Jumat, 08 Februari 2019

Zuhairi: Kunjungan Bersejarah Paus Fransiskus ke Teluk


Kunjungan Bersejarah Paus Fransiskus ke Teluk
Oleh: Zuhairi Misrawi

Paus Fransiskus membuat sebuah kunjungan bersejarah ke Abu Dhabi pada 3-5 Februari lalu. Kunjungan tersebut mendapat perhatian warga dunia karena digelar di tengah maraknya intoleransi dan kekerasan, bahkan aksi terorisme di kawasan Teluk dan Timur-Tengah pada umumnya.

Beberapa media Timur-Tengah menyebutkan kunjungan Paus Fransiskus merupakan kunjungan pertama Paus Vatikan ke kawasan Teluk yang selama ini dikenal sebagai salah satu pusat tumbuhnya paham ekstremisme, khususnya Wahabisme. Kunjungan Paus Fransiskus menjadi babak baru Teluk yang mulai menyongsong zaman baru perihal toleransi dan koeksistensi.

Uni Emirat Arab (UEA) adalah salah satu negara yang dalam beberapa tahun terakhir hendak mengukuhkan dirinya sebagai "menara toleransi" di kawasan Teluk, bahkan dunia Arab dan dunia Islam. Terobosan yang diambil UEA, yaitu menunjuk menteri khusus untuk toleransi merupakan sebuah langkah besar dalam rangka menegaskan pentingnya toleransi dan koeksistensi.

Tidak ayal, banyak pihak yang memberikan apresiasi terhadap UEA karena secara terbuka memberikan perhatian besar terhadap toleransi. Di UEA saat ini terdapat 200 bangsa, etnis, dan suku plus latarbelakang agama yang dapat hidup berdampingan secara damai. Selain itu, di UEA juga terdapat sekitar 72 tempat ibadah non-muslim, termasuk gereja serta kuil Hindu-Budha.

UEA telah menasbihkan dirinya sebagai salah satu contoh toleransi dan koeksistensi di antara berbagai kebudayaan dan peradaban. Di samping itu, UEA hendak menegaskan para pengikut agama-agama dapat mengembangkan sikap saling menghormati, dapat menerima pihak lain yang berbeda, serta terus menebarkan cinta dan perdamaian.

Maka dari itu, dalam beberapa tahun terakhir, UEA menggelar sejumlah konferensi yang menegaskan pentingnya dialog antar-agama. Paling mutakhir, bulan lalu UEA menggelar konferensi pentingnya kerja sama agama-agama dalam mewujudkan masyarakat yang aman dan damai.

Kunjungan Paus Fransiskus ke UEA sebagai pengukuhan bahwa UEA dan negara-negara Teluk lainnya membuka lembaran sejarah baru. Negara-negara Teluk ingin menatap masa depan dengan harapan dan mimpi untuk menjadi kehidupan lebih toleran. Karenanya, Putera Mahkota Abu Dhabi, Sheikh Mohammed bin Zayed, melayangkan undangan kepada Paus Fransiskus untuk menghadiri konferensi dialog antar-agama di salah satu kota wisata di kawasan Teluk itu.

Di akun Twitter-nya, Putera Mahkota menegaskan bahwa ia mengundang khusus Paus Fransiskus ke UEA karena selama ini orang nomor wahid di Vatikan itu dianggap sebagai sosok simbolik yang mendunia, yang konsisten menyerukan pentingnya perdamaian, toleransi, dan persaudaraan di antara sesama manusia. Karenanya, kunjungan Paus Fransiskus dapat membuka selebar-lebarnya peluang dialog dan koeksistensi damai di antara bangsa-bangsa. Perdamaian adalah nilai yang mesti terus diperjuangkan dengan cara meneguhkan kerja sama dan kesejatian menerima yang lain.

Pihak Vatikan sendiri sangat menyambut undangan dari Putera Mahkota, karena akan menjadi tonggak sejarah baru, sehingga agama-agama yang pada hakikatnya mempunyai pesan kebajikan dapat bekerja sama dan saling bahu-membahu untuk mewujudkan perdamaian. Apalagi kunjungan ini merupakan kunjungan Paus Fransiskus yang kedua di kawasan Timur-Tengah, yaitu setelah kunjungan pertama ke Mesir pada 2017.

Salah satu pemandangan yang sangat menggetarkan dunia, yaitu misa bersama yang dipimpin langsung oleh Paus Fransiskus di Stadion Zayed Sport City. Hadir sekitar 160.000 umat Katolik yang menetap di UEA. Momen ini mendapatkan perhatian publik di seantero jagad, karena merupakan sejarah yang tidak akan terlupakan bagi umat Katolik. Mereka mendapatkan kesempatan yang sangat bersejarah untuk ikut serta misa bersama yang dihadiri langsung oleh Paus Fransiskus.

Pesan yang menguat di balik misa bersama tersebut bahwa dunia kini harus menyadari perihal pluralitas agama-agama dan tradisi yang panjang perihal koeksistensi agama-agama tersebut. Semua pihak harus menerima pluralitas sebagai kehendak Tuhan (sunnatullah). Tidak boleh ada pihak yang mengingkari pluralitas, apalagi justru hendak menghancurleburkan pluralitas.

Kini, umat Katolik dan umat Kristiani di Timur-Tengah dan dunia Islam mempunyai harapan dan optimisme yang tinggi, bahwa perdamaian bukan hal yang mustahil diwujudkan. Mereka merdeka dapat beribadah dan mendapat pengakuan dari negara untuk hidup berdampingan secara damai.

Meskipun demikian, kunjungan simbolik Paus Fransiskus tersebut bukan tanpa tantangan. Pasalnya paham Wahabi masih mengemuka di kawasan Teluk. Paham tersebut harus segera direformasi menjadi paham yang kompatibel dengan realitas kontemporer. Paham Wahabi selama ini menjadi ancaman serius karena telah membunuh pluralitas dan menebarkan kebencian terhadap umat Kristiani.

Ekosistem geopolitik yang selama ini berkembang di kawasan Teluk juga menjadi tantangan yang tidak mudah. Politik yang cenderung bernuansa konflik dan perang dapat menghambat tumbuhnya budaya damai dan koeksistensi. Konflik politik Yaman dan blokade terhadap Qatar dapat menjadi batu sandungan serius karena berpotensi memecah-belah dan menghasilkan kebencian terhadap pihak lain.

Di samping itu, protes para penggiat hak asasi manusia di Teluk karena mereka kerap diperlakukan secara diskriminatif, bahkan ancaman pembunuhan dapat menjadi tantangan serius bagi tumbuhnya budaya damai dan koeksisten.

Apapun, kita patut memberikan apresiasi yang setinggi-tingginya terhadap Putera Mahkota Abu Dhabi yang telah mengundang Paus Fransiskus ke UEA dengan menggelar serangkaian kegiatan, terutama misa bersejarah di Stadion Zayed Sport Center. Kunjungan Paus Fransiskus hanya bisa berlangsung dari seorang pemimpin yang mempunyai keberanian moral untuk mewujudkan peradaban besar yang akan membangkitkan harapan di masa kini dan masa mendatang perihal pentingnya toleransi dan koeksistensi. []

DETIK, 07 Februari 2019
Zuhairi Misrawi |  Intelektual muda Nahdlatul Ulama, analis pemikiran dan politik Timur-Tengah di The Middle East Institute

Tidak ada komentar:

Posting Komentar