Modifikasi
Produk Musyarakah dalam Unit Kemitraan Dagang Perbankan Syariah
Berbagi untung dan
rugi adalah sebuah keniscayaan dalam sistem kemitraan musyarakah. Namun
demikian, pembagiannya pun harus tetap tunduk pada kesepakatan yang dibangun
serta aturan main dan persyaratan musyarakah yang secara ijtihady telah
dibangun oleh kalangan fuqaha. Dalam perbankan syariah, musyarakah merupakan
produk yang menyatukan antara kerja dan modal. Produk ini selain untuk unit
usaha barang dan jasa, namun juga untuk jenis unit usaha lain yang bisa
menghasilkan keuntungan. Berangkat dari pengertian ini, maka produk musyarakah
tidak hanya ditemui pada skala perdagangan murni jangka panjang saja, melainkan
juga perdagangan berjangka pendek ataupun menengah. Inilah yang kemudian
mendorong langkah modifikasi sistem musyarakah menjadi musyarakah komersial,
musyarakah mutanaqishah (berkurang), dan musyarakah permanen. Kelak akan
dijelaskan masing-masing pengertiannya.
Untuk musyarakah
dagang (serikat dagang), jalinan perjanjian yang dibangun antara dua pihak yang
saling berserikat adalah upaya pembelian dan penjualan sebuah komoditas. Baik
bank maupun mitranya, sama-sama mengeluarkan modal usaha untuk pembiayaan serikat
yang dibentuk, dengan keberadaan mitra bank sebagai pelaksana dan sekaligus
pengendalian usaha, baik dalam hal pembelian komoditas, penjualan dan
pemasarannya, serta akuntansi transaksinya. Pihak mitra ini berkewajiban
melakukan pelaporan kepada pihak bank dalam bentuk nota berkala. Selanjutnya
bank berkewajiban melakukan audit serta pengawasan.
Peran kontrak
musyarakah bagi perbankan adalah dapat memacu percepatan sirkulasi keuangan
baik modal serta liquiditas dana. Akibanya, peluang keuntungan yang diperoleh
perbankan menjadi semakin besar dengan cakupan zona usaha yang semakin kompleks
juga. Imbas lainnya adalah penurunan tingkat risiko kerugian memutar dana
nasabah, sehingga mengakibatkan rentannya jaminan bank terhadap dana nasabah
menjadi semakin kecil. Tidak adanya margin/batasan rasio besaran modal (‘urudl)
menurut fiqih antara bank dan mitra, menjadikan pihak bank menjadi lebih
leluasa dalam menguasai saham.
Husain Kamil dan
Gharib Nasher selaku praktisi perbankan syariah, di dalam buku karya Abdullah
Saeed yang berjudul Islamic Banking and Interest (Leiden: E.J. Brill, 1996)
mengatakan bahwa rasio modal musyarakah secara umum adalah bergantung pada
karakteristik individu dari peserta musyarakah dalam memandang prospek
keuntungan dan risiko keamanan dana dalam kemitraan mereka. Maksudnya di sini,
adalah bahwa rasio modal serikat adalah bergantung pada ‘urfi dan adaby
(kredibilitas) pengelola. Jika personal pelaksana memiliki prospek yang
menjanjikan usaha, maka ada kemungkinan terjadi tingkat keragaman rasio modal
tersebut. Namun, meskipun rasio modal tidak ditentukan dan dibatasi oleh fiqih,
namun keragaman rasio modal tersebut dipandang sah oleh fiqih selagi syarat
utama musyarakah dipenuhi.
Melihat ciri khas
pelaksanaan musyarakah dagang, maka biasanya pihak serikat yang mengajukan
pembiayaan kemitraan kepada perbankan syariah adalah ditujukan untuk
kepentingan waktu jangka pendek. Oleh karenanya, musyarakah dagang ini sering
dikelompokkan sebagai kelompok finance project atau pendanaan sebuah proyek.
Untuk skala besar bisa diterapkan dalam kerangka ekspor-impor komoditas,
penyediaan bahan mentah, dan lain-lain. Oleh karenanya, dalam musyarakah
dagang, senantiasa disertai dengan adanya nota penyertaan tempo kapan
musyarakah itu berakhir. Praktik di bank konvensional, tempo tersebut dimaknai
sebagai waktu jatuh tempo pelunasan hutang yang ditambah dengan riba. Sementara
di dalam bank syariah, waktu jatuh tempo musyarakah dimaknai sebagai masa
berakhirnya hubungan kemitraan antara bank dan peserta serikat lainnya, yang
disertai dengan pembagian nisbah keuntungan menurut rasio saham ditambah
pengembalian modal oleh serikat kepada bank syariah. Untuk lebih jelasnya,
perhatikan ilustrasi berikut!
“Pak Ahmad dan Pak
Hasan membentuk sebuah serikat dagang. Misalnya, modal keduanya adalah 2 juta.
Suatu ketika ia menerima kontrak pengiriman barang ke Kalimantan dan setelah
dikalkulasi ternyata dibutuhkan tambahan modal total 3 juta. Untuk menutup
kekurangan dana sebesar 1 juta, ia mengajak Pak Zaid dengan perjanjian, setelah
terlaksananya proyek itu, maka berakhir pula serikat ketiganya. Rasio
kepemilikan serikat ketiganya menjadi masing-masing adalah sebesar 1/3 total
saham. Setelah dilakukan pengiriman, ternyata mereka untung sebesar 1.500.000.
Berapakah bagian yang didapatkan Pak Zaid? Sesuai dengan kepemilikan saham yang
dipunyai oleh Pak Zaid, maka nisbah bagi hasil yang diterima Pak Zaid adalah
500.000 rupiah. Dan apabila syirkah tersebut ditutup, maka suntikan modal yang
diberikan oleh Pak Zaid sebesar 1 juta rupiah harus dikembalikan oleh serikat
Pak Ahmad dan Pak Hasan.”
Sekarang lakukan
pengandaian bahwa Pak Zaid tersebut adalah bank dan modal sebesar 1 juta adalah
dana nasabah yang dipergunakan oleh bank dalam memberikan suntikan ke serikat
tersebut! Sampai di sini, maka jaminan keamanan dana nasabah adalah tetap.
Sementara bank mendapatkan nisbah bagi hasil dari serikat sebesar 500.000
rupiah, yang selanjutnya sebagian hasil tersebut diberikan kepada nasabahnya
berdasar nisbah yang mereka sepakati. Demikianlah, sedikit gambaran tentang
pelaksanaan musyarakah dagang di lingkungan perbankan syariah. Semoga
bermanfaat bagi kita semua.
Wallahu a’lam.
[]
Muhammad Syamsudin,
Pegiat Kajian Fiqih Terapan dan Pengasuh Pondok Pesantren Hasan Jufri Putri, P.
Bawean, Jatim
Tidak ada komentar:
Posting Komentar