Cara Cina [Tionghoa] Menjadi Muslim (2)
Oleh: Azyumardi Azra
Bagaimana cara warga keturunan Cina (Tionghoa) menjadi Muslim?
Pertama-tama perlu ditegaskan, eksistensi Tionghoa Muslim Indonesia tidak sama
sekali baru. Hew Wai Weng dalam karyanya Chinese
Ways of Being Muslim: Negotiating Ethnicity and Religiousity in Indonesia
(Copenhagen: NIAS Press, 2018) menyodorkan kembali berbagai bukti historis
mereka, khususnya di Jawa sejak abad 15-16 seperti dikaji para sarjana
terdahulu.
Cukup banyak pula kajian dengan kualitas akademik tepercaya
tentang kehadiran warga Cina Muslim Indonesia sejak masa awal tersebut.
Misalnya saja, banyak bukti historis tentang Laksama Muhammad Cheng Ho dan para
pengikut; bahkan juga klaim tentang adanya kalangan Wali Songo dari keturunan
Cina.
Masalahnya kemudian, sangat sulit memastikan pertumbuhan
kuantitatif mereka sepanjang sejarah sampai sekarang. Menurut berbagai
estimasi, kini warga keturunan Tionghoa berjumlah sekitar 2 sampai 3 persen
(6-8 juta jiwa) dari sekitar 260 juta penduduk Indonesia.
Menurut perkiraan 2008, lebih separuh (53,82 persen) warga
keturunan menganut Buddha; 35,09 persen Nasrani (Kristen dan Katolik); 5,41
persen Muslim; 1,77 persen Hindu; dan 3,91 dan lain-lain. Persentase ini
mengonfirmasi persepsi bahwa mayoritas warga keturunan Cina adalah non-Muslim.
Namun, Weng menganggap estimasi persentase warga Cina Muslim di
atas berlebihan—pendapat dia ini dibenarkan kalangan tokoh Cina Muslim. Oleh
karena itulah, warga Tionghoa Muslim Indonesia menjadi double-minority; minoritas
di tengah warga keturunan Tionghoa secara keseluruhan, dan sekaligus minoritas
di antara seluruh kaum Muslim Indonesia.
Kalau begitu, bagaimana cara warga keturunan Cina menjadi Muslim?
Inilah salah satu kesimpulan penting Weng: kebanyakan warga Tionghoa Muslim
Indonesia bukanlah mereka yang sejak kelahiran sudah Muslim; atau lahir dari
ayah-ibu yang sudah Muslim, melainkan pindah agama masuk Islam (mualaf).
Lagi-lagi tidak ada angka pasti atau estimasi jumlah konversi warga Tionghoa ke
Islam.
Menurut Weng, proses warga Tionghoa menjadi Muslim melalui
konversi agama ke dalam Islam disebabkan sejumlah faktor. Pertama, membebaskan
diri dari diskriminasi, termasuk politik.
Pandangan ini antara lain bersumber dari Junus Jahja, tokoh Muslim
keturunan, yang berpendapat, dengan menganut agama mayoritas penduduk,
perbedaan di antara penduduk pribumi Muslim dengan warga keturunan menjadi
sirna. Ini pandangan tentang asimilasi warga keturunan ke dalam masyarakat bumi
putra.
Faktor kedua; sebagian warga keturunan masuk Islam untuk
mendapatkan kesempatan ekonomi dan bisnis lebih luas. Khususnya pada tingkat
lokal, dengan masuk Islam, warga keturunan dapat lebih diterima pemimpin Islam
dan umat setempat. Selanjutnya, warga keturunan yang masuk Islam ini juga
sering melakukan ibadah haji dan umrah sehingga mendapat respek warga Muslim di
lingkungan lebih luas.
Faktor ketiga, memperoleh kebenaran ruhani dan makna dalam
kehidupan. Faktor konversi semacam ini sering dikemukakan penceramah dari
kalangan warga keturunan Tionghoa. Ada di antara mereka yang mengaku mengalami
krisis ruhani dan kemudian masuk Islam karena tersentuh mendengar azan atau
bacaan Alquran.
Dan faktor kelima, melakukan perkawinan dengan calon pasangan
Muslim. Pernikahan yang menyebabkan perpindahan agama ini lazimnya terjadi di
antara generasi muda keturunan.
Proses konversi agama di Indonesia tidaklah sulit. Menjadi Muslim
bagi warga Tionghoa cukup datang ke kiai atau tokoh Islam atau pimpinan ormas
atau pengurus masjid. Selanjutnya yang bersangkutan dibimbing mengucapkan dua
kalimat syahadat dan diberi sertifikat masuk Islam.
Masalahnya kemudian, seperti dicatat Weng, untuk menjadi Muslim
lebih baik, warga keturunan mualaf perlu mendalami berbagai aspek ajaran Islam.
Banyak mualaf mempelajari Islam di masjid tertentu yang menawarkan program
bimbingan khusus untuk muallaf baru. Kalau tidak, mereka mempelajari Islam dari
ceramah agama yang bersifat umum di masjid.
Selain itu, banyak mualaf baru ini belajar Islam dari buku,
pasangan Muslimnya, teman, atau belajar privat. Kini tentu lebih banyak lagi
sumber belajar yang tersedia di dunia maya—internet dan Youtube misalnya.
Terlepas dari berbagai cara warga Tionghoa tersebut menjadi Muslim
lebih baik, Weng mengingatkan tentang adanya tiga fitur pokok terkait
religiositas warga Tionghoa Muslim Indonesia. Pertama, tidak ada identitas
tunggal Cina Muslim Indonesia. Kedua, religiositas mualaf Cina Indonesia tidak
mesti selalu stabil. Dan, ketiga, tingkat religiositas mereka sangat beragam.
[]
REPUBLIKA, 21 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar