Mengapa Kita Harus
Bermazhab?
Dalam beragama (Islam) kita sering mendengar
ada sebagian Muslim yang menyatakan bahwa dalam mempelajari dan mengamalkan
ajaran agama kita tidak perlu menganut mazhab imam tertentu karena cukup
langsung merujuk kepada Al-Qur’an dan as-Sunnah. Karena kedangkalan ilmunya
maka mereka menyangka bahwa para mujtahid atau imam mazhab dalam beragama itu
tidak berpedoman, melanggar keduanya atau memahami agama tanpa dalil dan tanpa
metode. Jadi, dalam beragama perlukah kita bermazhab, dan apakah hakikat
bermazhab itu?
Setahu saya dalam berbagai referensi Ilmu
Ushul al-Fiqh terdahulu kita tidak menemukan kata "al-tamadzhub (menganut
mazhab)". Namun dengan meneliti secara cermat berbagai literatur sejarah
(tarikh dan thabaqat al-'ulama') kita bisa mendapati para ulama yang
menisbatkan diri kepada mazhab tertentu, sebagaimana lazim disebutkan di
belakang namanya. Tak terhitung banyaknya ulama yang secara terang-terangan
mengikuti mazhab fiqih tertentu.
Apa sesungguhnya hakikat bermazhab itu?
Berikut ini beberapa kutipan dari pendapat
ulama dan sedikit ulasan saya untuk menyingkap apa hakikat bermazhab itu.
Pertama, Al-Imam Taj al-Din al-Subki dalam
kitab Jam'ul Jawâmi', jilid 2, hal. 123 menyatakan:
التزام
غير المجتهد مذهبا معينا يعتقده أرجح أو مساويا لغيره
"Berpegang teguhnya selain mujtahid
kepada mazhab tertentu yang diyakininya lebih kuat atau setara dengan
selainnya."
Komentator dari kitab tersebut seperti Badr
al-Din al-Zarkasyi dalam Tasynif al-Masami', jilid 4, hal. 619 dan Waliy al-Din
al-'Iraqi dalam al-Ghaits al-Hami', jilid 3, hal. 905 menjadikan pernyataan Taj
al-Subki di atas sebagai definisi dari al-tamadzhub (bermazhab).
Menurut al-'Aththar dalam Hasyiyah
al-'Aththar 'ala Syarh al-Mahalli 'ala Jam' al-Jawami', jilid 2, hal. 440 saat
memberikan catatan atas kata "iltizam" menyatakan bahwa arti
"iltizam" adalah orang yang bermazhab itu dalam menghadapi suatu
perkara (kasus hukum) tidak mengambil (mencari jawaban) kecuali pada mazhab
tertentu.
Kedua, Al-Syaikh Ramadlan al-Buthi dalam
kitab berjudul Alla Mazhabiyyah Akhtharu Bid'atin Tuhaddid al-Syari'ah
al-Islamiyyah, halaman 11 menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan bermazhab
(al-tamadzhub) adalah:
أن
يقلد العامي أو من لم يبلغ رتبة الإجتهاد مذهب إمام مجتهد سواء التزم واحد بعينه
أو عاش يتحول من واحد على آخر
"Bertaklidnya orang awam atau orang yang
belum mencapai peringkat mampu berijtihad kepada mazhab imam mujtahid, baik ia
terikat pada satu mazhab tertentu atau ia hidup berpindah dari satu mazhab ke
mazhab yang lainnya."
Definisi ini memasukkan orang awam dalam
status bermazhab. Sebab cukup dimaklumi bahwa apakah orang awam harus bermazhab
atau tidak adalah tergolong masalah khilafiyah (yang tidak disepakati para
ulama).
Ketiga, Jibril Migha mendefinisikan
al-tamadzhub sebagai berikut:
اتخاذ
عالم مذهبا له يتبعه ويلتزمه في الأصول والفروع دون غيره من مذاهب المجتهدين
الآخرين أو انتسابا فقط
"Orang alim yang menganut mazhab
mujtahid sebagai mazhabnya, ia ikuti dan ia berpegang teguh kepadanya dalam
al-ushul dan al-furu' (fiqih), bukan kepada selainnya dari beberapa mazhab para
mujtahid lainnya atau menisbatkan diri saja."
Definisi yang cukup komprehensif di atas
menjelaskan, bahwa bermazhab itu hanya absah bagi orang yang mampu mengenali
mazhab imamnya di antara beberapa mazhab lainnya, mampu untuk ber-istidlal
(menalar dan mengupayakan dalil) mazhabnya dan mampu membelanya.
Bermazhab model ini adalah dengan menguasai
ilmu-ilmu dalam mazhab imamnya, baik berupa al-ushul (dalil-dalil dalam mazhab
imamnya) maupun al-furu' (masalah-masalah syar'iyyah praktis yang eksistensinya
tidak diketahui secara pasti dalam agama/fiqih) atau mengikuti hanya karena
menisbatkan diri kepada mazhab tertentu.
Jadi, menurut sebagian ulama al-ushul bahwa
bermazhab itu tidak berlaku absah bagi kalangan awam, sedangkan yang sah bagi
mereka adalah bertaklid, karena mengetahui dalil suatu peristiwa hukum telah
mengeluarkannya dari lingkaran taklid. Sedangkan dalam bermazhab mengetahui
dalil tidak mengeluarkannya dari bermazhab.
Bermazhab itu sangat penting bagi orang beragama
agar pemahaman dan praktik agamanya benar. Karena bermazhab merupakan metode
untuk mengetahui hukum suatu peristiwa yang dihadapi dengan merujuknya pada
fiqih mazhab tertentu yang dianut atau upaya penyimpulannya dilakukan
berdasarkan ushul al-mazhab yang diyakininya.
Hakikat kebenaran dalam Islam, khususnya yang
berkaitan erat dengan al-ahkam al-ijtihadiyah (hukum-hukum praktis hasil
ijtihad) akan lebih aman, terjaga, selamat dari kekeliruan pemahaman, jauh dari
ketersesatan dan lebih maslahat apabila dalam beragama umat Islam bersedia
mengikuti dan terikat kepada salah satu dari mazhab yang empat (mazhab:
al-Hanafi, al-Maliki, al-Syafi'i atau al-Hanbali), karena para imam mazhab
(mujtahidun) itu telah disepakati para ulama paling memiliki otoritas dan lebih
bisa dipercaya dalam menafsirkan sumber utama hukum Islam, yakni Al-Qur’an dan
al-Sunnah, dan merekalah ulama yang diberi kewenangan oleh Allah dan Rasul-Nya
untuk menjelaskan kebenaran agama Islam kepada kita semua. Sesungguhnya ulama
itu adalah pewaris ilmu dan amalan para nabi terdahulu yang wajib kita ikuti
dan harus kita hormati. []
KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriyah Pengurus
Besar Nahdlatul Ulama (PBNU)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar