Selasa, 26 Februari 2019

(Ngaji of the Day) Definisi dan Pembagian Masyaqqah terkait Keringanan Hukum Islam


Definisi dan Pembagian Masyaqqah terkait Keringanan Hukum Islam

Dalam kehidupan, terkadang kita mendapatkan beberapa kesulitan. Kesulitan ini menghambat ibadah kita kepada Allah SWT. Dalam kajian fiqih, kesulitan seperti ini biasanya disebut dengan masyaqqah. Karena kesulitan yang kita alami ini, Allah terkadang memberikan keringanan dalam pelaksanaan hukum (rukhsah).

Namun perlu diketahui bahwa tidak semua kesulitan yang kita alami bisa mendapatkan rukhsah, hal ini akan kita bahas dalam paragraf selanjutnya.

Secara bahasa, masyaqqah berarti sulit, berat, atau kata-kata yang searti dengannya. Dalam ungkapan bahasa arab, kita ada yang berbicara, “Syaqqa alaihi syaiun”, maka artinya, ada hal atau sesuatu yang membuat seseorang menjadi berat atau sulit.

Dalam Al-Quran juga terdapat kata yang seakar dengan masyaqqah, yakni kata syiqqil anfus dalam Surat An-Nahl ayat 7:

وَتَحْمِلُ أَثْقَالَكُمْ إِلَىٰ بَلَدٍ لَمْ تَكُونُوا بَالِغِيهِ إِلَّا بِشِقِّ الْأَنْفُسِ ۚ إِنَّ رَبَّكُمْ لَرَءُوفٌ رَحِيمٌ

Artinya, “Ia memikul beban-bebanmu ke suatu negeri yang kamu tidak sanggup sampai kepadanya, melainkan dengan kesukaran-kesukaran (yang memayahkan) diri. Sesungguhnya Tuhanmu benar-benar Maha Pengasih lagi Maha Penyayang,” (Surat An-Nahl ayat 7).

Imam As-Syatibi dalam Kitab Al-Muwafaqat menjelaskan bahwa dalil adanya masyaqqah dalam Al-Quran sudah sangat jelas dan banyak sekali:

وفيه نصوص كثيرة كقوله فمن اضطر غير باغ ولا عاد فلا إثم عليه وقوله فمن كان منكم مريضا أو على سفر الآية

Artinya, “Ada beberapa ayat yang menjelaskan hal ini (masyaqqah), pertama adalah al-Baqarah ayat 173, ‘Siapa saja dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya.’ Selain itu juga Al-Baqarah ayat 184: Maka siapa saja di antara kamu ada yang sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka),” (Lihat As-Syatibi, Al-Muwafaqat fi Ushulil Fiqh, [Beirut: Darul Ma’rifat, tanpa catatan tahun), halaman 330).

Imam As-Syathibi menambahkan bahwa ada empat makna dari masyaqqah. Masyaqqah dimaknai salah satunya sebagai perbuatan yang sebenarnya mampu dilakukan orang, hanya saja saat melakukan hal tersebut, seseorang merasakan kesulitan.

Adapun masyaqqah yang bisa berpengaruh dalam hukum, menurut Imam As-Syathibi adalah suatu pekerjaan yang saat dilakukan dapat menjadikan anggota tubuh kita tidak berfungsi dengan baik.

Sedangkan As-Suyuthi, sebagaimana dikutip oleh Sayyid Abdurrahman Al-Ahdal dalam kitabnya, Al-Mawahibus Saniyah Syarah Faraidhul Bahiyah membagi masyaqqah menjadi dua. Pertama, masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan kewajiban beribadah. Kedua, masyaqqah yang dapat menggugurkan kewajiban beribadah.

قال السيوطي: المشاق علي قسمين: قسم لا يأثر في إسقاط العبادات كمشقة السفر للحج والجهاد وألم حد الزنا ونحوه

Artinya, “As-Suyuthi berpendapat, masyaqqah terbagi atas dua bagian. Pertama, masyaqqah yang tidak berdampak pada gugurnya ibadah, yaitu masyaqqah perjalanan haji, jihad, dan sakitnya had zina dan semacamnya,” (Lihat Abdurrahman Al-Ahdal, Al-Mawahibus Saniyah Syarah Faraidhul Bahiyah, [Tanpa keterangan kota: Darur Rasyid, tanpa catatan tahun], halaman 234).

Pembagian masyaqqah yang pertama adalah masyaqqah yang tidak dapat menggugurkan sebuah ibadah, yaitu merasakan kelelahan dalam perjalanan haji. Sejauh apapun perjalanan kita menuju haji, tidak akan dapat menggugurkan ibadah haji kita karena lelah tersebut. Contoh lain, sakitnya tubuh karena hukuman zina. Sakit tersebut tidak akan dapat memberikan keringanan atau menggugurkan ibadah kita.

Sedangkan pembagian masyaqqah yang kedua adalah masyaqqah yang dapat menggugurkan ibadah.

وقسم يأثر في إسقاط العبادة كمشقة الخوف علي نفس أو مال

Artinya, “Pembagian masyaqqah kedua adalah masyaqqah yang berdampak pada gugurnya ibadah, yaitu masyaqqah karena takut hilangnya bagian tubuh atau fungsi tubuh tersebut,” (Lihat Abdurrahman Al-Ahdal, Al-Mawahibus Saniyah Syarah Faraidhul Bahiyah, [Tanpa keterangan kota: Darur Rasyid, tanpa catatan tahun], halaman 235).

Hal ini dikarenakan menjaga jiwa dan raga dalam syariat lebih diutamakan. Jika masih dipaksa untuk melakukan sesuatu yang sebenarnya tidak mampu dilakukan dan akan berakibat fatal pada keselamatan jiwa, maka diberlakukanlah ruhksah agar bisa tetap menjalankan ibadah dengan keringanan, selain itu juga menjaga jiwa orang tersebut. Wallahu a‘lam. []

Sumber: NU Online

Tidak ada komentar:

Posting Komentar