Rabu, 06 Februari 2019

(Buku of the Day) Hari-hari Terkahir Bersama Gus Dur


Gus Dur dan Pemerintahan yang Dibangunnya


Judul                : Hari-hari Terkahir Bersama Gus Dur
Penulis             : Bondan Gunawan
Penerbit            : Penerbit Buku Kompas
Cetakan            : Pertama, Mei 2018
Tebal                : xxiii + 328 halaman
ISBN                 : 978-602-412-430-4
Peresensi          : Fathoni Ahmad, warga NU kelahiran Brebes, Jawa Tengah

Presiden ke-4 Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menamakan kabinet pada masa pemerintahannya dengan Kabinet Persatuan Nasional. Nama kabinet ini sesuai dengan misi besar Gus Dur untuk kembali menyatukan seluruh elemen bangsa menjadi karena saat itu ancaman desentegrasi bangsa cukup mengemuka.

Selalu menarik memotret sosok Gus Dur dari semua sisi atau kehidupan yang telah ia lalu sebab inspirasi dan pancaran kharisma cucu Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari ini membuat siapa pun ingin mengetahui lebih mendalam. Termasuk di masa pemerintahan Gus Dur seperti yang dipotret Bondan Gunawan dalam bukunya ini.

Bondan Gunawan merupakan Sekretaris Pengendalian Pemerintahan (Sesdalprin) di era Presiden Gus Dur. Dalam buku berjudul Hari-Hari Terkahir Bersama Gus Dur, Bondang berusaha merefleksikan kenangan berinterkasi langsung dengan sosok yang dikenal humanis tersebut.

Ia menguraikan pengalamannya bersama Gus Dur dari sedari bersama saat aktif di Forum Demokrasi (Fordem) hingga Gus Dur dilengserkan secara inskonstitusional oleh Sidang Istimewa (SI) MPR yang dipimpin Amin Rais.

Buku setebal 328 halaman ini juga ditulis oleh Bondan untuk memberikan kejernihan informasi-informasi ‘berkabut’, baik secara sosial maupun politik yang menerpa Gus Dur saat itu. Sehingga buku ini penting dibaca dan dipahami agar masyarakat memperoleh informasi dari orang yang memang dekat dengan Gus Dur.

Namun, di balik semua yang dikisahkan oleh Bondan dalam bukunya ini, Gus Dur memang sosok berbeda. Dia mampu mengemas dan menyelesaikan persoalan sepelik apapun hanya dengan joke. Perilaku nyentriknya tidak hilang bahkan saat dia menjadi Presiden. Yang paling menjadi perhatian ketika Gus Dur terlihat tertidur pulas di pertemuan internasional dengan pemimpin tertinggi Iran, sidang paripurna, rapat pleno di DPR, dan forum-forum besar lainnya.

Tidur merupakan aktivitas di mana manusia tidak sadar terhadap apa terjadi di sekelilingnya. Namun, hal ini berbeda dengan tidur KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dinilai banyak kalangan menyimpan misteri.

Misteri yang dimaksud ialah, meskipun dalam kondisi tertidur ketika diskusi, rapat, musyawarah, dan lain-lain, Gus Dur justru mampu menanggapi dengan tangkas dan cerdas pembicaraan di forum. Persis seperti orang yang terjaga padahal dirinya terlelap ketika forum berlangsung.

Awalnya, tidak sedikit orang-orang yang tidak menyukai perilaku Gus Dur tersebut karena dianggap kurang sopan dan tidak etis. Namun, justru ketika Gus Dur mampu menanggapi musyawarah dengan brilian setelah terlelap, orang-orang tersebut berbalik kagum, hormat, dan menyukai Gus Dur.

Tidak ada yang meragukan kecerdasan dan level pengabdian KH Abdurrahman Wahid kepada agama, bangsa, dan negara untuk menjadi seorang pemimpin. Potensi besar menjadi pemimpin ini dilihat secara serius oleh sahabatnya, Fahmi Djafar Saifuddin (1942-2002). Bukan hanya pada level organisasi Islam terbesar di dunia seperti Nahdlatul Ulama (NU), tetapi juga menjadi seorang pemimpin negara, Presiden.

Meskipun serius ‘mengarsiteki’ Gus Dur menjadi pemimpin bangsa, Fahmi D. Saifuddin justru terlebih dahulu mendorong Gus Dur agar terbiasa memakai sepatu. Karena walau kemana pun dan dalam kegiatan apapun, Gus Dur kerap memakai sandal. Hal itu yang menurutnya cukup mengganjal dalam pikiran Fahmi, padahal Gus Dur sendiri merasa nyaman memakai sandal meski dirinya kala itu telah menjabat Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).

Itulah Gus Dur, sosok yang mampu menjadikan sesuatu yang dianggap luar biasa oleh orang pada umumnya, tetapi baginya, persoalan yang menyangkut sisi artifisial tersebut adalah hal yang biasa. Karena yang terpenting bagi Gus Dur ialah substansi atau inti dari problem yang lebih luas.

Dalam proses memerintah seperti banyak yang diceritakan dalam buku ini, Gus Dur merupakan Presiden yang berhasil menghalau ancaman disintegrasi bangsa pasca-kerusuhan dan konflik horisontal tahun 1998. Gus Dur juga melihat, otoritarianisme Orde Baru yang dipimpin Soeharto menyimpan banyak problem sosial dan politik. Baginya, potensi disintegrasi dari dampak ketidakadilan Orde Baru harus bisa diredam dan dirajut kembali sehingga Indonesia tetap satu bangsa.

Upaya tersebut tidak hanya dilakukan Gus Dur di dalam negeri, tetapi juga menguatkan konslidasi di luar negeri dengan tujuan yang lebih luas, yaitu mewujdukan perdamaian dunia. Terutama memberikan rasa aman kelompok Muslim di Barat yang minoritas secara jumlah.

Gus Dur bolak-balik mengatakan kepada para pemimpin dunia bahwa Indonesia mayoritas berpenduduk Muslim, bahkan terbesar di dunia. Namun, mayoritas Muslim di Indonesia hidup damai dengan kelompok-kelompok lain yang menjadi minoritas. Hal ini tidak lain merupakan upaya Gus Dur untuk melindungi Muslim di Barat yang menjadi minoritas. Selengkapnya, selamat membaca! []

Tidak ada komentar:

Posting Komentar