Kesalehan dan Politik
Oleh: Azyumardi Azra
Apa hubungan antara kesalehan keagamaan dan politik? Meski tidak
ada ketentuan tegas mengenai hubungan di antara keduanya dalam tata hukum dan
tata politik Indonesia, isu kesalehan agama sering muncul dalam kontestasi
politik. Fenomena ini benar terkait kedua calon presiden RI (Joko Widodo dan
Prabowo Subianto) dalam kontestasi pilpres pada 17 April 2019. Namun, isu ini
relatif tidak menyentuh calon wakil presiden, Ma’ruf Amin dan Sandiaga Uno.
Dalam konteks itu, lazim beredar di ranah publik pembicaraan
terbuka atau lewat hoaks tentang hal ihwal yang pada dasarnya terkait
”kesalehan” keagamaan, misalnya soal apakah dan di manakah seorang capres
shalat Jumat; bagaimana cara dia berwudu, apakah sesuai ketentuan fikih atau
tidak; apakah dia bisa menjadi imam shalat baik yang bacaan ayat-ayatnya
dikeraskan (jahar)
atau tidak (sirr);
atau apakah dia bisa membaca ayat-ayat Al Quran dengan baik atau tidak.
Terkait isu itu, dalam Peraturan Komisi Pemilihan Umum Nomor 22
Tahun 2018 tentang Pencalonan Peserta Pemilihan Umum Presiden dan Wakil
Presiden, syarat bakal calon nomor 1 dari 24 syarat adalah ”Bertakwa kepada
Tuhan Yang Maha Esa”. Kalimat ini mewajibkan bakal calon menganut agama
tertentu; ateis tidak dapat menjadi bakal calon. Lebih dari itu, dia (atau
mereka) tidak sekadar beragama, tetapi juga bertakwa.
Masalahnya, apa ukuran ”bertakwa” dalam konteks kebangsaan dan
kewarganegaraan Indonesia yang multireligius. Dengan kemajemukan keagamaan bisa
diasumsikan, pengertian dan ukuran ”bertakwa” dalam Islam (dari bahasa
Arab taqwa),
dalam segi tertentu berbeda dengan agama-agama lain yang juga diakui negara
(Kristen, Katolik, Hindu, Buddha, dan Khonghucu).
Penggunaan istilah ”takwa” dengan berbagai kata bentukannya
(bertakwa atau ketakwaan) menjadi lebih merupakan konsekuensi yang sulit
dielakkan dari realitas demografis Indonesia. Kenyataan mayoritas penduduk
Indonesia adalah Islam mengakibatkan banyak konsep, nomenklatur, dan istilah
bersumber dari bahasa Arab yang hampir identik dengan Islam.
Terlepas dari persoalan semantik demografi, dalam wacana akademik
di tingkat internasional, istilah yang lazim digunakan untuk menyebut
’kesalehan’ atau ’ketakwaan’ adalah piety.
Oleh karena itu, kajian dan perbincangan tentang hubungan antara ”kesalehan”
keagamaan dan politik lazim disebut piety
and politics atau dalam konotasi sedikit berbeda religio- political piety.
Namun, sekali lagi, parameter yang digunakan para ahli dalam
mengukur tingkat piety (kesalehan
atau ketakwaan) dalam politik dunia Islam atau terkait politisi Muslim berbeda
satu sama lain. Perbedaan ukuran dan penilaian itu juga ada di antara umat
Islam sendiri yang berbeda orientasi atau afiliasi politik, baik ulama atau
ustaz maupun awam (lay).
Kerumitan dalam soal parameter kesalehan atau ketakwaan bertambah
lagi karena adanya perbedaan pemahaman dan praksis keagamaan antara politisi
dan kelompok umat. Kepentingan politik berbeda yang menghasilkan aliansi
politik berbeda juga menghasilkan parameter yang tidak sama.
Namun, secara akademis, meminjam kerangka sebagian sarjana, seperti
Jamal Amaney (2006) dan Mark Tessler (2002), kesalehan adalah ketaatan pribadi
dalam menjalankan ibadah dan dalam kelaziman pergi ke masjid. Kerangka ini
menekankan salah satu rukun Islam, yaitu mengerjakan shalat; politisi sudah
dapat dianggap Islami atau saleh dan takwa jika menjalankan shalat, khususnya
di masjid. Dalam kenyataan di Indonesia, parameter ini sering dianggap tidak
memadai.
Parameter di atas, misalnya bagi Lindsay J Benstead (2014), tidak
cukup. Bagi Benstead, kesalehan juga mencakup dukungan pada penerapan hukum
syariah, bahkan juga dukungan pada pembentukan negara Islam. Kerangka Benstead
ini jelas tidak didukung arus utama Muslim Indonesia walau boleh jadi berlaku
di negara lain yang mayoritas Muslim.
Parameter lebih komprehensif dan inklusif diberikan Pepinsky,
Liddle, dan Mujani dalam Piety
and Public Opinion: Understanding Islam (2018). Menurut ketiga
pakar ini, kesalehan atau ketakwaan Islam mencakup ritual, orientasi, dan
perilaku. Ritual terkait dengan kepenganutan pada rukun-rukun Islam; orientasi
mencakup kepercayaan individual Muslim tentang hubungannya dengan keimanan
Islam; dan perilaku mencakup praktik yang tidak mengandung bobot teologis
tertentu, tetapi dapat mencerminkan keimanan keagamaan.
Menjelaskan lebih rinci tentang apa yang mereka sebut sebagai
”konseptualisasi tripartit”, ketiga ahli politik ini memberi contoh: seorang
individu yang reguler menjalankan ibadah Jumat dan meyakini agama sangat
penting dalam kehidupannya adalah lebih saleh daripada seseorang yang juga
reguler pergi Jumatan, tetapi tidak menganggap agama penting dalam
kehidupannya.
Satu contoh lagi: seorang Muslim yang rajin membaca Al Quran
tetapi tidak puasa Ramadhan adalah kurang saleh dibandingkan dengan seseorang
yang reguler membaca Al Quran dan berpuasa Ramadhan.
Isu kesalehan keagamaan tampak kian menonjol dalam politik,
khususnya dalam pilpres. Bagi sebagian umat beragama yang merasa lahir kembali
sebagai orang lebih beriman (born
again faithful), parameter kesalehan bahkan menjadi hal sangat
penting.
Tetap penting dicatat, umat beragama yang lahir kembali dengan
semangat keagamaan baru di Indonesia tidaklah homogen. Sebaliknya, mereka
terpecah belah dan terfragmentasi—kini setidaknya menjadi dua kubu yang mendukung
salah satu capres plus cawapresnya; setiap pihak mengklaim kesalehan lebih bagi
calon yang mereka dukung.
Akan tetapi, peningkatan kesalehan keagamaan pada masa
reformasi-demokrasi tidak memunculkan dampak signifikan terhadap politik.
Pilpres sejak 2004, 2009, dan 2014 memperlihatkan isu kesalehan dan ketakwaan
tidak relevan dalam perilaku politik (voting
behavior) para pemilih. Oleh karena itu, dampaknya lebih terasa
pada kegaduhan politik, sosial, dan keagamaan yang pasca-pemilu bakal menyurut
seperti masa-masa sebelumnya. []
KOMPAS, 21 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar