Gus Dur dan
Pemerintahan yang Dibangunnya
Judul
: Hari-hari Terkahir Bersama Gus Dur
Penulis
: Bondan Gunawan
Penerbit
: Penerbit Buku Kompas
Cetakan
: Pertama, Mei 2018
Tebal
: xxiii + 328 halaman
ISBN
: 978-602-412-430-4
Peresensi
: Fathoni Ahmad, warga NU
kelahiran Brebes, Jawa Tengah
Presiden ke-4
Republik Indonesia KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menamakan kabinet pada masa
pemerintahannya dengan Kabinet Persatuan Nasional. Nama kabinet ini sesuai
dengan misi besar Gus Dur untuk kembali menyatukan seluruh elemen bangsa
menjadi karena saat itu ancaman desentegrasi bangsa cukup mengemuka.
Selalu menarik
memotret sosok Gus Dur dari semua sisi atau kehidupan yang telah ia lalu sebab
inspirasi dan pancaran kharisma cucu Hadlratussyekh Hasyim Asy’ari ini membuat
siapa pun ingin mengetahui lebih mendalam. Termasuk di masa pemerintahan Gus
Dur seperti yang dipotret Bondan Gunawan dalam bukunya ini.
Bondan Gunawan
merupakan Sekretaris Pengendalian Pemerintahan (Sesdalprin) di era Presiden Gus
Dur. Dalam buku berjudul Hari-Hari Terkahir Bersama Gus Dur, Bondang berusaha
merefleksikan kenangan berinterkasi langsung dengan sosok yang dikenal humanis
tersebut.
Ia menguraikan
pengalamannya bersama Gus Dur dari sedari bersama saat aktif di Forum Demokrasi
(Fordem) hingga Gus Dur dilengserkan secara inskonstitusional oleh Sidang
Istimewa (SI) MPR yang dipimpin Amin Rais.
Buku setebal 328
halaman ini juga ditulis oleh Bondan untuk memberikan kejernihan
informasi-informasi ‘berkabut’, baik secara sosial maupun politik yang menerpa
Gus Dur saat itu. Sehingga buku ini penting dibaca dan dipahami agar masyarakat
memperoleh informasi dari orang yang memang dekat dengan Gus Dur.
Namun, di balik semua
yang dikisahkan oleh Bondan dalam bukunya ini, Gus Dur memang sosok berbeda.
Dia mampu mengemas dan menyelesaikan persoalan sepelik apapun hanya dengan
joke. Perilaku nyentriknya tidak hilang bahkan saat dia menjadi Presiden. Yang
paling menjadi perhatian ketika Gus Dur terlihat tertidur pulas di pertemuan internasional
dengan pemimpin tertinggi Iran, sidang paripurna, rapat pleno di DPR, dan
forum-forum besar lainnya.
Tidur merupakan
aktivitas di mana manusia tidak sadar terhadap apa terjadi di sekelilingnya.
Namun, hal ini berbeda dengan tidur KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) yang dinilai
banyak kalangan menyimpan misteri.
Misteri yang dimaksud
ialah, meskipun dalam kondisi tertidur ketika diskusi, rapat, musyawarah, dan
lain-lain, Gus Dur justru mampu menanggapi dengan tangkas dan cerdas
pembicaraan di forum. Persis seperti orang yang terjaga padahal dirinya
terlelap ketika forum berlangsung.
Awalnya, tidak
sedikit orang-orang yang tidak menyukai perilaku Gus Dur tersebut karena
dianggap kurang sopan dan tidak etis. Namun, justru ketika Gus Dur mampu menanggapi
musyawarah dengan brilian setelah terlelap, orang-orang tersebut berbalik
kagum, hormat, dan menyukai Gus Dur.
Tidak ada yang
meragukan kecerdasan dan level pengabdian KH Abdurrahman Wahid kepada agama,
bangsa, dan negara untuk menjadi seorang pemimpin. Potensi besar menjadi
pemimpin ini dilihat secara serius oleh sahabatnya, Fahmi Djafar Saifuddin
(1942-2002). Bukan hanya pada level organisasi Islam terbesar di dunia seperti
Nahdlatul Ulama (NU), tetapi juga menjadi seorang pemimpin negara, Presiden.
Meskipun serius
‘mengarsiteki’ Gus Dur menjadi pemimpin bangsa, Fahmi D. Saifuddin justru
terlebih dahulu mendorong Gus Dur agar terbiasa memakai sepatu. Karena walau
kemana pun dan dalam kegiatan apapun, Gus Dur kerap memakai sandal. Hal itu
yang menurutnya cukup mengganjal dalam pikiran Fahmi, padahal Gus Dur sendiri
merasa nyaman memakai sandal meski dirinya kala itu telah menjabat Ketua Umum
Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU).
Itulah Gus Dur, sosok
yang mampu menjadikan sesuatu yang dianggap luar biasa oleh orang pada umumnya,
tetapi baginya, persoalan yang menyangkut sisi artifisial tersebut adalah hal
yang biasa. Karena yang terpenting bagi Gus Dur ialah substansi atau inti dari
problem yang lebih luas.
Dalam proses
memerintah seperti banyak yang diceritakan dalam buku ini, Gus Dur merupakan
Presiden yang berhasil menghalau ancaman disintegrasi bangsa pasca-kerusuhan
dan konflik horisontal tahun 1998. Gus Dur juga melihat, otoritarianisme Orde
Baru yang dipimpin Soeharto menyimpan banyak problem sosial dan politik.
Baginya, potensi disintegrasi dari dampak ketidakadilan Orde Baru harus bisa
diredam dan dirajut kembali sehingga Indonesia tetap satu bangsa.
Upaya tersebut tidak
hanya dilakukan Gus Dur di dalam negeri, tetapi juga menguatkan konslidasi di
luar negeri dengan tujuan yang lebih luas, yaitu mewujdukan perdamaian dunia.
Terutama memberikan rasa aman kelompok Muslim di Barat yang minoritas secara
jumlah.
Gus Dur bolak-balik
mengatakan kepada para pemimpin dunia bahwa Indonesia mayoritas berpenduduk
Muslim, bahkan terbesar di dunia. Namun, mayoritas Muslim di Indonesia hidup
damai dengan kelompok-kelompok lain yang menjadi minoritas. Hal ini tidak lain
merupakan upaya Gus Dur untuk melindungi Muslim di Barat yang menjadi
minoritas. Selengkapnya, selamat membaca! []
Tidak ada komentar:
Posting Komentar