Kisah Lelaki Bani Israil Menitipkan Uang
kepada Allah
Imam Ahmad bin Hanbal dan Imam Bukhari
meriwayatkan sebuah hikayat dua laki-laki dari kalangan Bani Israil yang
terlibat dalam transaksi utang-piutang. Kisah yang tertuang dalam hadits shahih
ini menampilkan sebuah perilaku yang unik namun sekaligus mengandung pesan
mendalam.
Pria pertama secara khusus mendatangi
temannya sesama Bani Israil untuk keperluan meminjam uang sebesar seribu dinar.
Pemilik uang pun mengajukan syarat kepada si peminjam agar mendatangkan saksi.
"Kafâ billâh syahîdan (cukup Allah saja
sebagai saksi)."
"Kalau begitu, berikan aku
penjamin!"
"Kafâ billâhi wakîlan (cukuplah Allah
sebagai penjamin)," jawab lagi si peminjam uang.
Pemilik uang itu pun ridha. Ia sepakat
menyerahkan seribu dinar sebagai utang dalam jangka waktu tertentu. Si peminjam
juga lega dan akhirnya bisa menyeberangi lautan dan menunaikan keperluannya.
Mereka adalah dua orang shalih yang bisa
dipercaya. Karena itu ketika pembayaran utang sudah jatuh tempo, si peminjam
bergegas mencari perahu untuk pergi mengembalikan utang seribu dinar. Sayang,
tak satu pun sarana transportasi laut ia jumpai.
Tekadnya yang bulat untuk melunasi janji
secara tepat waktu membuat pria peminjam uang tersebut tidak kekurangan akal.
Ia ambil sebatang kayu, ia lubangi, lalu ia masukkan ke dalamnya uang seribu
dinar juga sepucuk surat untuk temannya itu.
Selanjutnya, ia membawa kayu itu ke laut.
Dengan kepasrahan tingkat tinggi, ia bermunajat:
"Duhai Allah, sungguh Engkau mengetahui
aku berutang kepada fulan seribu dinar. Dia meminta seorang penjamin kepadaku,
lalu aku menjawabnya, ‘Cukuplah Allah sebagai Penjamin’. Dia rela dengan-Mu.
Dia meminta seorang saksi kepadaku, maka aku menjawabnya, ‘Cukuplah Allah
sebagai saksi’. Lalu dia pun rela dengan-Mu. Dan aku telah berusaha mendapatkan
perahu untuk memberikan haknya namun aku tidak mendapatkannya. Dan sekarang aku
menitipkannya kepada-Mu.”
Sebatang kayu berisi uang dan surat itu pun
dilempar ke laut hingga sempat tenggelam ke dalamnya. Sementara si pemilik
pergi meninggalkan nasib kayu dengan penuh kepasrahan. Tapi pria berutang
tersebut tak lantas berpangku tangan. Dia terus berikhtiar mencari perahu untuk
bisa menyeberangi lautan.
Bagaimana nasib uang dan sepucuk surat tadi?
Subhanallah, batang kayu itu tiba ke tangan pemilik piutang dalam kondisi
selamat dan tepat waktu. Waktu itu sebenarnya ia hanya melihat-lihat keluar,
barangkali ada perahu datang dan seseorang membawa uang pelunasan utang. Yang
terlihat justru sebatang kayu mengambang di air dan saat dibuka ternyata berisi
seribu dinar dan sepucuk surat.
Si peminjam uang baru berhasil menyeberangi
lautan beberapa waktu kemudian. Ia datang kepada temannya dengan perasaan
bersalah. "Demi Allah, aku terus berusaha keras mencari perahu untuk
membayar utangku kepadamu. Tapi tidak kunjung dapat, hingga baru saat ini aku
bisa menemuimu."
"Apa kau mengirimkan sesuatu
untuku?" kata pemilik uang.
"Dengar, aku tak kunjung dapat perahu
saat itu."
“Sesungguh Allah telah mengantarkan untukmu
uang pinjaman melalui perantara kayu yang kau kirim. Sekarang, ambillah seribu
dinarmu ini dengan baik.” Si pemberi pinjaman "menolak" utangnya
dilunasi.
Kisah dari hadits shahih ini setidaknya
memberi sejumlah pesan. Pertama tentang tolong-menolong antarsesama. Selagi
mampu, sudah seyogianya uluran tangan diberikan kepada mereka yang sedang
membutuhkan, termasuk dalam bentuk pemberian utang.
Permintaan mendatangkan saksi dan penjamin
oleh si pemberi utang adalah sebuah prosedur yang wajar. Dalam transaksi
modern, saksi atau bukti-bukti berupa surat dan sejenisnya akan memperkuat
kepercayaan dan rasa tanggung jawab kedua belah pihak. Saat prosedur formal
tersebut terpaksa tak dapat dipenuhi, pinjam-meminjam tetap bisa dilaksanakan
selama sifat amanah diyakini ada.
Kedua, rasa tanggung jawab yang besar. Si
peminjam uang sebenarnya bisa saja menjadikan kendala teknis (tak mendapatkan
perahu) sebagai alasan untuk menunda pelunasan utang di luar tempo yang sudah
ditentukan. Namun, ia tak melakukannya karena dengan demikian ia melanggar
janji dan hak orang lain, dan urusan utang bukanlah tanggung jawab yang
sederhana.
Ketiga, ikhtiar dan kepasrahan total. Ia
menggunakan nama Allah tak sebagaimana politisi yang bernafsu mengeruk suara.
Melainkan, membangun trust bahwa gerak-geriknya yang membawa tanggung jawab
berat berada di bawah pengawasan-Nya. Tatkala tempo kewajiban itu tiba, ia pun
berusaha keras mencari jalan keluar. Hingga pada situasi buntu, ia mengambil
jalan alternatif langka tapi dengan tawakal yang tidak setengah-setengah. Si
peminjam uang menempuh ikhtiar keras sebelum akhirnya berpasrah total. Wallahu
a’lam. []
(Mahbib)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar