Cara Cina (Tionghoa) Menjadi Muslim (1)
Oleh: Azyumardi Azra
Masa pasca-Soeharto, era demokrasi sejak 1998-1999, ditandai
dengan kebangkitan identitas kultural dan politik berbagai kelompok warga
Indonesia. Bahkan liberalisasi atau demokratisasi tidak hanya mendorong
kebangkitan identitas politik (atau politik identitas), tetapi juga identitas
keagamaan, budaya, dan sosial.
Salah satu bagian warga Indonesia yang mengalami kebangkitan
identitas itu adalah komunitas Cina (lebih tepatnya, Tionghoa) umumnya, dan
termasuk Tionghoa Muslim Indonesia khususnya. Subjek ini menjadi pembahasan Hew
Wai Weng dalam karyanya Chinese Ways of Being Muslim: Negotiating Ethnicity and
Religiousity in Indonesia (Copenhagen: NIAS Press, 2018).
Sebenarnya sudah cukup banyak literatur yang mengkaji komunitas
Tionghoa atau ketionghoaan dalam konteks keindonesiaan; posisi mereka sebagai
minoritas sejak masa kolonial Belanda, zaman kemerdekaan sampai era Reformasi;
pergumulan akulturasi dan akomodasi dengan lingkungan sosial, kultural dan
agama pribumi; dominasi dan hegemoni ekonomi mereka di tengah lautan bumiputra
yang mengalami berbagai bentuk kesenjangan ekonomi atau kemiskinan.
Namun, buku ini berbeda dengan kajian-kajian sebelumnya. Karya ini
berusaha mengeksplorasi interseksi di antara kedua set identitas; keislaman dan
kecinaan (ketionghoaan). Menurut Wang, dengan menguji dinamika kedua identitas
itu, karyanya ini dapat membantu pembaca memahami politik budaya religiousitas
Islam dan ketionghoaan pada masa kontemporer Indonesia.
Lebih jauh, seperti dikemukakan Weng dalam pengantarnya, buku ini
menyelidiki tentang bagaimana dan dalam keadaan apa Tionghoa Muslim Indonesia
mengonstruksi dan menegosiasikan identitas etnis dan religiousitas (Islam)
mereka. Cakupan identitas itu meliputi baik individu maupun komunal, baik dalam
kehidupan pribadi maupun kolektif.
Dalam kajian penulis buku ini, sejak awal 2000-an, budaya Muslim
Tionghoa di Indonesia telah mengalami objektifikasi dalam berbagai simbol
seperti masjid bergaya Cina. Juga dalam organisasi semacam Persatuan Islam
Tionghoa Indonesia (PITI) yang pada masa Orba kepanjangannya adalah Persatuan Iman
Tauhid Indonesia karena istilah Cina atau Tionghoa termasuk hal tabu.
Lebih jauh, objektifikasi simbolis itu juga terlihat dalam media
atau ranah publik lain melalui kemunculan dan popularitas dai atau penceramah
keturunan Tionghoa. Sebagian mereka terlibat dalam perayaan Tahun Baru Imlek.
Melalui berbagai objektifikasi simbolis itu, komunitas Cina Muslim
Indonesia menegaskan kembali identitas keagamaan dan sosial-budaya mereka; pada
saat yang sama mereka mencoba membangkitkan kembali kaitan dengan kaum Muslimin
di China Mainland.
Di tengah kebangkitan identitas keislaman-ketionghoaan itu, Weng
menyodorkan argumen menarik: "Kebangkitan budaya Muslim Cina [Tionghoa]
mencerminkan penerimaan sepenuhnya budaya Cina dalam masyarakat Indonesia; dan
pada saat yang sama mencerminkan toleransi Islam pada ekspresi-ekspresi
kultural yang beragam".
Argumen ini perlu diuji kembali karena dalam budaya Cina
(Tionghoa) secara keseluruhan itu terdapat aspek atau elemen yang tidak
kompatibel dengan Islam, dan juga dengan agama-agama samawi (Abrahamik) lain
yaitu Kristen (Protestan) dan Katolik misalnya.
Oleh karena itulah, dalam hal perayaan Tahun Baru Imlek misalnya,
warga Tionghoa penganut Islam, Kristen, atau Katolik umumnya juga menyambut
Tahun Baru Lunar. Namun, mereka tidak merayakan aspek-aspek Imlek yang terkait
dengan keimanan (Konghucu) dan sosio-kulturalnya.
Dalam kaitan itu, bagi Tionghoa Muslim hari raya yang lebih besar
adalah Idul Fitri atau Lebaran. Sedangkan bagi Tionghoa Kristen atau Tionghoa
Katolik, hari raya lebih mulia adalah Hari Natal.
Penting dicatat, selain adanya perbedaan atau batas dalam
penerimaan budaya Cina secara keseluruhan, menurut Weng, pada saat yang sama
Tionghoa Muslim menampilkan ketionghoaan dan kosmopolitanisme Islam. Dalam
konteks terakhir ini, penegasan identitas ketionghoaan tidak harus berujung
pada segregasi etnis atau eksklusivisme keagamaan.
Bagi Weng, aktualisasi identitas ketionghoaan yang inklusif dengan
kosmopolitanisme Islam terlihat dalam Masjid Cheng Ho Surabaya. Masjid ini
menjadi tempat di mana komunitas Muslim—baik Tionghoa maupun pribumi—dan
non-Muslim dapat berbaur dan berinteraksi satu sama lain. Di sinilah budaya
Tionghoa Muslim dapat meluruskan persepsi streotipikal sekaligus membantah
ketidaksesuaian ketionghoaan dengan Islam. []
REPUBLIKA, 14 Februari 2019
Tidak ada komentar:
Posting Komentar