Istri Dianggap ‘Nusyuz’
bila Melakukan Hal Ini
Dalam bahtera pernikahan, persoalan pasti
akan selalu ada. Perselisihan pendapat dalam sebuah masalah hampir dipastikan
terjadi antara suami dan istri. Tidak jarang, muara dari perselisihan tersebut
adalah sikap nusyuz yang ditampakkan oleh sang istri. Dalam pemaparan kali ini,
akan dibahas apa sebenarnya arti dari nusyuz, apa saja yang bisa menyebabkan
seorang perempuan dianggap nusyuz, apa yang harus dilakukan oleh suami, dan
bagaimana konsekuensi hukumnya menurut syariat.
Mustafa al-Khin dan Musthafa al-Bugha dalam
al-Fiqh al-Manhaji ‘ala Madzhab al-Imam al-Syâfi’i (Surabaya: Al-Fithrah,
2000), juz IV, halaman 106, mendefinisikan nusyuz dengan redaksi berikut:
ونشوز
المرأة: عصيانها زوجها، وتعاليها عمّا أوجب الله عليها من طاعته…ونشوز المرأة
حرام، وهو كبيرة من الكبائر
Artinya: “Nusyuz-nya seorang perempuan ialah
sikap durhaka yang ditampakkannya di hadapan suami dengan jalan tidak
melaksanakan apa yang Allah wajibkan padanya, yakni taat terhadap suami…
nusyuz-nya perempuan ini hukumnya haram, dan merupakan satu dari beberapa dosa
besar.”
Selain haram, nusyuz juga mengakibatkan
konsekuensi hukum berupa terputusnya nafkah, sebagaimana dijelaskan oleh Syekh
Muhammad bin Qasim dalam Fathul Qarib (Surabaya: Kharisma, 2000), halaman
239:
ويسقط
بالنشوز قسمُها ونفقتها
Artinya: “Ada dua hal yang bisa gugur akibat
nusyuz, yakni hak gilir dan hak mendapatkan nafkah”.
Lebih lanjut, dalam lanjutan teks di kitab
al-Fiqh al-Manhaji dijelaskan bahwa seorang perempuan akan dianggap nusyuz
apabila ia keluar rumah dan bepergian tanpa seizin suami, tidak membukakan
pintu bagi suami yang hendak masuk, dan menolak ajakan suami untuk berhubungan
suami-istri padahal ia tidak sedang uzur seperti sakit atau lainnya, atau saat
suami menginginkannya namun ia sibuk dengan hajatnya sendiri, dan lainnya.
Lantas apakah berarti setiap akan keluar atau
bepergian, seorang istri harus meminta izin lagi dan lagi kepada suaminya?
Tidak juga. Izin dari suami ini bisa diberikan secara umum, artinya jika
diyakini bahwa suami pasti rela, maka itu bisa dianggap sebagai izin.
Tidak semua tindakan kasar yang dilakukan
oleh istri dianggap sebagai nusyuz. Sebagaimana dijelaskan dalam lanjutan teks
kitab Fathul Qarib:
وليس
الشتم للزوج من النشوز، بل تستحق به التأديب من الزوج في الأصح، ولا يرفعها إلى
القاضي
Artinya: “Menurut pendapat yang lebih sahih,
berkata kasar kepada suami bukan termasuk nusyuz, tetapi dia berhak (harus)
diajari oleh suami jika melakukan hal tersebut. Jika hal ini terjadi, suami
tidak perlu melapor pada qadli (hakim).”
Jika sudah terbukti bahwa istri melakukan
nusyuz dengan cara keluar rumah atau bepergian semaunya tanpa seizin suami atau
menolak ajakan suami untuk berhubungan, maka tindakan yang perlu dilakukan oleh
suami, sudah dijelaskan dalam Al-Qur’an, yakni:
وَاللاَّتِي
تَخَافُونَ نُشُوزَهُنَّ فَعِظُوهُنَّ وَاهْجُرُوهُنَّ فِي الْمَضَاجِعِ
وَاضْرِبُوهُنَّ فَإِنْ أَطَعْنَكُمْ فَلاَ تَبْغُواْ عَلَيْهِنَّ سَبِيلاً إِنَّ
اللهَ كَانَ عَلِيّاً كَبِيراً
Artinya: “Wanita-wanita yang kamu khawatirkan
nusyuz-nya, maka nasehatilah mereka dan pisahkanlah mereka di tempat tidur
mereka, dan pukullah mereka. Kemudian jika mereka menaatimu, maka janganlah
kamu mencari-cari jalan untuk menyusahkannya. Sesungguhnya Allah Maha Tinggi
lagi Maha Besar.” (QS an-Nisa: 34)
Cara pertama ialah suami menasihati istrinya
bahwa apa yang dilakukan tersebut adalah haram dan bisa mengakibatkan
terhentinya pemberian nafkah lahir. Jika masih nusyuz, maka langkah kedua ialah
tidak memberikan nafkah batin kepadanya. Langkah terakhir jika masih tetap
nusyuz ialah dengan memukulnya, namun memukul di sini tidak boleh sembarangan,
pukulan yang dilakukan hanyalah pukulan yang sifatnya ancaman belaka, dan tidak
boleh melukai.
Wallahu a’lam bish-shawab.
[]
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar