
الالتفات إلى المعاني
Artinya: “Hukum asal ibadah yang dinisbahkan
kepada mukallaf adalah ta’abbud (tidak melakukan penafsiran hukum/istiqra’)
bukan berpaling kepada makna. Sedangkan hukum asal adat adalah berpaling kepada
makna (sehingga perlu penafsiran hukum/istiqra’).” (Lihat : Abu Ishaq Ibrahim
bin Musa bin Muhammad al-Lakhamy al-Syathiby, al-Muwafaqat, Juz. 2, Daru
‘Affan, 2003, hal. 513!)
Mengikut metodologi yang disampaikan oleh
Al-Syatiby ini, maka hukum asal dari ibadat adalah melaksanakan (ta’abbud) apa
yang diperintahkan dan tidak melakukan penafsiran hukum. Sedangkan hukum asal
dari muamalat/adat adalah mendasarkan substansinya bukan terletak pada
praktiknya (iltifât ila ma’âny). Dalam hal ibadah tidak bisa dilakukan penemuan
atau perubahan atas apa yang telah ditentukan, sementara dalam bidang muamalat
terbuka lebar kesempatan untuk melakukan perubahan dan penemuan yang baru,
karena prinsip dasarnya adalah adanya izin (al-idzn). Sebagaimana mu’amalah
yang dilakukan antara Pak Ahmad dan Pak Zaid di atas, maka adanya idzin dari
Pak Ahmad agar Pak Zaid mengakuisisi modal yang ia berikan secara bertahap
menjadikan catatan bahwa syirkah mutanaqishah- yang berakibat pengurangan saham
salah satu pihak - adalah “boleh” dilaksanakan.
Wallahu a’lam
[]
Muhammad Syamsudin, Pegiat Kajian Fiqih
Terapan dan Pengasuh PP Hasan Jufri Putri, P. Bawean, JATIM
Tidak ada komentar:
Posting Komentar