Syarat-syarat Khutbah dan
Penjelasannya
Khutbah Jumat merupakan salah satu ibadah
yang menentukan keabsahan prosesi shalat Jumat. Karenanya, rukun, syarat dan
segala ketentuannya harus terpenuhi agar pelaksanaan Jumat sah. Khutbah Jumat
dilakukan dua kali, di antara khutbah pertama dan kedua dipisah dengan duduk.
Khutbah Jumat memiliki lima rukun yang harus dipenuhi. Membaca hamdalah,
shalawat Nabi dan wasiat bertakwa di kedua khutbah, membaca ayat suci al-Quran
di salah satu dua khutbah serta membaca doa untuk umat Islam di khutbah kedua.
Khutbah Jumat memiliki 12 syarat yang harus
terpenuhi sebagai berikut:
Syarat pertama, khatib harus laki-laki.
Syarat ini–sebagaimana syarat diperdengarkan
dan didengar jamaah serta berbahasa Arab- juga berlaku untuk selain khutbah
Jumat, seperti khutbah shalat hari raya dan shalat gerhana. Sehingga tidak sah
khutbah dilakukan oleh perempuan.
Syekh al-Qalyubi mengatakan:
ويشترط
كون الخطيب ذكرا أو كونه تصح إمامته للقوم كما قاله شيخنا الرملي واعتمده شيخنا
الزيادي الى ان قال وشرط الذكورة جار في سائر الخطب كالإسماع والسماع وكون الخطبة
عربية
“Disyaratkan khathib seorang laki-laki atau
orang yang sah menjadi imam bagi jamaah sebagaimana yang dikatakan Syekh
al-Ramli dan dibuat pegangan oleh guru kami Syekh al-Zayadi. Syarat ini berlaku
juga di selain khutbah Jumat sebagaimana syarat khutbah harus diperdengarkan
dan didengar oleh jamaah serta syarat harus berbahasa Arab.” (Syekh al-Qalyubi,
Hasyiyah al-Qalyubi ‘ala al-Mahalli, juz 1, hal. 322).
Syarat kedua, khutbah harus diperdengarkan
dan didengar oleh jamaah Jumat yang mengesahkan Jumat.
Khutbah disyaratkan harus dengan suara yang
keras. Sekiranya dapat didengar oleh jama’ah jumat yang mengesahkan pelaksanaan
Jumat, yaitu setiap muslim yang baligh, berakal, merdeka, berjenis kelamin
laki-laki dan bertempat tinggal tetap (muqim mustauthin).
Ulama berbeda pendapat mengenai standart
memperdengarkan khutbah kepada Jamaah. Versi Imam Ibnu Hajar harus
diperdengarkan secara nyata, sehingga andaikan ada suara-suara yang menghambat
pendengaran jamaah kepada khutbah seperti ramai-ramai, maka tidak cukup, bahkan
khatib harus lebih mengeraskan suaranya lagi sampai didengar oleh Jamaah.
Sedangkan menurut Imam al-Ramli, cukup
memperdengarkan secara hukum saja, maksudnya khatib cukup membaca khutbah
sekira didengar jamaah, meskipun mereka tidak mendengar karena ada keramaian
yang menghambat pendengaran jamaah, namun andaikan tidak ada penghalang, jamaah
tetap dapat mendengar isi khutbah.
Menurut keduanya, tidak cukup penyampaian
khutbah disertai dengan tidur atau tulinya jamaah.
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri
mengatakan:
ومن
شروط الخطبتين أن يسمعهما أربعون ممن تنعقد بهم الجمعة واختلف ابن حجر والرملي حول
الإسماع هل يلزم بالفعل أو بالقوة؟ ابن حجر يقول لا بد من الإسماع بالفعل معناه لو
كان هناك ضجة أو طبول تضرب أو صياح وجب على الخطيب أن يرفع صوته حتى يسمعوا
بالفعل. أما الرملي فيقول السماع بالقوة فقط يرفع الخطيب صوته بحيث لو زال المشوش
لسمعوا. ولو نام واحد منهم أو كان أصم ولم يزل العدد عن أربعين بطلت الجمعة.
“Di antara syarat dua khutbah adalah didengar
oleh 40 orang yang mengesahkan Jumat. Imam Ibnu Hajar dan Imam al-Ramli berbeda
pendapat mengenai standar memperdengarkan kutba, apakah wajib diperdengarkan
secara nyata atau cukup dengan hukum saja?. Imam Ibnu Hajar berkata harus
diperdengarkan secara nyata. Maksudnya, bila ada kegaduhan, gendang yang
ditabuh atau jeritan, wajib bagi khatib mengeraskan suaranya sampai mereka
mendengar secara nyata. Sedangkan imam al-Ramli berkata cukup memperdengarkan
secara hukum saja, khatib cukup mengeraskan suaranya, sekira apabila hilang
perkara yang mengganggu, jamaah dapat mendengarnya. Apabila di antara jamaah
ada yang tidur atau tuli, dan jamaah jumat tidak mencapai 40 orang, maka jumat
batal. (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis,
hal 242).
Khatib atau jamaah tidak disyaratkan faham
makna khutbah yang disampaikan, sebagaimana dikatakan oleh Syekh Nawawi sebagai
berikut:
ولا
يضر عدم فهم معناهما حتى في حق الخطيب كمن يؤم القوم ولا يعرف معنى الفاتحة
“Tidak bermasalah ketidakfahaman kepada makan
dua khutbah, sekalipun khatibnya sendiri, sebagaimana orang yang mengimami kaum
dan ia tidak faham makna al-Fatihah. (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah
al-Zain, juz 1, hal.140).
Syarat ketiga, khutbah dibaca di kawasan
bangunan rumah penduduk desa.
Penyampaian khutbah harus berada di kawasan
tempat pelaksanaan Jumat. Maksudnya, posisi khatib harus berada di titik yang
masih tergolong wilayah desa pelaksanaan Jumat. Meski Jamaah Jumat mendengarkan
khutbah di luar kawasan Jumat, khutbah tetap sah, asalkan khatib
menyampaikannya di kawasan pelaksanaan Jumat.
Syarat keempat, khatib harus suci dari dua
hadats.
Syarat kelima, khatib harus suci dari najis.
Syarat keenam, khatib harus menutup aurat.
Syarat keempat, kelima dan keenam ini
ditetapkan karena mempertimbangkan bahwa khutbah Jumat menempati posisi dua
rakaat shalat. Sehingga syarat-syarat ini diperlukan sebagaimana menjadi syarat
sah pelaksanaan shalat. Maka, tidak sah khutbah dilakukan oleh khatib yang
berhadas, terbuka auratnya dan terkena najis pakaian, tempat atau sesuatu yang
dibawanya.
Khatib yang batal (misalkan kentut) saat
menyampaikan khutbahnya, diperbolehkan untuk mengganti dirinya dengan salah
satu jamaah yang hadir. Dan pengganti khatib tersebut boleh meneruskan bacaan
khatib yang awal asalkan tidak ada masa pemisah yang lama menurut standar ‘urf
(keumuman) antara bacaan khatib pertama dan kedua. Namun jika melewati
pemisah yang lama, maka khatib pengganti tersebut harus memulai khutbah dari
awal.
Namun apabila tidak bermaksud menggantinya
dengan khatib lain, maka setelah kembali bersuci, khatib tersebut harus
mengulang khutbahnya dari awal, meskipun ia kembali dalam waktu yang singkat.
Sebab khutbah merupakan satu bentuk kesatuan ibadah, sehingga tidak dapat
dilakukan dengan dua kali bersuci seperti halnya shalat.
Syekh Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani
mengatakan:
ومن
أحدث في أثناء الخطبة أو بعدها واستخلف قبل طول الفصل من يبني على فعله ممن حضر
جاز
“Khatib yang berhadas di pertengahan khutbah
atau setelahnya dan menggantinya dengan jama’ah yang hadir dan ia meneruskan
bacaan khutbahnya sebelum melewati pemisah yang lama, maka diperbolehkan.”
(Syekh Sayyid Muhammad Abdullah al-Jordani, Fath al-‘Alam, juz.3, hal.
63, cetakan Dar al-Salam-Kairo, cetakan keempat tahun 1990).
Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani mengatakan:
فلو
أحدث في أثناء الخطبة استأنفها وإن سبقه الحدث وقصر الفصل لأنها عبادة واحدة فلا
تؤدى بطهارتين كالصلاة
“Apabila khatib berhadas di pertengahan
khutbah, ia wajib mengulangi khutbahnya (setelah ia bersuci), meskipun tidak
sengaja berhadas dan pemisahnya sebentar, sebab khutbah adalah satu bentuk
kesatuan ibadah, maka tidak dapat dilakukan dengan dua kali bersuci seperti
halnya shalat.” (Syekh Muhammad Nawawi al-Bantani, Nihayah al-Zain, juz
1, hal. 141).
Syarat ketujuh, khutbah harus dilakukan
dengan berdiri.
Khutbah Jumat harus dilakukan dengan berdiri
bagi orang yang mampu. Tidak sah dilakukan dengan duduk. Bila tidak mampu
berdiri, misalkan karena sakit atau faktor usia, maka boleh dilakukan dengan
duduk. Bila tidak mampu duduk, maka boleh dengan cara tidur miring.
Bagi khatib yang tidak mampu berdiri, tetap
sah bertindak sebagai khatib meski ditemukan orang lain yang mampu melaksanakan
khutbah dengan berdiri. Namun yang lebih utama adalah digantikan orang lain
yang mampu berdiri.
Syekh Nawawi Banten mengatakan:
وقيام قادر
) فيهما جميعا فإن عجز عنه خطب جالسا ولو مع وجود القادر والأولى للعاجز الاستنابة
“Dan disyaratkan berdiri bagi yang mampu di
keseluruhan kedua khutbah, jika tidak mampu berdiri, maka cukup berkhutbah
dengan duduk, meski ditemukan orang yang mampu berdiri. Dan yang lebih utama
bagi yang tidak mampu adalah menggantikannya dengan orang yang mampu berdiri”.
(Syekh Nawai Banten, Nihayah al-Zain, juz 1 hal. 141).
Syekh Habin Muhammad bin Ahmad al-Syathiri
mengatakan:
فإن
عجز خطب جالسا فإن عجز اضطجع والأولى له الاستخلاف
“Jika tidak mampu berdiri, maka cukup
berkhutbah dengan duduk, jika tidak mampu duduk, maka berkhutbah dengan posisi
tidur miring. Yang lebih utama bagi yang tidak mampu adalah menggantikan
dirinya dengan orang yang mampu berdiri”. (Syekh Muhammad bin Ahmad
al-Syathiri, Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal. 241).
Syarat kedelapan, disertai duduk di antara
dua khutbah.
Khutbah jumat yang dilaksanakan sebanyak dua
kali, di antara kedua khutbahnya harus dipisah dengan duduk. Standar minimal
duduk di antara dua khutbah adalah kadar minimal thuma’ninah dalam shalat,
yaitu diam sekira cukup untuk membaca subhanallah.
Bagi khatib yang tidak mampu berdiri, memisah
dua khutbah baginya adalah dengan cara diam sejenak melebihi durasi diam untuk
mengambil nafas dan tersengal-sengal. Demikian pula bagi khatib yang mampu
berdiri, namun tidak mampu duduk untuk memisah di antara dua khutbahnya.
Disunnahkan kadar pemisah di antara dua
khutbah, sekiranya cukup membaca surat al-Ikhlash. Demikian pula dianjurkan
bagi khatib membacanya saat duduk atau berhenti sejenak (bagi yang tidak mampu)
untuk memisah dua khutbah jumat.
Syekh Nawawi Banten mengatakan:
وجلوس
بينهما ) بطمأنينة في جلوسه وجوبا ومن خطب قاعدا لعذر أو قائما وعجز عن الجلوس أو
مضطجعا للعجز فصل بينهما بسكتة وجوبا فوق سكتة التنفس والعي ويسن أن تكون الجلسة
أو السكوت بقدر سورة الإخلاص وأن يقرأها في ذلك
“Dan disyaratkan duduk di antara dua khutbah
disertai thumaininah. Orang yang berkhutbah duduk karena uzur, atau mampu
berdiri namun tidak mampu duduk, atau berkhutbah dalam posisi tidur miring
karena tidak mampu, ia memisah di antara dua khutbahnya dengan diam sejenak
melebihi durasi diam untuk mengambil nafas dan tersengal-sengal. Disunnahkan
duduk atau diam sejenak tersebut dengan kadar durasi membaca surat al-ikhlas
dan bagi khatib disunnahkan membacanya saat kondisi tersebut”. (Syekh Nawai
Banten, Nihayah al-Zain juz 1 hal. 141).
Syarat kesembilan, terus-menerus di antara
rukun-rukun khutbah.
Rukun-rukun khutbah harus dibaca secara
berkesinambungan, tidak boleh ada jeda atau pemisah berupa pembicaraan lain
yang menyimpang dari isi khutbah. Tidak termasuk pemisah yang merusak keabsahan
khutbah, materi yang masih berkaitan dengan khutbah, meski panjang dan lama,
karena hal tersebut tergolong kemashlahatannya khutbah.
Syekh Sulaiman al-Bujairimi mengatakan:
وولاء
) بينهما وبين أركانهما وبينهما وبين الصلاة
قوله وبين
أركانهما ) ولا يقطعها الوعظ وإن طال لأنه من مصالح الخطبة فالخطبة الطويلة صحيحة
كما قرره شيخنا
“Dan disyaratkan terus menerus di antara dua
khutbah, di antara rukun-rukunnya dan di antara dua khutbah dan shalat jumat.
Ucapan di antara rukun-rukunnya, maksudnya tidak dapat memutus syarat
berkesinambungan, mauizhah khutbah meski panjang karena termasuk kemashlahatan
khutbah, maka khutbah yang panjang hukumnya sah sebagaimana ditegaskan oleh
guru kami”. (Syekh Sulaiman al-Bujairimi, Hasyiyah al-Bujairami ‘ala Fath
al-Wahhab, juz 4, hal. 94).
Syarat kesepuluh, terus menerus antara
khutbah dan shalat Jumat
Yang dimaksud terus menerus di sini adalah
jarak antara khutbah dan shalat Jumat tidak boleh terlalu lama, sekiranya
setelah khutbah kedua selesai, takbiratul ihramnya shalat jumat dilakukan
sebelum melewati masa yang cukup untuk melakukan shalat dua rakaat dengan
standar umum yang paling ringan (tidak terlalu panjang dan lama).
Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri
mengatakan:
والموالاة
بينهما وبين الصلاة بأن يحرم بالصلاة قبل أن يمضي بعد انتهاء الثانية ما يسع
ركعتين بأخف ممكن
“Dan disyaratkan terus menerus antara kedua
khutbah dan shalat jumat, dengan sekira takbiratul ihram shalat jumat
dilaksanakan sebelum melewati masa yang cukup untuk melakukan dua rakaat shalat
dengan standar umum yang paling ringan”. (Syekh Muhammad bin Ahmad al-Syathiri,
Syarh al-Yaqut al-Nafis, hal. 242).
Syarat kesebelas, khutbah harus berbahasa
Arab.
Yang dimaksud dengan syarat berbahas Arab di
sini adalah hanya rukun-rukun khutbah saja, meliputi bacaan hamdalah, shalawat,
pesan bertakwa, bacaan ayat suci al-Quran dan bacaan doa untuk kaum muslimin
muslimat.
Sedangkan untuk selainnya, diperbolehkan
menggunakan bahasa non Arab, seperti yang terlaku di Negara kita, penjelasan
isi khutbah biasanya menggunakan bahasa Indonesia. Hal tersebut diperbolehkan
dan tidak termasuk memutus kewajiban muwalah (terus menerus) di antara
rukun-rukun khutbah.
Al-Syaikh Abu Bakr bin Syatha’ mengatakan:
و
) شرط فيهما ( عربية ) لاتباع السلف والخلف
(
قوله
وشرط فيهما ) أي في الخطبتين والمراد أركانهما كما في التحفة الى أن قال وكتب سم
ما نصه قوله دون ما عداها يفيد أن كون ما عدا الأركان من توابعها بغير العربية لا
يكون مانعا من الموالاة اه قال ع ش ويفرق بينه وبين السكوت بأن في السكوت إعراضا
عن الخطبة بالكلية بخلاف غير العربي فإن فيه وعظا في الجملة فلا يخرج بذلك عن كونه
في الخطبة اه
“Disyaratkan dalam dua khutbah memakai bahasa
Arab, maksudnya hanya rukun-rukunnya saja seperti keterangan dalam kitab
al-Tuhfah, karena mengikuti ulama salaf dan khalaf. Syaikh Ibnu Qasim menulis,
kewajiban memakai bahasa Arab terbatas untuk rukun-rukun khutbah memberi
kesimpulan bahwa selain rukun-rukun khutbah yaitu beberapa materi yang masih
berkaitan dengan khutbah yang diucapkan dengan selain bahasa Arab tidak dapat
mencegah kewajiban muwalah di antara rukun-rukun khutbah. Syaikh Ali
Syibramalisi mengatakan, Hal ini dibedakan dengan diam yang lama yang dapat
memutus muwalah karena di dalamnya terdapat unsur berpaling dari khutbah secara
keseluruhan. Berbeda dengan isi khutbah dengan selain bahasa Arab yang di
dalamnya terdapat sisi mau’izhah secara umum, sehingga tidak mengeluarkannya
dari bagian khutbah”. (Syaikh Abu Bakr bin Syatha, I’anah al-Thalibin,
juz 2, hal. 117, Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, Beirut, cetakan ketiga, tahun 2007).
Syarat keduabelas, khutbah dilakukan di waktu
zhuhur.
Khutbah harus dilaksanakan di waktu zhuhur,
sebagaimana keberadaan shalat jumat sendiri. Karena posisinya khutbah menempati
tempatnya dua rakaat shalat.
Demikian penjelasan terkait syarat sah
pelaksanaan khutbah Jumat. Semoga bermanfaat dan dipahami dengan baik. Kami
terbuka untuk menerima saran dan kritik. []
Sumber: NU Online
Tidak ada komentar:
Posting Komentar