Apakah Akhirat itu Kekal
padahal Ia Makhluk?
Allah itu bersifat dengan segala sifat
kesempurnaan dan tersucikan dari segala sifat kekurangan. Dalam lingkungan para
ulama yang bermazhab Asy’ari, dikenal sifat-sifat wajib Allah yang dua puluh
yang menjadi sifat-sifat pokok kesempurnaan (shifat asasiyyah kamaliyyah)
Allah.
Salah satu sifat wajib bagi Allah adalah mukhalafatuhu
lil hawaditsi (Allah berbeda dari makhluk-makhluk-Nya). Artinya, Allah
wajib berlainan atau tidak sama dengan al-hawadits (hal-hal baru atau
makhluk-Nya).
Di antara dalil sifat mukhalafatuh li
al-hawadits adalah berikut:
لَيْسَ
كَمِثْلِهِ شَيْءٌ وَهُوَ السَّمِيعُ الْبَصِيرُ
“Tidak ada sesuatupun yang serupa dengan Dia,
dan Dia-lah yang Maha Mendengar dan Maha Melihat.” (QS. As-Syura: 11)
Al-hawadits itu memiliki dua segi
(jihah). Yang pertama, wujud (keberadaan) hawadits itu didahului
oleh ketiadaan (al-‘adam). Kedua, hawadits itu memiliki
sifat imkan (berkemungkinan). Artinya, wujud atau keberadaan hawadits
itu, memungkinkan masih terus berlangsung, dan mungkin juga berubah menjadi
tidak ada (‘adam). Demikian pula sebaliknya, ketika sesuatu itu tidak
ada (‘adam), maka ketiadaannya mungkin terus berlangsung, atau berubah dari
tidak ada (’adam) menjadi ada (wujud).
Maka dengan adanya segi yang kedua ini, dapat
dipahami bahwa Allah itu mukhalafah lil hawaditsi dari segi imkan-nya.
Artinya, Allah mukhalafah dengan hawadits, sebab wujud-nya Allah
itu adalah wajib dzati (secara dzat wajib ada), yang mustahil berubah
menjadi tidak ada (‘adam), baik dari ketiadaan kemudian menjadi ada (‘adam
sabiq lil wujud), atau ketiadaan yang didahului ada (‘adam lahiq lil
wujud).
Hal ini berbeda dengan hawadits yang wujudnya
itu bersifat mungkin. Yang demikian itu bermakna bahwa keberadaan hawadits itu
bisa berubah menjadi tidak ada (‘adam) kapan saja menurut kehendak Allah.
Demikian juga dengan hawadits yang bernama akhirat, surga dan neraka. Jika
Allah menghendaki kekekalannya, setelah sebelumnya akhirat adalah tidak ada,
maka itu adalah sesuatu yang mungkin. Dan kenyataannya bahwa Allah
memberitahukan kepada kita semua bahwa kenikmatan surga dan siksa neraka itu
kekal.
Ada Makhluk yang Dikekalkan Allah
Allah itu bersifat Baqa’, artinya wujud Allah
itu kekal; tidak mengalami kemusnahan. Allah berfirman:
كُلُّ
شَيْءٍ هَالِكٌ إِلَّا وَجْهَهُ
"Bahwa semua selain Allah akan
hancur." (QS. Al-Qashash : 88)
Menurut Syekh Ibrahim al-Laqani dalam Jauharatut
Tauhid, keumuman ayat ini telah di-takhshish (dispesifikasi).
و
كل شيء هالكٌ قد خصصُوا عمومَه فاطلُب لما قد لخصوا
“Para ulama telah mentakshish keumuman ayat
‘kullu syai’in hâlikun’. Maka carilah apa-apa yang telah mereka ringkaskan.”
Para ulama telah men-takhshish
keumuman ayat tersebut dengan beberapa makhluk yang Allah kehendaki untuk
kekal dan tidak mengalami kehancuran, yang menurut keterangan beberapa hadits
merupakan pengecualian seperti: surga, neraka, arsy, kursy, ruh, dan lain-lain.
Ada juga yang berpendapat bahwa maksud ayat ini adalah, bahwa segala sesuatu
akan musnah kecuali amal yang dikerjakan karena Allah. Atau maksud hâlikun itu
adalah qâbilun lil halak (menerima kerusakan), sebagaimana disebutkan para
ulama, misalnya Syekh Al-Baijuri dalam Tuhfatul Murid, dan Syekh Nawawi
al-Bantani dalam Tafsir Marah Labid.
Syekh Jalaluddin as-Suyuthi, sebagaimana
dikutip Syekh Al-Baijuri dan Syekh Nawawi al-Bantani menyebutkan nazam tentang
delapan hal yang kekal sebagai berikut:
ثمَانيةٌ
حكْم البقاء يعُمها من الخلق والباقُون في حيز العدَم
هي
العرْش والكرسي نار وجنة وعجب وارواح كذا اللوحُ والقلم
“Ada delapan hal dari makhluk ini yang hukum
kekekalan meratainya, sedangkan yang lain berada di wilayah ketiadaan.
Yaitu arasy, kursi, neraka, surga, ajbudz dzanab (tulang ekor), dan ruh.
Demikian juga lauh mahfudz dan qalam (pena).”
Kekalnya Surga Neraka
Banyak dalil Al-Quran dan hadits yang
menyatakan bahwa penduduk surga dan neraka itu kekal (khâlidin), misalnya dalam
Surat Hud ayat 106-108:
فَأَمَّا
الَّذِينَ شَقُوا فَفِي النَّارِ لَهُمْ فِيهَا زَفِيرٌ وَشَهِيقٌ
خَالِدِينَ
فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ ۚ إِنَّ
رَبَّكَ فَعَّالٌ لِمَا يُرِيدُ
وَأَمَّا
الَّذِينَ سُعِدُوا فَفِي الْجَنَّةِ خَالِدِينَ فِيهَا مَا دَامَتِ السَّمَاوَاتُ
وَالْأَرْضُ إِلَّا مَا شَاءَ رَبُّكَ ۖ عَطَاءً غَيْرَ مَجْذُوذٍ
"Adapun orang-orang yang celaka, maka
(tempatnya) di dalam neraka. Di dalamnya mereka mengeluarkan dan menarik napas
(dengan merintih). Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi, kecuali
jika Tuhanmu menghendaki (yang lain). Sesungguhnya Tuhanmu Maha Pelaksana
terhadap apa yang Dia kehendaki. Adapun orang-orang yang berbahagia, maka
tempatnya di dalam surga. Mereka kekal di dalamnya selama ada langit dan bumi,
kecuali jika Tuhanmu menghendaki (yang lain) sebagai karunia yang tidak ada
putus-putusnya." (QS. Hud : 106-108)
Tentang kekekalan kenikmatan surga dan siksa
neraka, Syekh Al-Bayjury dalam Tuhfatul Murid ‘ala Syarhi Jauharatit Tauhid menyatakan:
ونعيمُ
الجنة وعذابُ النار له أول ولا آخرله فكلٌ منهما باق لكنْ شرْعاً لا عقلا لأن
العقل يُجوّز عدمَهما
“Kenikmatan surga dan siksa neraka itu ada
permulaannya, tapi tidak berakhir. Setiap keduanya adalah kekal, tetapi
dikekalkan (baqin) oleh agama, bukan oleh akal. Karena akal itu
memungkinkan ketiadaannya.”
Di antara hadits yang menetapkan kekekalan
surga dan neraka adalah hadits shahih, termasuk di dalamnya tentang
"penyembelihan" (diakhirinya) kematian.
عن
ابْن عُمر قال : قال رسولُ الله صلى الله عليه وسلم إذا صَار أهلُ الجنة إلى
الجنة وأهل النار إلى النار جيءَ بالموْت حتى يجعَل بين الجنة والنار ثم يذبح ثم
يُنادي مناد يا أهل الجنة لا موت و يا أهل النار لا موت فيزدادُ أهلُ الجنة فرحًا
إلى فرحهم ويزداد أهل النار حُزناً إلى حزنهم
Dari Ibnu Umar berkata, Rosulullah
shallallahu alaihi wasallam bersabda: "Ketika ahli surga telah masuk ke
dalam surga dan ahli neraka telah masuk ke dalam neraka, didatangkanlah al-maut
(kematian) sampai tempat di antara surga dan neraka, kemudian disembelih. Lalu
akan memanggil seorang penyeru: "Wahai penduduk surga, tidak ada (lagj)
kematian. Wahai penduduk neraka, tidak ada (lagi) kematian.Maka penduduk surga
bertambah gembira di atas kegembiraan mereka, dan penduduk neraka bertambah
sedih di atas kesedihan mereka." (HR. Bukhari).
Dengan demikian menjadi jelas bahwa ada
perbedaan antara kekalnya Allah dengan kekalnya surga dan neraka. Kekalnya
Allah bersifat dzatiyah dan hukumnya wajib (pasti), baik dari segi aqal
ataupun agama (syara’) serta tidak ada permulaannya, sedangkan kekalnya surga
dan neraka itu tidak bersifat dzatiyah namun karena dikehendaki oleh
Allah dan juga wajib dari segi syara’ saja, tidak dari segi akal, serta
keduanya ada permulaanya.
Keyakinan ini bahkan merupakan kesepakatan
(ijmak) para ulama Ahlissunnah wal Jamaah sebagaimana dinyatakan oleh Syekh
Abdul Qahir al-Bahghdady dalam Al-Farqu Baynal Firaq sebagai berikut:
وَ
أَجْمَعُوا ايْضا عَلى جَوَاز الفَنَاء على الْعَالَم كله منْ طَريق القُدْرَة
والامكان, وَانما قالُوا بتأييْد الْجَنة, وتأييْد الجهَنم وَعَذابها منْ طَريق
الشرْع
“Ahlussunnah juga sepakat tentang kemungkinan
kemusnahan keseluruhan alam semesta, ditinjau dari segi qudrah Allah dan segi
kemungkinan secara akal. Namun, mereka (Ahlussunnah wal Jama’ah) berpendapat
tentang keabadian surga, dan keabadian neraka dan siksanya itu dari segi agama
(syara’). []
Yusuf Suharto, Tim Narasumber Aswaja NU
Center Jatim, dosen Aswaja Institut KH Abdul Chalim, Mojokerto
Tidak ada komentar:
Posting Komentar